Oleh: Zaid Ainnurmovic dan Rommy
(Siswa SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan)
CemerlangMedia.Com — Bullying adalah salah satu “dosa besar pendidikan”. Bagaimana bisa dosa besar ini berakhir jika intimidasi makin meningkat di antara siswa. Pada pertengahan Februari lalu, ramai tersebar kasus perundungan di SMA Binus Serpong, Tangerang, Banten. Kasus ini memasuki babak baru setelah kepolisian menaikkan ke tahap penyidikan. Aksi yang diduga dilakukan belasan siswa senior terhadap juniornya disebut oleh kriminolog sebagai “perundungan ekstrem”. Sementara pihak sekolah menyatakan siswa senior yang terbukti melakukan kekerasan telah dikeluarkan dari sekolah (BBC.com, 21-2-2024).
Di awal tahun ini saja, sudah ada 2 kasus tentang bullying yang terjadi di lingkungan sekolah dan menjadi pembicaraaan di sosial media. Dari tingkat sekolah dasar, ponpes (pondok pesantren), hingga ke sekolah menengah atas.
Sementara itu, pada akhir tahun lalu, di wilayah Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, beredar video tindak kekerasan di sekolah atau bullying yang dilakukan dua orang anak laki-laki terhadap satu siswa di salah satu sekolah swasta. M Irfansyah, Penjabat Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kotim mengungkapkan bahwa kedua individu yang terlibat merupakan anak-anak dengan kebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah regular (Matakalteng.com, 11-12-2023).
Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Bullying
Perundungan atau lebih dikenal dengan bullying, baik dalam bentuk fisik maupun verbal, pada dasarnya terjadi karena beberapa faktor,
Pertama, adalah faktor individu. Hal ini mencakup minimnya pengaruh agama dalam mengatur kehidupan manusia. Dalam menjalani kehidupannya, manusia tidak terikat dengan aturan agama dan sering kali merumuskan norma sendiri sesuai keinginannya. Di kalangan pemuda, sering kali terdengar ucapan “gak usah bawa-bawa agama” yang berkontribusi pada kurangnya landasan moral dalam tindakan mereka. Akibatnya, emosi mudah terpicu oleh masalah sepele.
Kedua, lingkungan keluarga. Anak cenderung meniru perilaku orang tua mereka di rumah. Jika orang tua sering terlibat dalam konflik, menghukum anak, atau memberikan pengasuhan yang penuh luka seperti membandingkan, memarahi, atau bahkan melukai fisik anak, suasana rumah dapat mengakibatkan stres. Dalam situasi ini, anak mungkin beranggapan bahwa perilaku anarkis adalah cara untuk membela diri.
Ketiga, sekolah dan sistem pendidikan. Kejadian perundungan makin meningkat karena pengawasan yang kurang ketat dari pihak sekolah. Sistem pendidikan cenderung fokus pada materi, mencari nilai tinggi tanpa memberikan penekanan yang memadai terhadap pendidikan moral dan agama. Meskipun ada penekanan pada prestasi, kurangnya pembinaan moral dan agama membuat individu kehilangan filter yang dapat membantu mereka mengendalikan diri. Keberadaan agama sejatinya membantu seseorang menyadari tanggung jawab perbuatannya ketika di akhirat nanti sehingga mencegah tindakan impulsif yang dapat menyakiti orang lain. Selain itu, seringnya perubahan dalam kurikulum pendidikan juga terbukti tidak mampu membentuk akhlak generasi kita secara efektif.
Keempat, peran media. Tontonan memiliki potensi sebagai panduan dalam bertindak dan tayangan yang tidak memberikan manfaat dapat memicu pola perundungan. Menurut survei Kompas, sebanyak 56,9% anak cenderung meniru adegan yang mereka saksikan dalam film. Umumnya, mereka meniru gerakan (64%) dan kata-kata (43%) yang terdapat dalam tayangan tersebut. Terlebih lagi, film-film dengan tema kekerasan sangat mudah diakses dengan ujung jari mereka.
Saat ini, anak usia dini sering kali pula sudah memiliki akses ke ponsel pintar. Tidak hanya film, permainan daring yang dimainkan oleh anak-anak juga sering mengandung unsur kekerasan fisik, seperti pukulan, serangan, bahkan pembvnvhan. Tontonan dan interaksi dengan permainan semacam ini dapat membentuk emosional anak dan mendorong mereka untuk mempraktikkan apa yang dilihat dan dialami dalam dunia virtual.
Islam Mengatasi Bullying
Islam memandang langkah-langkah pencegahan dan penanganan bullying melalui tiga pilar utama. Pertama, negara mengintegrasikan akidah Islam dalam kurikulum pendidikan, menanamkan iman sejak dini, dan mengawasi media agar bebas dari yang diharamkan. Kedua, masyarakat dan sekolah menjalankan sistem Islam dengan selalu amar makruf nahi mungkar. Guru diberi perhatian dan penghargaan sebagaimana masa peradaban Islam. Ketiga, keluarga sebagai sekolah pertama mendapatkan fasilitasi pendidikan dengan mudah, bahkan gratis. Mudahnya mendapatkan pekerjaan bagi kaum laki-laki, memungkinkan ibu fokus pada pendidikan anak tanpa adanya beban ekonomi.
Dalam penanganan bullying, negara memberlakukan sanksi tegas tanpa membedakan usia sesuai dengan prinsip mukalaf dalam Islam. Dalam paradigma Islam, pendidikan akan membentuk tanggung jawab dan memberikan perlindungang terhadap perilaku bullying melalui akidah, syariat, dan sistem sanksi. Tidak ada istilah anak di bawah umur. Ketika seseorang sudah balig, ia menjadi mukalaf dan menanggung konsekuensi taklif hukum menurut syariat Islam. Sanksi ini bertujuan memberikan efek jera, tanpa membedakan pelaku kekerasan antara remaja dan dewasa.
Dengan paradigma semacam itu, anak akan memiliki tanggung jawab atas perbuatannya dan membentuk sikap kedewasaan sehingga tidak lagi dianggap “anak-anak”. Penerapan sistem Islam dalam kurikulum pendidikan menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai fase usia balig, tanggung jawab, taklif hukum, dan konsekuensi perbuatan. Oleh karena itu, penting untuk mengubah paradigma pendidikan dan menerapkan sistem Islam secara kafah sehingga bullying dapat dihentikan. [CM/NA]