Polemik Sertifikasi Halal ala Kapitalisme

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Anggi Dewi Jayanti
Aktivis Dakwah Muslimah

Sebagai penjaga akidah umat, negara Islamlah yang memiliki kewajiban untuk menjamin kehalalan suatu benda yang dikonsumsi manusia. Ini diwujudkan negara dengan memberikan jaminan halal pada setiap produk yang diproduksi dan didistribusikan.

CemerlangMedia.Com — Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial, seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Wartabanjar.Com, 10-10-2024).

Merespons hal tersebut, BPJPH menegaskan, polemik yang terjadi saat ini terkait nama produk yang digunakan. Kepala pusat registrasi dan sertifikasi halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin mengatakan bahwa produk tersebut telah melalui proses mekanisme halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal.

Mamat juga mengatakan bahwa sertifikasi halal telah melalui regulasi melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal. Juga fatwa MUI No. 44/2020 tentang penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal (Kumparan News, 10-10-2024). Ia menjelaskan adanya perbedaan pendapat antara komite fatwa MUI atau fatwa produk halal atas penamaan produk yang mendapatkan sertifikasi halal.

Paradigma Sekularisme

Sertifikasi halal dengan nama produk-produk yang menunjukkan sesuatu yang tidak halal memang menjadi suatu perbincangan. Mirisnya, hal tersebut dianggap aman dan tidak bermasalah karena zatnya halal, apalagi adanya model self declare yang merupakan klaim halal dari perusahaan itu sendiri yang berlaku seumur hidup. Ini tentu akan menimbulkan kekhawatiran tentang jaminan kehalalannya.

Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Nama tidak menjadi asas kehalalan produk. Sementara nama tersebut sudah jamak dipakai untuk produk tidak halal yang masih beredar di pasaran. Tentu hal ini menimbulkan kerancuan dan dapat membahayakan karena persoalan halal haram suatu benda dalam Islam merupakan suatu prinsip.

Fenomena seperti ini bukan hal aneh dalam negara yang tegak di atas asas sekularisme, yakni pemisahan antara agama dari kehidupan. Negara berparadigma sekuler akan abai terhadap penjagaan akidah rakyatnya, khususnya terhadap umat Islam. Jangankan masalah nama yang menyamakan produk halal dan haram, hingga hari ini pemerintah masih membiarkan produk haram beredar di pasaran.

Negara masih mencukupkan penyediaan layanan sertifikasi halal berbayar. Untuk membantu umat Islam membedakan produk halal dan haram, diserahkan pada produsen. Jika mau dan sanggup membayar, mereka bisa menggunakan layanan tersebut untuk mendapatkan sertifikat halal. Namun jika mereka tidak sanggup, meskipun produknya halal, sampai kapan pun, produk yang dihasilkan tidak akan mendapatkan sertifikat halal.

Adapun terkait konsumsi, negara juga cenderung menyerahkan kepada masing-masing konsumen muslim. Tidak ada hukum yang mengatur bagi muslim yang mengonsumsi produk haram atau produk tanpa sertifikat halal. Semua ini menjadi bukti nyata bahwa negara berparadigma sekuler gagal menjamin kehalalan setiap produk yang dikonsumsi masyarakat. Sebaliknya, negara tampak memanfaatkan sertifikasi halal ini sebagai ladang bisnis karena munculnya permintaan yang sangat besar dari kalangan muslim untuk memastikan kehalalan produk yang mereka konsumsi.

Tentu tak lekang dari ingatan bahwa proses sertifikasi halal yang dahulunya diinisiasi dan dikendalikan oleh MUI telah diambil alih oleh pemerintah. Sebab, tidak dimungkiri bahwa sertifikasi halal menjadi ladang cuan mengingat prosesnya yang harus dilakukan secara berkala bukan di awal prosesnya saja. Artinya, pemerintahan sekuler yang memberikan label atau sertifikat halal pada suatu produk, sejatinya tidak didorong oleh keimanan kepada Allah, tetapi karena faktor ekonomi dan materialistik.

Pandangan Islam

Oleh karena itu, persoalan utamanya adalah hadirnya negara yang berparadigma sekuler sehingga melahirkan kebijakan sekuler yang merugikan umat Islam. Berbeda dengan negara yang berasaskan akidah Islam. Negara Islam (Khil4f4h) akan menyandarkan segala aturan dan kebijakannya pada Al-Qur’an dan As-Sunah.

Negara hadir di tengah umat sebagai pelaksana syariat Islam. Negara berperan penting dalam menjaga dan melindungi umat, salah satunya adalah memastikan rakyatnya jauh dari benda dan perbuatan haram. Islam memiliki aturan rinci tentang benda/zat yang kemudian dibedakan menjadi halal (boleh dikonsumsi) dan haram (tidak boleh dikonsumsi).

Kehalalan dan keharaman suatu benda/zat disandarkan pada dalil-dalil syariat, bukan pada akal manusia, kemanfaatan, hawa nafsu, apalagi materi. Sebagai penjaga akidah umat, negara Islamlah yang memiliki kewajiban untuk menjamin kehalalan suatu benda yang dikonsumsi manusia. Ini diwujudkan negara dengan memberikan jaminan halal pada setiap produk yang diproduksi dan didistribusikan.

Layanan tersebut menjadi tanggung jawab negara, bukan produsen. Oleh karena itu, negara memberikan layanan tersebut dengan biaya yang murah, bahkan gratis. Negara memastikan kehalalan dan ke-thayyib-an suatu benda atau makanan dan yang akan dikonsumsi manusia. Negara akan menugaskan para kadi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik.

Para kadi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk. Tidak ada kecurangan dan kamuflase. Jika terjadi peredaran barang haram di pasaran, baik dilakukan oleh seorang muslim ataupun nonmuslim, negara memberlakukan sanksi takzir kepada mereka.

Adapun bagi ahlu dzimmah (kafir dzimmi), negara membebaskan untuk mengonsumsi makanan/minuman menurut agama mereka. Namun, hal itu hanya bisa diperjualbelikan di antara mereka, baik tempat umum, toko, maupun pasar umum. Penerapan syariat Islam oleh negara berparadigma Islam akan memberikan rasa tenang di dalam seluruh jiwa masyarakat. Umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam secara kafah oleh negara. Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *