Penulis: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Negara adalah pengurus umat, bukan makelar. Islam menawarkan solusi yang jauh lebih adil. Tawaran ini berupa pengaturan menyeluruh berdasarkan akidah Islam yang menempatkan wahyu Allah sebagai sumber hukum dan penguasa sebagai pelayan umat, bukan penguasa yang melayani kepentingan ekonomi para elite.
CemerlangMedia.Com — Sengketa wilayah kembali terjadi di negeri ini. Kali ini, empat pulau kecil, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketet, dan Pulau Mangkir Gadang tengah diperebutkan oleh Provinsi Sumatra Utara dan Provinsi Aceh. Kedua provinsi ini adu klaim untuk mendapatkan pulau-pulau tersebut.
Menanggapi kegaduhan yang mengusik ruang publik, Presiden Prabowo Subianto menentukan sikapnya. Dalam rapat terbatas, pada (17-06-2025) di istana, Prabowo mengambil keputusan bahwa pulau-pulau tersebut jatuh ke tangan Provinsi Aceh. Dengan keputusan itu, Presiden Prabowo Subianto meminta untuk segera mengumumkan keputusan tersebut kepada masyarakat agar kegaduhan segera teredam (Kumparan.com, 18-06-2025).
Sengketa pulau sepertinya tidak hanya didasarkan oleh kesalahan teknis pencatatan koordinat semata. Ada hal yang sangat urgen yang sedang diperebutkan, yakni potensi kekayaan alam yang tersimpan di wilayah perairan dan daratan pulau-pulau tersebut. Kawasan-kawasan ini bukanlah tanah kosong, tetapi kaya akan hasil laut, potensi pariwisata bahari, dan diduga menyimpan cadangan minyak dan gas yang belum tersentuh/belum tereksploitasi.
Logika Kapitalisme
Dalam sistem hidup kapitalisme, uang dijadikan orientasi pencapaian. Oleh karenanya, wilayah tidak dipandang sebagai amanah yang dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Wilayah dipandang sebagai komoditas yang berpotensi untuk menghasilkan pundi-pundi keuntungan, dapat dikomersialkan, dijadikan mesin uang oleh para elite.
Seharusnya sengketa pulau kali ini mampu menyadarkan masyarakat bahwa sejatinya negara sedang berjalan tidak pada koridor amanah dan tidak melakukan sesuatu untuk kepentingan rakyat. Terlihat saat ini, rakyat tidak lebih penting dari nilai-nilai investasi dan neraca perdagangan. Terbukti, pulau yang tidak dihuni oleh manusia pun dan tidak mempunyai nilai sejarah pembangunan, menjadi rebutan. Hal ini lantaran pulau-pulau tersebut menyimpan cadangan migas dan geliat pariwisata yang menjanjikan profit.
Lebih jauh, kapitalisme meniscayakan adanya persaingan antar provinsi. Dana, proyek, dan izin dilihat berdasarkan motif ekonomi, bukan berdasarkan pada pemerataan hak. Tidak heran, ketika wilayah yang mempunyai potensi mendatangkan investor dan memiliki kekayaan alam, kerap menjadi rebutan. Daerah tersebut diperebutkan bukan karena atas dasar cinta tanah air, melainkan karena ada peluang pendapatan daerah di sana. Sistem hidup saat ini mendorong antar provinsi saling sikut demi kepentingan fiskal, bukan bersinergi membangun kesejahteraan masyarakat.
Lebih parahnya lagi, rakyat tidak pernah benar-benar diperhatikan. Dalam konflik (perebutan) yang terjadi, rakyat hanya dijadikan sebagai narasi pembelaan. Para elite menggunakan kalimat “demi rakyat”, padahal semua itu demi bisnis para elite. Walaupun sebenarnya, rakyatlah yang menjadi korban adanya konflik perebutan pulau-pulau ini. Rakyat sekitar terancam kehilangan laut mereka untuk mencari ikan, kehilangan hutan untuk berburu, atau bahkan kehilangan tanah tempat nenek moyang mereka berpijak.
Namun dalam sistem kapitalisme ini, rakyat tidak lebih dari sekadar stempel sah kekuasaan. Mereka disebut hanya saat dibutuhkan dan dilupakan saat membuat keputusan.
Bahkan, ketika negara mengakui adanya kesalahan administrasi, kemudian mengembalikan kembali pada Aceh, keputusan tersebut bukan semata-mata karena prinsip keadilan, melainkan tekanan sosial dan potensi kerugian politik. Jika negara memang memegang keadilan dan kejujuran historis, seharusnya masalah ini cepat terselesaikan dan tidak membutuhkan waktu hingga belasan tahun sehingga menjadi konflik yang berkepanjangan seperti selama ini.
Dengan demikian, selama sistem kapitalisme menjadi sandaran bernegara, selama itu pula negara akan terjebak pada konflik-konflik yang rentan memicu disintegrasi. Selamanya wilayah akan menjadi bahan rebutan, rakyat menjadi korban dan elite menjadi pemenangnya.
Indahnya Islam
Islam memandang kepemilikan atas bumi mutlak milik Allah Swt.. Adapun manusia sebagai pengelola, melakukannya sesuai dengan ketentuan hukum syariat. Allah telah mengamanahkan kepada manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi serta memanfaatkannya sesuai hukum Allah Swt.. Firman Allah Swt. dalam surah Al-Baqarah
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk kalian semua.” (QS Al-Baqarah: 29).
Ayat tersebut menyampaikan bahwa segala isi bumi memang Allah Swt. ciptakan untuk kepentingan manusia. Walaupun begitu, manusia tidak boleh serakah, ada peraturan dari Allah Swt. untuk mengelola dan memiliki isi bumi.
Islam mengatur kepemilikan sumber daya alam. Sumber daya alam yang jumlahnya banyak dan menyangkut hajat hidup manusia, seperti tambang, air, padang rumput termasuk kepemilikan umum dan tidak boleh dimiliki oleh individu/swasta. Pun, sumber daya alam semacam ini tidak boleh dikuasai negara dengan tujuan dikomersialkan kepada rakyat.
Negara dengan sistem Islam, mengelola sumber daya alam milik umum untuk digunakan demi kepentingan rakyat, misalnya membiayai kesehatan, pendidikan, dan keamanan rakyatnya. Wilayah dipandang sebagai amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Bukan sekadar tumpukan harta kekayaan yang dibelanjakan tanpa arah.
Dengan prinsip demikian, tidak akan ada lagi perebutan wilayah karema sumber daya alam, sebab hakikatnya SDA adalah milik umat. Negara berkewajiban mengelola SDA dan memastikan hasilnya sampai kepada rakyat.
Lebih jauh, dalam sistem Islam, pembagian wilayah berfungsi sebagai unit administratif agar lebih mudah mengurus rakyat. Tidak ada persaingan antar wilayah, termasuk memperebutkan sumber pendapatan. Semua berjibaku untuk kesejahteraan rakyat, memastikan hukum Allah Swt. terlaksana secara menyeluruh.
Khatimah
Dalam sistem Islam, negara adalah pengurus umat, bukan makelar. Islam menawarkan solusi yang jauh lebih adil. Tawaran ini berupa pengaturan menyeluruh berdasarkan akidah Islam yang menempatkan wahyu Allah sebagai sumber hukum dan penguasa sebagai pelayan umat, bukan penguasa yang melayani kepentingan ekonomi para elite. Untuk itulah, tidak ada jalan lain dalam mencari keadilan, selain menerapkan hukum-hukum Allah secara menyeluruh. Wallahu a’lam. [CM/Na]