Oleh. Ummu Faiha Hasna
CemerlangMedia.Com — Miris, begitu gambaran yang terjadi. Negeri yang subur dengan sumber daya alamnya tetapi rakyatnya miskin dan banyak yang pengangguran. Tak sedikit yang tergiur menjadi buruh migran dengan adanya tawaran gaji tinggi di luar negeri, sebab saking susahnya mendapat pekerjaan dan rendahnya upah di dalam negeri. Akhirnya dengan bermodal nekat dan harapan, banyak yang pergi ke luar negeri untuk mengadu nasib agar bisa memperbaiki taraf hidup dan perekonomian keluarga.
Namun, persoalan para buruh migran yang menjadi korban perdagangan orang belum juga ada titik temu penyelesaian. Hal ini menjadi pertanyaan besar, benarkah menjadi buruh migran adalah pilihan terbaik? Lalu, di mana peran negara dalam menjamin keselamatan nyawa rakyatnya?
Dikutip dari CNBC, 30/05/2023, Presiden Joko Widodo memimpin rapat internal terkait masalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (30/5/2023). Dalam rapat juga dilaporkan terkait data perdagangan orang yang menjadi masalah serius.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesis, dalam satu tahun ada 1.900 mayat yang dibawa kembali ke tanah air karena TPPO. Khususnya di Nusa Tenggara Timur mencapai 55 orang yang dipulangkan dari perdagangan orang.
BP2MI pun melaporkan dalam tiga tahun terakhir menangani sebanyak 94 ribu pekerja migran yang dideportasi dari Timur Tengah maupun Asia. Sebanyak 90% di antaranya berangkat secara tidak resmi dan diyakini diberangkatkan sindikat penempatan ilegal PMI.
Presiden memberi arahan untuk melakukan restrukturisasi Satuan Tugas Tim TPPO dan juga memerintahkan langkah tindak cepat dalam kurun waktu satu bulan kepada masyarakat.
Sebagaimana diketahui, satu dari sepuluh orang di Indonesia adalah orang miskin dengan pengeluaran kurang dari tujuh belas ribu perhari. Orang miskin -seperti yang disampaikan Komnas Ham, Anis Hidayat- bahwa dianggap potensial jadi buruh migran, yakni memiliki harapan memperbaiki nasib di tengah keterbatasan kesempatan bekerja di dalam negeri.
Mayoritas para buruh di Indonesia, khususnya di luar negeri melakukan pekerjaan fisik seperti pekerja rumah tangga, perawat, buruh, dan pekerja domestik. Iming-iming gaji yang tinggi di luar negeri menjadi modus untuk menjerat korban.
Bukan tak mungkin TPPO marak terjadi di Indonesia, karena karut marutnya sistem kehidupan saat ini. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran, hingga timbulnya kesenjangan sosial akibat dari kapitalisme yang tegak di atas sekularisme. Sebuah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Tata aturannya meniscayakan terjadinya liberalisasi dalam kehidupan termasuk liberalisasi ekonomi. Semua orang diberi hak untuk mengelola kekayaan yang ada di negeri ini selama ia mampu. Sementara, negara tidak mampu berbuat apapun kecuali membuat regulasi atau aturan yang memudahkan liberalisasi ekonomi.
Oleh karenanya, rakyat yang tidak memiliki modal harus bersaing dengan pemodal raksasa. Dengan begitu, para pemodal akan menguasai sebagian besar proyek-proyek strategis yang menjanjikan keuntungan yang besar. Sedangkan bagi rakyat yang tidak berkecukupan modal dibiarkan berjuang sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekal bakat yang ala kadarnya. Oleh karenanya, tak jarang dengan rasa terpaksa, rakyat menjadi “budak” para korporasi dalam bertahan hidup.
Sudahlah beban biaya hidup makin bertambah dengan beragam kenaikan harga yang ada, ditambah gaji yang didapat rendah jika bekerja menjadi buruh di negeri sendiri. Maka, tak heran bila orang miskin pun makin bertambah.
Rakyat pun akhirnya berpikiran untuk mencari kerja ke luar negeri, mengadu nasib di negeri seberang. Bagi mereka, menjadi buruh migran dapat menjanjikan untuk ke luar dari kemiskinan. Sementara negara gagal menjamin keselamatan nyawa rakyat yang berjuang di negara lain untuk mencari sesuap nasi.
Persoalan buruh migran sejatinya tidak akan tuntas dalam penerapan kapitalisme yang hanya menciptakan kemiskinan struktural dan lalai akan penjagaan nyawa rakyat. Persoalan ini hanya akan bisa terselesaikan dengan penerapan aturan Islam secara kafah di bawah institusi Khil4f4h.
Pemenuhan kebutuhan setiap warga negara berupa sandang, pangan, dan papan, termasuk pendidikan, kesehatan, dan keamanan dalam negara Islam adalah dalam rangka untuk menjaga nyawa rakyat. Tidak terpenuhinya salah satu dari kebutuhan asasiyah tersebut maka akan mengancam nyawa manusia.
Untuk itu, dalam memenuhi kebutuhan tersebut, negara yang bersyaksiyahkan Islam akan menerapkan aturan ekonomi Islam secara komprehensif. Penerapan sistem atau aturan dari Sang Pencipta adalah jaminan terwujudnya keberkahan, yakni dengan mewajibkan setiap kepala keluarga bekerja, menciptakan lapangan kerja agar rakyat bisa bekerja dan berusaha. Selain itu, adanya kewajiban kerabat (mahram) yang mampu untuk menafkahi keluarga yang tidak mampu, serta negara wajib menyantuni keluarga yang tidak memiliki kerabat atau ahli waris yang mampu memenuhi kebutuhannya.
Sudah menjadi kewajiban negara menyediakan lapangan pekerjaan yang luas untuk rakyatnya. Larangan penguasaan harta milik umat oleh individu atau swasta akan memudahkan negara dalam membangun banyak perusahaan yang akan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Selain itu, negara juga menjamin pemenuhan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara cuma-cuama alias gratis oleh negara, yang pembiayaannya diambil dari pos kepemilikan umum.
Pendidikan dalam negara yang bermindsetkan Islam akan menghindarkan masyarakat melakukan aksi kejahatan. Islam sejatinya akan membentuk individu masyarakat agar mempunyai keimanan yang kuat yang menjadi asas dalam berbuat. Masyarakatnya pun akan pantang berbuat maksiat dan lebih menyibukkan diri dalam beramal saleh. Masyarakat pun dengan sendirinya ber-akhlakul karimah, tak serakah sehingga tidak menghalalkan segala cara untuk meraih kekayaan.
Penerapan aturan dari Sang Pencipta melalui institusi negara benar-benar akan mampu menjamin kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa dan negara, nyawa umat terjaga dengan penerapan aturan secara sempurna dalam kehidupan. Wallahu a’lam bisshawab. [CM/NA]