Oleh: Umul Asminingrum, S.Pd.
Aktivis Muslimah
Islam menempatkan kepemimpinan sebagai amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh ketakwaan. Seorang pemimpin dalam sistem Islam tidak mencari keuntungan pribadi, tetapi bertanggung jawab kepada Allah dan rakyat.
CemerlangMedia.Com — Seiring berjalannya waktu, Indonesia makin terlihat terperosok dalam pusaran korupsi yang kian merajalela. Di tengah klaim kemajuan ekonomi dan stabilitas politik, praktik penyalahgunaan kekuasaan dan penggelapan anggaran justru makin berkembang pesat.
Dari para pejabat tinggi hingga pejabat lokal, kasus demi kasus yang terungkap seolah menjadi saksi bisu kegagalan sistem demokrasi kapitalisme dalam menjaga keadilan dan kesejahteraan rakyat. Di balik demokrasi yang dijanjikan, kekuasaan justru menjadi ladang subur bagi para koruptor yang menyalahgunakan sistem demi kepentingan pribadi.
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyatakan bahwa tingkat korupsi di Indonesia sangat memprihatinkan. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prabowo dalam acara World Governments Summit 2025 yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab, yang diikuti secara daring pada Kamis (13-2-2025). Menurutnya, korupsi adalah akar utama dari berbagai permasalahan yang menghambat kemajuan di sektor pendidikan, riset, dan pengembangan (Kompas.com, 13-02-2025).
Korupsi Sebuah Kejahatan Sistemik
Korupsi di Indonesia telah menjadi fenomena yang begitu mengakar dan sulit diberantas. Berbagai upaya pemberantasan kerap digembar-gemborkan. Namun, realita di lapangan menunjukkan sebaliknya. Korupsi justru makin masif dan terjadi di hampir semua lini kehidupan. Mirisnya, pernyataan-pernyataan untuk menghapus korupsi sering kali hanya menjadi slogan tanpa komitmen nyata.
Banyak pihak menilai bahwa korupsi muncul akibat faktor individu, seperti kurangnya keimanan, rendahnya upah, serta sifat serakah dan tamak terhadap harta dunia. Memang benar bahwa aspek moralitas individu memiliki peran dalam tindakan korupsi. Akan tetapi, melihat persoalan ini hanya dari sisi perilaku manusia tanpa menelusuri akar sistemiknya adalah pendekatan yang keliru.
Lebih dari sekadar persoalan moral individu, korupsi di Indonesia telah menjadi bagian dari sistem yang memungkinkan dan bahkan melanggengkan praktik tersebut. Sistem sekularisme kapitalisme yang diterapkan di negeri ini memberikan ruang yang luas bagi korupsi untuk tumbuh secara sistemik. Kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan materi membuat segala sesuatu, termasuk kebijakan negara dapat diperjualbelikan demi kepentingan segelintir orang.
Para pemilik modal dengan mudah mendapatkan proyek-proyek strategis dari negara melalui berbagai cara, mulai dari lobi politik, suap, hingga kolusi dengan para pejabat yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, proyek-proyek yang seharusnya bermanfaat bagi rakyat justru sering kali menjadi ladang bancakan bagi elite yang berkuasa.
Lebih jauh, sistem demokrasi yang dianut Indonesia membuka peluang bagi para oligarki untuk menguasai jalannya pemerintahan. Dengan kekuatan modal yang mereka miliki, mereka dapat dengan mudah mendanai kampanye politik calon-calon wakil rakyat maupun pejabat eksekutif.
Namun, dukungan finansial ini tentu tidak diberikan secara cuma-cuma. Ada kepentingan besar yang harus dibayar setelah para kandidat tersebut berhasil menduduki kursi kekuasaan. Sebagai konsekuensinya, kebijakan yang dihasilkan sering kali lebih menguntungkan para pemilik modal dibandingkan kepentingan rakyat. Legislasi dan regulasi dibuat sedemikian rupa agar tetap menjaga dominasi para oligarki dalam berbagai sektor, termasuk ekonomi, energi, dan sumber daya alam.
Ketergantungan pemimpin dan pejabat terhadap dukungan finansial para pemodal membuat mereka kehilangan kemandirian dalam mengambil keputusan. Kebijakan-kebijakan yang seharusnya berpihak pada kesejahteraan rakyat justru lebih sering menguntungkan segelintir elite ekonomi dan politik. Negara pun menjadi lemah di hadapan oligarki karena para penguasa yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru tunduk pada kepentingan pemodal.
Akhirnya, yang menjadi korban adalah rakyat kecil. Rakyat makin sulit mengakses kesejahteraan akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Ironisnya, ketika rakyat menuntut keadilan, mereka justru sering kali ditekan atau dikriminalisasi dengan berbagai dalih. Sementara koruptor dengan kekuatan modalnya bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum atau hanya mendapatkan hukuman ringan.
Jika akar masalahnya tidak diselesaikan, korupsi akan terus menjadi penyakit kronis yang menghancurkan bangsa ini dari dalam. Oleh karena itu, sekadar memperbaiki moral individu tanpa membenahi sistem yang korup tidak akan cukup.
Selama sistem kapitalisme dan demokrasi tetap menjadi fondasi dalam tata kelola negara, maka korupsi akan selalu menemukan celah untuk berkembang. Inilah realitas yang harus disadari bahwa persoalan korupsi bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sistemik yang membutuhkan perubahan fundamental.
Islam Menutup Rapat Celah Korupsi
Korupsi hanya bisa diberantas dengan sistem yang menutup celah bagi kejahatan ini dari akar-akarnya. Islam memiliki mekanisme hukum yang tegas dan efektif dalam menangani korupsi. Pelaku yang terbukti mencuri harta publik dalam jumlah besar dapat dikenakan sanksi berat sesuai syariat, mulai dari takzir hingga potong tangan dalam kasus tertentu. Hukuman ini bukan sekadar efek jera, tetapi juga bentuk keadilan agar hak rakyat tidak dirampas.
Selain itu, Islam menempatkan kepemimpinan sebagai amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh ketakwaan. Seorang pemimpin dalam sistem Islam tidak mencari keuntungan pribadi, tetapi bertanggung jawab kepada Allah dan rakyat. Khalifah Umar bin Khattab adalah contoh pemimpin yang berhati-hati dalam menggunakan harta negara, bahkan menolak fasilitas berlebih yang bukan haknya. Dengan pemimpin yang adil dan bertakwa, praktik korupsi dapat dicegah sejak awal.
Sistem ekonomi Islam juga berperan penting dalam menutup celah korupsi. Dalam Islam, sumber daya utama dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir orang. Islam melarang riba dan memastikan distribusi kekayaan yang adil sehingga ketimpangan sosial berkurang dan dorongan untuk melakukan korupsi pun melemah.
Di sisi lain, Islam menanamkan budaya muhasabah atau kontrol sosial yang kuat. Rakyat memiliki hak untuk menegur dan mengoreksi pemimpin yang menyimpang. Rasulullah saw. bersabda:
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar di hadapan pemimpin yang zalim.” (HR Abu Dawud).
Dengan adanya kontrol dari masyarakat dan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, penyalahgunaan wewenang dapat ditekan. Pendidikan moral dan ketakwaan juga menjadi fondasi penting dalam mencegah korupsi.
Islam menanamkan nilai-nilai kejujuran dan rasa takut kepada Allah sejak dini. Oleh karenanya, individu memiliki kesadaran bahwa korupsi bukan hanya kejahatan sosial, tetapi juga dosa besar yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, korupsi dapat diberantas hingga ke akarnya. Tanpa sistem yang berbasis keadilan dan ketakwaan, kejahatan ini hanya akan terus berulang, sebagaimana yang terjadi dalam sistem demokrasi kapitalisme saat ini. Wallahu a’lam bisshawab. [CM/NA]