Penulis: Widhy Lutfiah Marha
Pendidik Generasi
Negara adalah raain (pengurus rakyat). Ini bukan sekadar istilah, tetapi prinsip utama dalam sistem Islam. Negara harus aktif menjamin kebutuhan dasar setiap rakyat, mulai dari pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak.
CemerlangMedia.Com — Di negeri yang katanya kaya, para sarjana justru mengantre jadi pengangguran. Di balik toga dan harapan orang tua, tersembunyi kecemasan, ke mana harus melangkah setelah lulus? Keresahan itu bukan sekadar cerita individu, melainkan cermin dari realita yang lebih luas.
Bahkan kini, laporan resmi IMF 2024 menyebutkan bahwa Indonesia menjadi peringkat pertama dalam tingkat pengangguran tertinggi se-ASEAN. Hal yang lebih menyedihkan lagi, para lulusan universitas, baik dari jenjang sarjana maupun diploma, menjadi kelompok paling rentan dalam statistik pengangguran tersebut (kompas.com, 30-04-2025).
Meskipun Indonesia bukan negara kecil dan bukan pula negara yang sedang berkonflik, tetapi sumber daya alamnya melimpah. Jumlah penduduk produktif yang besar dan potensi ekonominya sering dibanggakan, tetapi pengangguran meningkat tajam. Kondisi ini seharusnya menjadi tamparan keras, bukan hanya bagi dunia pendidikan, melainkan juga bagi arah kebijakan negara. Mengapa makin banyak orang terdidik yang tidak terserap oleh dunia kerja?
Menurut laporan media daring, gelar sarjana kini tidak lagi bisa diandalkan. Gelar sarjana bukan lagi “senjata pamungkas” untuk bertahan hidup di tengah persaingan. Banyak yang harus menerima kenyataan pahit, seperti kerja serabutan, menganggur bertahun-tahun, bahkan kembali bergantung kepada orang tua. Ini bukan kegagalan individu. Ini adalah kegagalan sistem (cnbcindonesia.com, 01-05-2025).
Kapitalisme Akar Masalah
Dalam sistem kapitalisme, negara bukan penanggung jawab utama dalam menciptakan lapangan kerja. Tugas negara hanyalah sebagai pengatur atau sekadar “wasit”, bukan pelaku aktif dalam menjamin kehidupan rakyat.
Pemerintah menyerahkan urusan, seperti penciptaan lapangan kerja kepada investor dan swasta dengan membuka investasi sebesar-besarnya, termasuk investor asing dan menyerahkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) kepada mereka. Negara hanya mengatur perizinan dan regulasi. Sementara itu, keuntungan besar dinikmati oleh korporasi, sedangkan rakyat hanya mendapat sisa-sisanya.
Inilah bentuk nyata ketimpangan struktural kapitalisme. Negara abai, swasta berjaya. Rakyat jadi penonton, tidak ada jaminan kesejahteraan, dan tidak ada perlindungan terhadap pengangguran. Inilah logika brutal kapitalisme. Apabila tidak berguna secara ekonomi, maka bukanlah prioritas.
Islam Solusi Tuntas
Sungguh berbeda dengan Islam. Dalam Islam, negara tidak bisa lepas tangan. Negara adalah raain (pengurus rakyat). Ini bukan sekadar istilah, tetapi prinsip utama dalam sistem Islam. Negara harus aktif menjamin kebutuhan dasar setiap rakyat, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak.
Islam memandang bahwa sumber daya alam adalah milik umum yang haram dikuasai swasta, apalagi asing. Dalam sistem Islam, negara wajib mengelola sendiri SDA dan menggunakannya untuk membiayai kebutuhan rakyat.
Negara Islam tidak akan menyerahkan tambang emas, batu bara, gas alam, dan kekayaan lainnya ke tangan investor luar. Semua itu akan dikelola oleh negara untuk membangun industri, menyediakan layanan gratis, dan menciptakan lapangan kerja secara luas.
Sistem pemerintahan Islam dalam naungan Khil4f4h bukan sekadar mimpi idealis, tetapi sistem nyata yang pernah berjalan selama lebih dari 1300 tahun dan terbukti mampu menjamin kehidupan rakyatnya dengan adil. Berikut beberapa solusi nyata yang diterapkan dalam sistem Islam:
Pertama, pengelolaan sumber daya alam oleh negara. SDA, seperti tambang, hutan, laut, dan energi akan dikelola langsung oleh negara. Keuntungannya digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan membuka industri strategis yang menyerap tenaga kerja besar-besaran.
Kedua, pembangunan industri padat karya. Negara akan fokus pada pembangunan sektor industri dan pertanian. Kedua sektor ini terbukti bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Berbeda dengan sektor jasa atau keuangan yang padat modal, tetapi minim tenaga kerja.
Ketiga, pendidikan yang terintegrasi dengan kebutuhan umat. Pendidikan bukan semata untuk mencetak lulusan berijazah, tetapi mencetak individu berilmu dan berkepribadian Islam yang bisa langsung mengabdi dan berkarya untuk masyarakat. Kurikulum disusun agar menghasilkan manusia beriman dan produktif, bukan sekadar pencari kerja.
Keempat, distribusi kekayaan yang adil. Negara tidak membiarkan kekayaan menumpuk pada segelintir elite. Pajak memberatkan dihapus, pendapatan negara diambil dari sektor riil, dan pengelolaan SDA bukan dari utang atau beban rakyat.
Kelima, jaminan lapangan kerja dan modal usaha. Bagi yang ingin berwirausaha, negara menyediakan modal tanpa bunga dan pelatihan intensif. Islam sangat mendorong kemandirian ekonomi rakyat, bukan menjadikan mereka budak sistem upah.
Khatimah
Hari ini umat sedang berada di titik kritis. Sarjana-sarjana terbaik bangsa justru tersingkir dari sistem yang seharusnya melindungi mereka. Negara tidak sanggup menjadi pengayom, yang tersisa hanyalah harapan kosong pada investasi yang tidak berpihak.
Namun, Islam datang membawa harapan yang nyata, bukan utopis. Sistem Islam dalam naungan Khil4f4h telah terbukti selama berabad-abad mampu menghadirkan keadilan sosial, menciptakan lapangan kerja, dan menjamin kesejahteraan rakyat tanpa bergantung pada utang luar negeri atau kekuasaan korporat.
Jadi, pertanyaannya sekarang bukan lagi, apakah Islam mampu menjadi solusi? Aka tetapi, apabila kapitalisme sudah gagal memberikan masa depan, bukankah sudah saatnya memberikan ruang bagi Islam untuk bicara dan membuktikan kemampuannya? Bukan karena dogma, tetapi karena sejarah dan fakta telah membuktikan keberhasilannya. [CM/Na]