Oleh. Nur Itsnaini Maulidia
(Aktivis Dakwah)
CemerlangMedia.Com — Ketahanan pangan adalah persoalan penting bagi suatu bangsa karena berkaitan erat dengan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia). Sayangnya hal ini belum mendapatkan perhatian yang serius di Indonesia.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan swasembada pangan merupakan tantangan besar. Menurut Arief negara hanya mengucurkan dana sebesar 0,6 persen dari total anggaran negara untuk bidang pangan. Ia juga menambahkan bahwa lahan yang ada dalam negeri tidak semua dapat dijadikan area pertanian. Dengan demikian, ketimpangan ketersediaan pangan antar daerah menjadi hal yang wajar. Arief juga memberi penekanan pada beberapa isu pertanian, seperti penggunaan teknologi yang minim, kurangnya regenerasi, dan ekosistem (Katadata.co.id, 02-06-2023).
Sejatinya dalam mewujudkan ketahanan pangan tentunya membutuhkan anggaran yang cukup dan teknologi yang memadai, dengan begitu akan dapat memanfaatkan lahan yang tersedia sebagai sarana untuk mewujudkan ketahanan pangan. Namun yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, anggaran yang dikucurkan begitu minim sehingga mewujudkan ketahanan pangan adalah sesuatu yang sulit dijangkau. Seharusnya hal ini menjadi pendorong bagi negara untuk membuat kebijakan yang menghasilkan swasembada pangan hakiki dengan variasi bahan yang dibutuhkan dan jangan sampai bergantung pada impor.
Kelangkaan pangan muncul akibat minimnya ketersediaan bahan pangan di pasaran. Ketika ketersedian pangan menipis, maka harga akan melambung naik. Pada kondisi seperti ini biasanya pemerintah akan mengeluarkan kebijakan impor untuk menutupi kekurangan bahan pangan yang beredar di pasaran. Kurangnya upaya mewujudkan swasembada berbagai jenis pangan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan gizi masyarakat, menjadikannya negara bergantung pada impor. Potensi negeri untuk mewujudkan kemandirian pangan yang sangat luar biasa justru diabaikan.
Fakta tersebut menjadi bukti, bahwa, cengkeraman sistem kapitalisme dan keterikatan Indonesia dalam perjanjian internasional seperti WTO, menjadikannya tidak mandiri. Selalu bergantung pada luar negeri. Selama menerapkan sistem kapitalisme, swasembada pangan yang hakiki mustahil akan terwujud. Persoalan kelangkaan pangan akan selalu menghantui masyarakat.
Pangan adalah masalah krusial. Karena itu, negara haruslah mandiri tidak boleh bergantung pada negara lain. Negara seharusnya memberi subsidi besar pada para petani, agar mereka bisa memproduksi pangan dan mampu mendapatkan keuntungan yang besar.
Dalam sistem Islam, politik pertanian mengacu pada peningkatan produksi pertanian dan distribusi pangan yang adil. Rasullullah saw. pernah mencontohkan bagaimana mewujudkan politik agraria yang berkeadilan. Beliau mengklasifikasikan kepemilikan harta serta menghidupkan tanah mati untuk dimanfaatkan dan dikelola masyarakat.
Dalam aspek produksi, negara dalam Islam akan menghentikan impor dan akan memberdayakan pertanian. Negara tidak akan membiarkan lahan pertanian habis hanya untuk sektor industri. Sebab lahan pertanian berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Dalam hal produksi, negara akan menerapkan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Intensifikasi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan produktifitas lahan yang sudah ada. Negara dapat mengupayakan dengan penyebarluasan dan teknologi budidaya yang terbaru dikalangan petani. Membantu pengadaan mesin-mesin pertanian yang canggih, benih-benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian memadai lainnya.
Negara juga tidak boleh melakukan ekspor pangan hingga kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi dengan baik. Negara harus memberikan modal kepada yang tidak mampu. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab ra. dengan memberikan harta dari baitulmal kepada petani di Irak sehingga dapat membantu mereka menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka. Tanpa meminta imbalan sedikit pun dari mereka.
Sedangkan ekstensifikasi dilakukan dengan beberapa hal berikut:
Pertama, membuka lahan-lahan baru dengan menghidupkan tanah mati menjadi lahan yang siap untuk ditanami. Setiap tanah mati yang dihidupkan oleh seseorang, maka lahan tersebut menjadi hak milik orang yang menghidupkannya.
Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak miliknya.” (HR Bukhari)
Kedua, setiap orang yang memilki tanah akan diperintahkan untuk mengolah tanahnya. Siapa saja yang membutuhkan biaya untuk mengola tanahnya maka negara akan memberinya modal dari baitulmal untuk dikelola secara maksimal. Namun, apabila yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun, maka tanah akan diambil alih dan diberikan kepada yang lain.
Khalifah Umar bin Khattab ra. pernah berkata, “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang telah dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama 3 tahun.”
Adapun mengenai persoalan distribusi, negara akan menerapkan kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam dengan tegas melarang adanya penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Hal ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga pangan. Kebijakan distribusi pangan dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan pangan setiap individu masyarakat.
Dengan begitu akan diketahui seberapa banyak kebutuhan yang harus dipenuhi negara bagi setiap keluarga. Dengan mengadopsi kebijakan pangan dalam sistem Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. kemandirian pangan pasti akan terwujud. Tentunya hal tersebut bisa terwujud hanya dalam institusi Islam dalan naungan Khil4f4h ‘ala Minhajin Nubuwwah. Wallahu a’lam. [CM/NA]