Nasib Petani Kian Teruk, Imbas Kapitalisasi Pupuk

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Neti Ernawati
(Aktivis Muslimah Yogyakarta)

CemerlangMedia.Com — Seperti yang diketahui, pemerintah melalui PT Pupuk Indonesia menyediakan pupuk bersubsidi berupa pupuk urea dan nitrogen fosfor dan kalium (NPK) dengan besaran kuota subsidi ditentukan oleh pemerintah. Tidak main-main, pemerintah telah menyetujui penambahan anggaran subsidi pupuk di 2024, dari 26,7 triliun untuk volume 4,7 juta ton naik menjadi 53,3 triliun untuk volume 9,55 juta ton (Bisnis.com, 20-06-2024).

Untuk bisa membeli pupuk bersubsidi, petani harus memenuhi syarat sebagai penerima bantuan dan terdaftar di aplikasi E Tetubles serta terdaftar di Rencana Definitif kebutuhan Kelompok Tani atau RDKK (ngopibareng.id, 25-06-2024). Apabila sudah terdaftar, maka petani akan menerima Kartu Tani sebagai sarana akses layanan perbankan terintegrasi yang fungsi utamanya sebagai alat pembayaran transaksi pupuk bersubsidi di pengecer (bkkbn.go.id, 27-07-2023).

Distribusi Pupuk Subsidi Bermasalah

Meski sudah tersusun sistematis, masih ada saja persoalan yang muncul pada distribusi pupuk bersubsidi ini. Saat memantau penyalurannya, Satgassus Pencegahan Korupsi Polri menemukan kasus bahwa pupuk bersubsidi belum dapat terdistribusi merata pada kios-kios pengecer di daerah. Petani di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, harus menempuh jarak sekitar 80 kilometer untuk bisa mendapatkan pupuk bersubsidi (Beritasatu.com, 23-06-2024).

Permasalahan besaran alokasi subsidi menjadi tambahan masalah distribusi. Sekitar 58% petani yang terdaftar di e-RDKK belum menebus pupuk bersubsidinya hingga akhir Mei 2024 karena alokasi subsidi tidak sebanding dengan biaya transport ke kios (CNBC Indonesia, 19-06-2024).

Pada beberapa daerah, petani gagal mendapatkan pupuk bersubsidi dikarenakan permasalahan regulasi data. Ada nama-nama yang belum terdaftar di e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) lantaran Nomor Induk Kependudukan (NIK) belum sinkron dengan Data Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) atau pengurusan data oleh ahli waris karena petani telah meninggal. Ada pula yang harus menyertakan bukti kepemilikan tanah, padahal tidak semua petani berstatus pemilik dan hanya berprofesi sebagai buruh.

Kendala lain muncul dari pihak bank yang ditunjuk pemerintah dalam pengalokasian pembiayaan pupuk bersubsidi. Sampai Juni 2024, masih banyak Kartu Tani yang belum disalurkan oleh pihak bank sehingga petani tidak bisa menebus jatah pupuk subsidinya (beritasatu.com, 23-06-2024).

Realisasi Jauh dari Alokasi

Sangat disayangkan, dalam kenyataannya, penyaluran pupuk bersubsidi masih sangat rendah. Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero), Rahmad Pribadi menyatakan hingga Juni 2024 penyaluran pupuk bersubsidi baru mencapai angka 2,8 juta ton atau setara 29% dari alokasi 9,55 juta ton (CNBC Indonesia, 19-06-2024).

Rincian data hingga 15 Juni 2024, realisasi penyaluran pupuk urea tercatat baru mencapai 1,58 juta ton dari alokasi 4,63 juta ton, pupuk NPK disalurkan 1,2 juta ton dari alokasi 4,27 juta ton, sedangkan pupuk NPK formula khusus tersalurkan 9.334 ton dari alokasi 136.870 ton. Sementara itu, untuk penyaluran pupuk organik sama sekali belum ada realisasi dari alokasi sebanyak 500.000 ton.

Aroma Kapitalisme Pengadaan Pupuk

PT Pupuk Indonesia (persero) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sejak 2017 ditunjuk pemerintah sebagai holding BUMN di bidang produksi pupuk (PP No. 28/2017). Sebagai BUMN yang berbentuk perseroan, tidak dimungkiri bila dalam kinerjanya, perusahaan ini juga memiliki tujuan untuk meraih keuntungan.

Terlebih bila modal persero yang dimiliki negara di angka minimal, yaitu paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) dan sisa saham lainnya dimiliki oleh swasta, maka kebijakan-kebijakan perusahaan sudah tidak lagi total untuk melayani masyarakat. Mau tidak mau, perusahaan pun mengikuti kebijakan pemilik modal yang pastinya merujuk aspek laba.

Alhasil, negara dan PT Pupuk Indonesia bak pembeli dan pedagang. Kebijakan penambahan anggaran subsidi pupuk yang tidak disertai kestabilan pendanaan menyebabkan negara memiliki utang kepada PT Pupuk Indonesia (persero) yang sejatinya adalah BUMN sendiri.

Total utang subsidi pupuk pemerintah indonesia kepada PT Pupuk Indonesia (Persero) sebagai penyedia pupuk, tercatat mencapai Rp12,5 triliun. Utang tersebut terdiri dari tagihan berjalan April 2024 sekitar 2 triliun dan sisanya merupakan tagihan subsidi pupuk pada 2020, 2022, dan 2023 yang belum dibayar (Bisnis.com, 20-06-2024).

Subsidi Pupuk Bukan Solusi

Dari segudang permasalahan yang muncul akibat pupuk dapat dilihat bahwa kebijakan pengadaan dan penyaluran pupuk subsidi perlu peninjauan ulang. Terbatasnya kios sebagai titik penyaluran pupuk yang langsung terhubung ke tangan petani, mekanisme yang rumit dan memakan waktu antara sistem aplikasi, data RDKK, data Dukcapil dan bank untuk menghasilkan Kartu Tani, serta bertambahnya daftar utang negara kepada perusahaan pupuk adalah masalah-masalah cabang dari arah kebijakan yang salah.

Masalah utamanya adalah penyediaan pupuk, baik itu subsidi atau non subsidi. Pemerintah sebagai penjamin kesejahteraan rakyat harusnya mampu memberikan pelayanan kebutuhan pupuk secara total, tanpa bertujuan mengambil keuntungan.

Islam Punya Solusi

Islam menjadikan pertanian sebagai bidang yang strategis. Pertanian dinilai sebagai aspek paling penting dalam memastikan pasokan kebutuhan pokok dalam terciptanya ketahanan pangan. Oleh karena itu, negara akan mendukung penuh para petani, termasuk dalam mengakses kebutuhan penunjang pertanian.

Melalui baitulmal, negara hadir memberikan bantuan modal, peralatan, benih, teknik budidaya, teknologi, obat, pupuk, dan sebagainya. Sumber pendanaan baitulmal berasal dari aset-aset negara sehingga tidak akan membebani rakyat.

Negara juga mengatur mekanisme irigasi dan pengelolaan lahan. Perluasan lahan pertanian dilakukan dengan kebijakan menghidupkan lahan mati (ihya’ul mawat) dan pemagaran (tarjih). Dalam daulah Islam, negara akan memberi lahan pertanian (iqtha’) kepada siapa pun yang mampu mengolahnya.

Dalam membangun perekonomian yang mandiri, Daulah Islam akan berupaya menjadi negara industri. Dengan begitu, segala hal di bidang industri pertanian dapat dijalankan negara tanpa ada intervensi dari pihak lain, apalagi terlibat perjanjian nasional yang bertujuan mengendalikan pasar suatu negara.

Daulah Islam akan dapat memberi solusi tuntas untuk masalah pertanian, industri, sekaligus ekonomi dari hulu. Seluruh pengaturan tersebut dilakukan negara semata-mata untuk mengurus rakyatnya guna mencapai kesejahteraan. Wallahu a’lam [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *