Penggusuran Besar-besaran di Bekasi, Adakah Demi Rakyat?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Penulis: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com

Penataan kota dan lingkungan dalam Islam, haruslah memperhatikan kelestarian alam dan kemaslahatan umum, bukan mempertimbangkan ekonomi semata. Negara juga wajib mencegah kerusakan alam akibat pembangunan yang dilakukan.

CemerlangMedia.Com — Bekasi kembali sibuk. Kali ini bukan karena pembangunan, melainkan pembongkaran bangunan di atas bantaran kali dan sekitarnya. Deru alat berat menari-nari di atas reruntuhan rumah rakyat. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap banjir dan memperbaiki kerusakan lingkungan. Namun, di balik deru mesin yang membabat habis rumah-rumah milik warga, muncul pertanyaan besar, sejauh mana kepentingan rakyat menjadi prioritas pada kebijakan ini?

Salah satu tempat pembongkaran bangunan adalah Desa Mekarsari, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Menurut informasi awal, jarak batas aman pembongkaran 5 meter dari bantaran kali. Akan tetapi, informasi mutakhir, jarak batas aman berubah menjadi 10 meter. Oleh karenanya, makin banyak rumah-rumah yang dibongkar.

Lebih jauh, hingga eksekusi dilakukan, tidak ada kepastian kompensasi ataupun ganti rugi kepada pemilik bangunan, padahal mereka memiliki SHM. Bahkan, warga diminta untuk membongkar bangunannya sendiri.

Ketua RT 02, RW 06, Desa Mekarsari, Syarifuddin mengemukakan pendapat bahwa mereka yang rumahnya dibongkar dan mempunyai SHM harus diberikan kompensasi seperti di daerah lain. Berbeda dengan bangunan liar yang tidak memiliki SHM, maka tidak mendapatkan kompensasi menurutnya tidak apa-apa sebab sudah menyalahi aturan (Tirto.id, 28-04-2025). Walaupun sejatinya normalisasi sungai dilakukan untuk pencegahan banjir dan kualitas lingkungan yang lebih baik, tetapi persoalan yang muncul akibat pelaksanaan eksekusi seolah mencerminkan kualitas penguasa dalam memperlakukan rakyat miskin.

Tujuan Ideal vs. Implementasi

Tidak dapat dimungkiri, semrawutnya aliran sungai hingga menyebabkan Bekasi tenggelam memang perlu dievaluasi. Tujuan ideal normalisasi sungai untuk memperlebar aliran sungai hingga air bisa mengalir dengan cepat. Di samping itu juga, membuat tanggul serta menertibkan daerah sembada sungai yang dianggap penyebab banjir dan sumber pencemaran.

Namun, pada waktu pelaksanaan eksekusi, terjadi perbedaan mencolok antara tujuan ideal tersebut dengan apa yang terjadi di lapangan. Pembongkaran dilakukan tanpa proses dialog dengan warga dan tanpa solusi jangka panjang, padahal warga sekitar bisa dijadikan partner pemerintah untuk menjaga sungai dan lingkungan sekitarnya.

Selain itu, relokasi ke rumah pengganti —sering kali rumah tersebut tidak layak, jauh dari fasilitas umum, atau bahkan mempunyai harga sewa yang tinggi. Kalau sudah begitu, penggusuran bukan hanya kehilangan rumah semata, tetapi juga kehilangan akses sosial serta ekonomi yang sudah mereka bangun bertahun-tahun lamanya.

Parahnya lagi, lahan hasil gusuran sering kali tidak digunakan untuk kepentingan umum, melainkan digunakan untuk proyek pembangunan tol, pembangunan apartemen, dan proyek sejenis milik swasta. Wajar jika kebijakan normalisasi sungai hingga membongkar rumah-rumah warga diragukan kemanfaatannya untuk rakyat.

Keraguan ini muncul sebab kapitalisme sekularisme telah menggerogoti negeri ini dan menyetir arah kebijakan pejabat. Dalam paradigma kapitalisme, ruang kota seperti Bekasi dipandang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan. Aspek keadilan disingkirkan, sebab sekularisme menjadi fondasi dalam perumusan kebijakan. Oleh karenanya, sering kali kebijakan penguasa mengorbankan kepentingan warga miskin.

Di samping itu, solusi yang ditawarkan kapitalisme tidak pernah menyentuh akar masalah dan berpotensi menghasilkan permasalahan baru, misalnya pada proyek normalisasi sungai. Betonisasi mungkin bisa saja mempercepat aliran air, tetapi hal itu tidak dapat menyerap air dan menahan laju air kiriman dari hulu.

Hal yang lebih penting dan solusi jangka panjang dan berkelanjutan jarang dilirik, misalnya meningkatkan saluran air di kawasan padat penduduk agar air hujan cepat surut, menjaga kawasan resapan air seperti rawa, hutan kota yang berfungsi menyerap air ke dalam tanah. Inilah sistem hidup yang selalu gagal menyelesaikan permasalahan umat. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan sistem yang mampu menata ruang hidup agar kesemrawutan ini segera teratasi dengan tuntas.

Tata Ruang dalam Islam

Dalam Islam, seluruh aspek kehidupan, termasuk pengelolaan kota, tanah, dan lingkungan wajib diatur syariat. Bantaran sungai termasuk ke dalam kepemilikan umum, maka tidak boleh dikuasai oleh individu/swasta.

Negara tidak boleh menjual atau menyerahkan hak penggunaannya untuk proyek yang merugikan rakyat dan negara wajib memelihara/melestarikannya untuk kemaslahatan umat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140).

Oleh karena itu, tugas negara dalam Islam adalah mengurus urusan umat (ri’ayah syu’un al-ummah) sesuai hukum syariat. Negara tidak boleh menjadi pelayan para elite serta tidak boleh menggusur tanah rakyat tanpa alasan yang dibenarkan syariat.

Jika harus menggusur, negara harus mencari solusi yang manusiawi. Penggusuran paksa yang dilakukan tanpa keadilan, tanpa kompensasi layak apalagi demi keuntungan para kaum kapital adalah bentuk kezaliman.

Penataan kota dan lingkungan dalam Islam haruslah memperhatikan kelestarian alam dan kemaslahatan umum, bukan mempertimbangkan ekonomi semata. Negara juga wajib mencegah kerusakan alam akibat pembangunan yang dilakukan.

Hal ini tercantum dalam firman Allah Swt., “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al Araf: 56).

Khatimah

Demikianlah ketika Islam diterapkan secara menyeluruh. Tidak hanya manusia yang akan hidup sejahtera, tetapi seluruh alam akan ikut terjaga dan merasakan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin. Wallahu a’lam[CM/Na]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *