Oleh. Rina Herlina
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com, Pegiat Literasi)
CemerlangMedia.Com — Begitu banyak mega proyek yang sangat luar biasa dengan dana yang juga cukup fantastis telah berhasil dituntaskan oleh pemerintah Provinsi Sumatera barat. Salah satunya adalah sebuah proyek pembangunan Rusun Polda Sumbar. Rencananya proyek tersebut diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi anggota kepolisian daerah Sumbar. Rusun tersebut terdiri dari 44 unit hunian dengan tipe 36, kompleks ini didesain dengan sangat modern dan dibuat senyaman mungkin untuk mereka yang dinilai memiliki dedikasi dalam menjalankan tugasnya, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Tak tanggung-tanggung total anggarannya mencapai Rp22,9 miliar (harianhaluan.com, 19-8-2023).
Pertanyaannya, sudah tepatkah pembangunan rusun tersebut dilakukan di tengah kondisi masyarakat Sumbar yang cenderung hidup di bawah garis kemiskinan?
Sebuah Ironi
Sungguh sebuah ironi, keadaan yang diperlihatkan oleh sebagian besar para penguasa. Pemerintah yang seharusnya selalu hadir terdepan untuk memenuhi kebutuhan rakyat nyatanya tidak demikian. Mereka justru sibuk memikirkan kenyamanan yang ingin diraih di tengah kondisi masyarakat yang masih jauh dari kata sejahtera. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari karut marutnya sistem birokrasi di tanah air. Seiring berjalannya waktu, tabiat para birokrat justru memperlihatkan watak yang tidak sepantasnya. Contohnya perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kian marak terjadi di setiap lini kehidupan yang merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang kekuasaan. Makin hari justru makin banyak pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur negara. Mulai dari yang paling atas sampai ke level paling bawah, dari mega proyek hingga kelas teri tak luput dari korupsi.
Apalagi yang bisa diharapkan oleh rakyat dari negara yang mayoritas penguasanya korup? Padahal fakta terkait peta jalan dan berbagai program yang ingin dicapai dari reformasi birokrasi sudah tersedia, tetapi nyatanya baik pemerintah pusat maupun daerah dan instansi atau lembaga pemerintahan terkait yang berfungsi sebagai ujung tombak pelayanan terhadap masyarakat hingga saat ini belum mampu mewujudkannya dengan baik.
Dilihat Secara Organisasi
Birokrasi di tanah air jika dilihat secara organisasi, tampak terlalu gemuk. Hal tersebut terjadi karena peraturan perundang-undangan yang berlaku hingga kini belum berjalan sebagaimana mestinya alias tidak harmonis. Seperti adanya seorang birokrasi yang di tempatkan pada posisi yang tidak sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Belum lagi perihal kewenangan yang terjadi tumpang tindih atau overlapping sehingga mengakibatkan kecenderungan penyalahgunaan wewenang oleh para birokrat. Wajar jadinya hingga saat ini masyarakat menilai bahwa birokrasi yang ada tidak peka terhadap kepentingan publik.
Sejatinya birokrasi adalah sebuah jalan untuk pemerintah agar dapat menjalankan kebijakan-kebijakan yang umumnya sangat berkaitan dengan fungsi pelayanan publik. Namun, faktanya birokrasi di Indonesia masih belum efisien dan efektif terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat. Ini dikarenakan sistem kelembagaan yang tidak berfungsi dengan tepat, tidak tepat ukuran, juga tidak cepat tanggap dalam menyikapi persoalan yang timbul di masyarakat.
Birokrat sebagai Abdi Masyarakat
Padahal seharusnya netralitas birokrasi adalah hal yang sangat prinsipil, harus diwujudkan dalam rangka mengembalikan peran birokrat sebagai abdi masyarakat dan negara, yaitu sebagai publik servant. Dengan terwujudnya hal tersebut maka pelayanan dan pengabdian terhadap kebutuhan publik akan makin baik dan profesional. Kemudian, jika sampai saat ini implementasi reformasi birokrasi belum optimal, semua itu adalah akibat dari pola pikir oknum birokrat yang masih menempatkan dirinya sebagai penguasa bukan pelayan masyarakat. Contoh nyata bisa kita lihat bersama dari pelayanan yang cenderung lamban, prosedur yang berbelit-belit, dan budaya afiliasi yang begitu melekat sehingga memunculkan terjadinya praktik KKN. Dan penyebab lain masih sangat sulitnya melaksanakan reformasi birokrasi oleh seorang pemimpin. Padahal setiap perubahan, sekecil apapun harus diawali oleh komitmen dari sang pemimpin.
Pandangan Islam
Sedangkan menurut Islam, penyebab utama yang membuat lemah dan kurangnya pelayanan administrasi publik dalam dunia birokrasi adalah tidak adanya penerapan dan aplikasi sebuah nilai ajaran agama yaitu Islam ke dalam dunia kerja atau birokrat. Hal ini akibat adanya dikotomi antara urusan agama dengan negara yang tidak boleh dicampur adukkan (sekuler). Ajaran Islam yang notabene begitu penting bagi kehidupan manusia tidak diperbolehkan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Padahal prinsip ketauhidan yang diajarkan Islam akan menjadikan perilaku birokrat ke arah yang lebih baik pastinya karena birokrasi dan jabatan adalah sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Sang Khalik, Pencipta alam dan Pencipta seluruh aturan hidup yang begitu sempurna.
Sejatinya, kekuasaan adalah mutlak milik Allah semata. Jika prinsip dalam bekerja adalah ikhlas dengan maksud memudahkan urusan masyarakat, maka sekecil apa pun amal yang dilakukan pasti ada ganjarannya di hadapan Allah. Begitulah prinsip dasar ajaran Islam yang universal dan mencakup seluruh dimensi kehidupan, tanpa terkecuali dalam birokrasi pemerintahan. Maka sampai kapan pun, jika aturan Islam tidak diterapkan dalam dunia pemerintahan, secara otomatis sistem birokrasi tidak akan pernah terlepas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Siapapun yang menjadi pemimpin, seharusnya menjadi seorang pemimpin yang baik, bertanggung jawab, dan mementingkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadinya. Sebab, hidup ini bukan hanya tentang diri sendiri, melainkan tentang hajat hidup orang banyak. Hakikatnya seorang pemimpin adalah menjadi abdi yang dapat berguna bagi masyarakat sebagai bentuk manifestasi khaira ummah (umat terbaik), seperti tercantum dalam surah Ali Imran ayat 110, “Jadilah kalian sebaik-baik manusia.” Wallahu a’lam [CM/NA]