Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Praktik politik dalam Islam jauh dari politik oportunis. Para pemegang kekuasaan tidak lahir dari kepentingan koalisi para elite. Para pengemban amanah itu menyadari sepenuhnya bahwa mengurus rakyat adalah kewajiban.
CemerlangMedia.Com — Presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka akan segera dilantik secara sah untuk menduduki kursi nomor satu dan nomor dua di Indonesia. Hal ini pula menjadi tantangan bagi keduanya untuk menyusun para pembantu yang akan menemani mereka berkuasa sampai 2029 mendatang.
Kabar yang beredar, di era Prabowo-Gibran akan lebih banyak jumlah menterinya. Jika pada era Jokowi terdapat 34 kementerian, nantinya akan bertambah menjadi 44 kementerian. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Menurutnya, jumlahnya belum pasti, tetapi akan lebih banyak dibandingkan era Jokowi. Hal senada juga disampaikan Bambang Soesatyo, politisi Golongan Karya (Golkar) sekaligus ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) (Kompas.com, 11-09-2024).
Jika benar kabar tersebut, apa tujuan sebenarnya? Benarkah semua ini untuk kepentingan rakyat atau sedang membagi-bagi kue kekuasaan? Apa pun itu, yang jelas, politik demokrasi selalu bermasalah.
Racun Demokrasi
Jika benar kementerian yang sedang disusun akan membludak, tentu akan menyebabkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menanjak, sebab mereka harus digaji. Hal ini kemungkinan besar akan disertai pula dengan naiknya pajak dan utang negara, sebab sumber pendapatan utama negara ini adalah utang dan pajak.
Banyak hal yang harus diperhatikan dalam menambah kementerian. Jika berlebihan, rentan menjadi masalah tersendiri dalam pemerintahan yang akan dipimpin. Meskipun menteri memiliki peran penting untuk menyukseskan program pemerintahan, tetapi ketika berlebihan, dapat memberi dampak negatif secara signifikan, di antaranya pemborosan sumber daya, inefisiensi operasional, serta prosedur yang nantinya rumit dan berbelit-belit.
Kondisi ini akan mengakibatkan kepengurusan terhadap rakyat melambat. Pasalnya, kementerian membutuhkan waktu penyesuaian sebelum benar-benar bekerja, contohnya pada pemisahan dan peleburan ulang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Perubahan nomenklatur menyebabkan kementerian tersebut menghabiskan waktu setidaknya dua tahun hanya untuk mengisi jabatan dan mengkonsolidasi struktur.
Oleh karena itu, pemerintah haruslah benar-benar memastikan kabinetnya bekerja secara efektif. Sebab, banyak pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan, seperti janji kampanye dan warisan kebijakan pemerintahan sebelumnya yang sembarangan.
Namun, banyaknya menteri yang akan dibentuk tidak terlepas dari partai politik yang dirangkul agar bergabung dengan koalisi. Bahkan, partai politik yang menjadi rival saat pemilihan presiden 2024 turut bergabung dengan koalisi. Tak pelak, bejibunnya kementerian disinyalir sebagai bagi-bagi kekuasaan.
Wajar spekulasi ini muncul, sebab bagi-bagi kekuasaan adalah tradisi umum sistem politik demokrasi. Politik demokrasi berasas manfaat dan kepentingan. Di mana ada kepentingan, di situ ada target keuntungan, di mana ada peluang berkuasa, maka idealisme tersingkirkan. Tidak heran, dalam politik pragmatis demokrasi ini sering dijumpai politisi yang dahulunya sering mengkritik kebijakan, sekarang justru berbalik menjadi pemuja.
Inilah racun demokrasi. Praktik politik yang sarat kemunafikan. Politik transaksional akan selalu ada, tanpa berkesudahan. Sikap oportunis, pragmatis selalu setia menyertai politik demokrasi, baik dilakukan oleh partai politik ataupun individu.
Mirisnya lagi, kapabilitas atau kemampuan menjalankan tugas kerap dikesampingkan, yang menjadi prioritas hanyalah menempatkan orang-orang sebagai balas jasa. Inilah pentingnya peran pengemban dakwah, yakni untuk menyadarkan umat agar tidak lagi terjebak pada politik busuk demokrasi. Sebab, demokrasi penuh racun yang mematikan rakyat secara perlahan.
Terlebih, politik demokrasi lahir dari sistem sekularisme-liberalisme yang meniscayakan manusia bebas berbuat apa saja dalam berpolitik, termasuk kebohongan. Suara rakyat hanya digunakan untuk kepentingan meraih kursi jabatan. Dengan begitu, demokrasi telah memproklamirkan diri sebagai sistem politik yang hanya menguntungkan segelintir elite, sedangkan rakyat dibuntungkan. Inilah realita yang terjadi pada sistem politik demokrasi saat ini.
Politik Islam
Praktik politik dalam Islam jauh dari politik oportunis. Para pemegang kekuasaan tidak lahir dari kepentingan koalisi para elite. Para pengemban amanah itu menyadari sepenuhnya bahwa mengurus rakyat adalah kewajiban.
Di samping itu, kepengurusan rakyat berdasarkan syariat. Oleh karenanya, pemimpin negara Islam tidak sembarangan memilih pejabat yang akan membantunya mengurus rakyat. Apabila amanah dipangku oleh orang yang tidak kompeten, maka akan hancur, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya “Bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Nabi menjawab,”Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (Hadis Bukhari Nomor 6015).
Selain itu, orientasi politik dalam Islam bukan semata meraih kekuasaan setinggi-tingginya, tetapi menjadi jalan untuk menegakkan syariat Islam secara kafah sebagai solusi dasar segala permasalahan umat manusia. Oleh karena itu, dalam sistem politik Islam akan lahir pemimpin yang amanah, tidak menyimpang dari aturan Allah, sebab selalu dipagari oleh rambu-rambu syariat.
Dengan demikian, keberadaan sistem politik Islam sangat diharapkan untuk menjadi penawar racun demokrasi. Sudah saatnya umat diarahkan untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam secara total. Sebab, hanya sistem inilah yang akan melahirkan pemimpin amanah dan penuh berkah. Pemimpin yang sayang kepada rakyat, tanpa embel-embel kepentingan pribadi atau pun golongan. Wallahu a’lam. [CM/NA]