Petani Cabai Tekor karena Negara Abai?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh. Nur Sila
(Pemerhati Sosial)

CemerlangMedia.Com — Harga cabai anjlok lagi. Petani cabai rawit di Kecamatan Parigi, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara yang tekor karena harga jualnya di pasaran turun tajam. Awalnya mereka rela beralih tanam dari jagung ke cabai karena iming-iming keuntungan yang lebih besar, sayangnya realita tak sesuai ekspektasi. Alih-alih mendapat untung, mereka justru dikagetkan dengan harga yang turun menjadi Rp35 ribu per kilogram, kemudian berangsur turun dan anjlok hingga Rp10 ribu per kilogram (telisik.id, 27-05-2023).

Melihat nasib para petani di negeri ini rasanya sulit untuk dipercaya. Bagaimana tidak, Indonesia sebagai negara agraris yakni terhampar lahan pertanian yang begitu luas dan subur, tetapi berbanding terbalik dengan bayangan kita. Sebelum terlampau jauh memikirkan kesejahteraan, setidaknya petani kita mendapat keuntungan untuk menyambung hidup keluarga dan mengembangkan pertaniannya. Sayangnya, jangankan sejahtera, untung pun tidak.

Pengalihan dari bertanam jagung menjadi bertanam cabai rawit menunjukkan bahwa penghasilan yang diperoleh sebelumnya juga pas-pasan. Setelah berbulan-bulan menunggu panen, kini hasil dari bertanam cabai pun masih jauh dari harapan. Jelas petani kecewa sebab sudah bersusah payah, modal dan tenaga yang dikeluarkan juga tidak sedikit, faktor cuaca yang tidak menentu mengharuskan petani harus membeli pupuk, tetapi hasil penjualan justru tidak sepadan.

Mestinya Bulog yang merupakan milik negara menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu membeli dan menyerap cabai rawit hasil panen petani. Membeli dengan harga yang layak dan ketika menyalurkannya ke pasar dengan harga yang terjangkau. Oleh karenanya, tidak ada yang merasa dirugikan, petani mendapatkan keuntungan, harga di pasaran pun stabil.

Namun, agaknya hal tersebut sulit terealisasi. Pasalnya pemerintah melalui Bulog justru membuat kebijakan untuk melakukan impor termasuk cabai. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat negeri ini mengalami lonjakan impor untuk beberapa komoditas pangan. Khusus komoditas cabai, tercatat sebanyak 4,18 juta kilogram per Januari 2023, naik 237,07% dibandingkan Januari 2022. Alasannya selalu sama, mulai dari tingginya permintaan konsumsi, stabilitas harga, hingga minimnya produktivitas cabai dalam negeri.

Padahal jika mau jujur, aktivitas impor jalan terus sekalipun musim panen dan produksi cabai surplus. Andaipun hasil panen berkurang, seharusnya pemerintah bekerja sama dengan petani memaksimalkan sinergi untuk menggenjot produksi agar hasil panen melimpah. Seperti memberikan modal, subsidi pupuk, menyediakan teknologi penunjang kesuburan lahan, dan sebagainya. Hanya saja, realitanya tidak demikian. Bagaimana pun stok cabai lokal pasti enggan dilirik dengan beragam alasan. Alhasil, meskipun panen berlimpah, harga jualnya di pasar terjerembab jatuh dan petani buntung.

Lebih jauh persoalan ini akan makin meluas yakni terjadi krisis petani. Bukan tanpa alasan, mulai dari kurangnya minat SDM karena melihat nasib petani yang tidak berubah, pupuknya mahal sementara harga jual sangat murah, hingga tersingkirnya produksi pertanian lokal karena kalah bersaing dengan komoditas impor.

Sampai sekarang masalah petani yang tumpang tindih belum juga usai. Dari sederet kebijakan pemerintah yang dinilai sebagai solusi sektor pertanian, tidak satu pun yang menyolusi. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia, yakni sistem ekonomi kapitalisme, apa pun yang dilakukan wajib mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya.

Dalam hal ini pemerintah seolah bekerja sekadarnya, abai dengan urusan rakyat demi mendapatkan keuntungan yang selangit dari pihak ketiga, yakni pemilik modal sebagai pemain utama di sistem ini. Kebijakan impor yang selalu menjadi andalan dinilai akan meminimalisasi pengeluaran negara dalam membiayai produksi pertanian lokal yang cukup besar.

Maka wajar jika petani cabai kehilangan perhatian dari pemerintah, hingga akhirnya mata pencaharian mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Sebab prinsip dalam sistem ekonomi kapitalisme, kesejahteraan hanya untuk mereka yang memiliki segalanya sementara rakyat biasa harus mencukupkan diri dengan hidup seadanya.

Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Pemimpin yang diamanahi untuk melayani dan mengurusi urusan umat akan bekerja semaksimal mungkin untuk menyejahterakan rakyatnya. Para petani yang sangat berperan penting dalam keberlangsungan hidup manusia tentu saja mendapat perhatian serius dari pemimpin negara.

Untuk memaksimalkan produksi sektor pertanian, negara akan menyediakan bibit unggul, memberikan bantuan modal kepada para petani, memfasilitasi sarana dan prasarana produksi, membangun infrastruktur penunjang, memudahkan akses pangan lokal kepada masyarakat agar mudah menjangkaunya, dan jaminan lainnya. Semua pembiayaan dalam Islam ditanggung oleh baitulmal.

Pemimpin Islam akan membuat kebijakan yang tepat guna agar mekanisme pasar terkendali. Negara tidak menetapkan harga di pasar, tetapi senantiasa mengawasi agar harga komoditas yang ada tidak merugikan petani atau pun konsumen, melakukan operasi pasar syari dan menghilangkan pungutan di pasar.

Kebijakan impor hanya akan diambil manakala negara benar-benar dalam masa darurat. Misalnya gagal panen besar-besaran akibat perubahan iklim, —dengan pertimbangan apabila tidak segera mengambil impor akan mendatangkan mudarat besar bagi kehidupan rakyat—. Namun, jika impor tersebut membuka peluang dominasi asing terhadap negara, maka Islam tidak membolehkannya.

Sungguh, problematika para petani hanya akan teratasi dengan melaksanakan pengelolaan pertanian sesuai rambu-rambu Islam. Sebab, Allah Swt. menurunkan syariatnya untuk menyelesaikan seluruh persoalan hidup manusia baik itu skala individu, masyarakat, hingga negara. Dengan mengambil solusi dari Islam, petani kita akan hidup sejahtera dengan negara langsung yang memberikan pelayanan terbaiknya. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *