Pagar Laut, Krisis Pengelolaan Aset Negara

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Meta Nisfia Falah, S.Ak.

Islam menawarkan solusi fundamental terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi dalam tata kelola aset negara. Dengan konsep kepemilikan yang jelas, yaitu memisahkan kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

CemerlangMedia.Com — Permasalahan tata kelola pertanahan di Indonesia kerap menjadi sorotan akibat berbagai penyimpangan yang terjadi, mulai dari penyalahgunaan wewenang hingga dugaan praktik korupsi. Salah satu kasus yang mencuat baru-baru ini adalah pembangunan pagar laut sepanjang 30 km di Tangerang.

Kasus pagar laut 30 km di Tangerang menyebabkan pencopotan enam pejabat Kementerian ATR/BPN dan sanksi berat bagi dua pejabat lainnya akibat kelalaian dalam penerbitan sertifikat. Dugaan suap belum terbukti dan menjadi ranah aparat penegak hukum. Sejumlah kepala desa juga dilaporkan ke Kejaksaan Agung karena diduga berkolusi dalam penyalahgunaan wewenang sejak 2012. Modusnya adalah mengakali surat-surat tanah untuk memuluskan penerbitan HGB pada 2023 (kompas.com, 31-01-2025).

Seperti halnya kasus serupa di berbagai daerah, pelanggaran hukum dalam penerbitan sertifikat tanah seolah sudah terang benderang. Akan tetapi, langkah hukum yang tegas masih terkesan lamban, meskipun sejumlah pejabat telah dicopot dan beberapa kepala desa dilaporkan ke kejaksaan agung. Pertanyaan besar yang mengemuka adalah apakah dalang utama di balik kasus ini benar-benar akan tersentuh oleh hukum atau justru dibiarkan bebas?

Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa penyelesaian kasus hanya sebatas pada pencopotan jabatan tanpa ada konsekuensi pidana yang nyata. Meskipun belum terbukti adanya dugaan suap, seharusnya menjadi dasar bagi aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini hingga ke akar permasalahan.

Dalam kasus besar seperti ini, hanya pihak-pihak tertentu yang dijadikan kambing hitam, sementara aktor intelektual yang berada di balik layar tetap lolos dari jerat hukum. Alih-alih bertanggung jawab, para pejabat yang terlibat lebih banyak bersilat lidah dan mencari cara untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.

Saling lempar kesalahan menjadi pemandangan yang lazim. Ini menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pertanahan masih menjadi tantangan besar. Jika dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian yang jelas dan tegas, kasus seperti ini akan makin merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintahan.

Lemahnya Supremasi Hukum

Fenomena korporatokrasi yang makin mengakar dalam sistem pemerintahan menunjukkan bahwa negara bukan lagi menjadi pelindung kepentingan rakyat, melainkan cenderung tunduk pada kekuatan modal yang dikendalikan oleh segelintir elite. Kasus pagar laut di Tangerang serta praktik penjualan area pesisir di berbagai pulau hanya sebagian kecil dari bukti bagaimana korporasi dengan leluasa menguasai aset-aset strategis bangsa.

Lebih ironis lagi, aparat dan pejabat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan justru berperan sebagai fasilitator kejahatan terhadap rakyat. Dengan dalih investasi dan pertumbuhan ekonomi, mereka melegitimasi praktik penyimpangan hukum yang merugikan masyarakat dan berpotensi mengancam keberlanjutan lingkungan serta kedaulatan negara.

Sistem ekonomi kapitalisme dengan prinsip liberalisme memang membuka ruang bagi terjadinya ketimpangan ini. Regulasi yang seharusnya mengontrol justru dibuat untuk mengakomodasi kepentingan oligarki. Keadaan ini mencerminkan bahwa hukum tidak lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan alat untuk melanggengkan kekuasaan segelintir orang yang memiliki modal besar.

Jika situasi ini terus dibiarkan, bukan hanya hak-hak masyarakat yang tergerus, tetapi juga kedaulatan bangsa yang perlahan dilemahkan oleh cengkeraman korporasi yang makin tidak tersentuh oleh hukum. Negara harus segera mengambil langkah tegas untuk mengembalikan supremasi hukum agar keadilan tidak hanya menjadi ilusi bagi rakyat kecil.

Menyandarkan pada Hukum Syarak

Dalam realita saat ini, fungsi negara sebagai raain (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat makin terkikis oleh dominasi kepentingan korporasi dan elite politik. Negara yang seharusnya mengatur dan melindungi, justru berperan sebagai alat bagi segelintir pihak untuk memperkaya diri dengan mengorbankan hak-hak rakyat.

Sistem hukum yang didasarkan pada akal manusia terbukti mudah dimanipulasi demi kepentingan oligarki. Hukum buatan manusia akan menghasilkan regulasi yang lebih berpihak pada pemilik modal ketimbang pada kesejahteraan masyarakat.

Kondisi ini berbeda jika aturan yang diterapkan bersumber dari hukum syarak yang menjadikan keadilan dan kemaslahatan rakyat sebagai prinsip utama dalam pengelolaan sumber daya. Hukum syarak tidak memberi ruang bagi kepentingan segelintir orang untuk menguasai aset negara dengan mengorbankan rakyat.

Sebaliknya, sistem ini memastikan bahwa pengelolaan tanah, laut, dan kekayaan alam dilakukan dengan prinsip amanah, demi kepentingan seluruh masyarakat. Jika tidak kembali kepada aturan yang bersumber dari wahyu, negara akan terus berada dalam cengkeraman korporatokrasi yang menjauhkan rakyat dari kesejahteraan dan keadilan yang hakiki.

Sistem Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Islam menawarkan solusi fundamental terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi dalam tata kelola aset negara. Dengan konsep kepemilikan yang jelas, yaitu memisahkan kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

Islam memastikan bahwa sumber daya strategis, seperti tanah, laut, dan kekayaan alam tidak boleh dikuasai oleh segelintir korporasi atau oligarki. Pengelolaan aset ini harus diarahkan untuk kemaslahatan seluruh rakyat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taala dalam surah Al-Baqarah: 188,

“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Ayat ini mengingatkan agar harta rakyat tidak diambil dengan cara yang batil dan zalim. Hal ini dapat terjadi ketika negara berpihak kepada kepentingan segelintir orang.

Lebih dari itu, sistem sanksi dalam Islam ditegakkan dengan prinsip keadilan yang tidak pandang bulu. Tidak ada celah ataupun kongkalikong antara penguasa dan pemilik modal karena hukum diterapkan secara tegas tanpa diskriminasi.

Siapapun yang melanggar, baik rakyat biasa maupun pejabat tinggi akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Inilah yang membedakan sistem Islam dari hukum buatan manusia yang sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Dengan penerapan hukum syarak secara kafah, keadilan yang sejati bukan sekadar wacana. Akan tetapi menjadi realita yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Wallaahu a’lam bissawab. [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *