Oleh: Ummu Fahri
(Creative Writer & VOT Cemerlang Media.com)
CemerlangMedia.Com — Dengan harga cabai yang meroket di pasaran, petani yang sebelumnya berharap akan keuntungan lebih besar malah mendapati dilema. Bak simalakama, petani menjadi sosok yang paling rentan dan terjepit di antara harga cabai yang pedas, dibarengi dengan biaya produksi yang tak beranjak turun dan perubahan iklim yang tidak bisa diprediksi.
Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa secara nasional, harga cabai naik pada Oktober 2023, termasuk cabai rawit merah, cabai merah keriting, dan cabai merah besar. Harga cabai rawit merah mencapai Rp55.934 per kg, naik 37,8% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Sementara cabai merah keriting naik 11,3%, menjadi Rp45.241 per kg, dan cabai merah besar merangkak naik 7,8%, menjadi Rp43.138 per kg. Meskipun ada kenaikan, harga cabai saat ini masih di bawah harga pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp77.000 hingga Rp87.000 per kg pada Juli 2022 (katadata.co.id, 01-11-2023).
Sejumlah faktor menjadi penyebab harga cabai mengalami peningkatan. Di antaranya, adanya perubahan iklim yang tidak stabil, seperti perubahan pola hujan dan kenaikan suhu udara sehingga berdampak negatif pada produksi pertanian dengan penurunan hasil yang signifikan. Kejadian cuaca ekstrem, seperti banjir dan kekeringan juga menjadi penyebab gagal panen.
Dampak ini memicu peningkatan penggunaan pupuk dan pestisida oleh petani untuk mengatasi perubahan lingkungan yang mempengaruhi kesuburan tanah dan perlindungan tanaman dari serangan hama. Perubahan iklim tentu membebani biaya produksi petani, apa lagi harga pestisida dan pupuk sejak 2022 lalu mengalami kenaikan hingga saat ini, makin beranjak naik berkisar 25% hingga 50% dari harga biasanya (tvrisumbar co.id, 28-02-2022).
Derita petani makin bertambah tatkala sejumlah pihak memanfaatkan situasi ini untuk menaikkan harga pupuk, sebagaimana temuan di Kabupaten Aceh Tenggara. Penjualan pupuk bersubsidi di tingkat agen pengecer tidak mematuhi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah. Dengan dalih adanya kenaikan biaya distribusi dan bongkar muat akibat jalan yang rusak (Kompas.com, 9-8-2023).
Pemerintah masing-masing daerah terus berupaya untuk mengatasi masalah harga cabai yang tinggi di wilayahnya, di antaranya operasi pasar dan subsidi angkutan untuk distribusi serta mencukupi ketersediaan stok cabai di beberapa tempat. Namun, mengapa ketika harga cabai masih melambung tinggi, tetapi tidak dapat menyejahterakan petani?
Dari Hulu ke Hilir
Dalam konteks harga cabai yang meningkat, menunjukkan bagaimana fluktuasi harga dapat menguntungkan pedagang dan pihak-pihak besar dalam rantai pasokan, sementara petani mengalami tekanan ekonomi yang lebih besar. Kenaikan harga cabai akibat masalah gagal panen di sentra cabai dan gangguan hama memungkinkan para pedagang mengambil margin lebih tinggi.
Selain itu, temuan penjualan pupuk bersubsidi di atas harga pasaran menunjukkan bagaimana praktik kapitalisme yang tidak sesuai dengan regulasi pemerintah dapat merugikan petani. Ini menunjukkan perlunya pengawasan dan penegakan hukum yang lebih ketat untuk melindungi kepentingan petani dan mengatasi praktik yang merugikan mereka. Kesenjangan antara pedagang besar dan petani pun kerap menjadi masalah serius yang memerlukan tindakan dan regulasi yang lebih baik.
Dari sini terlihat bahwa situasi yang dialami oleh petani disebabkan sistem pengaturan pertanian yang buruk yang berakar pada kapitalisme neoliberal. Sistem ini mengurangi peran negara hanya sebagai regulator, sementara korporasi mengendalikan operasi pertanian.
Di samping itu, akses petani ke sarana produksi pertanian seperti benih, pupuk, dan pestisida masih dikuasai oleh korporasi sehingga mengakibatkan harga benih dan pupuk menjadi tinggi. Apa lagi ketergantungan petani pada pupuk bersubsidi yang faktanya sangat sulit diakses karena banyaknya aturan.
Permasalahan lain adalah dalam penjualan hasil panen dengan peran tengkulak, pengepul, dan kartel yang memanipulasi harga dan merugikan petani. Sedangkan pemerintah juga tidak serius dalam mengatasi praktik-praktik yang merugikan tersebut. Alhasil, petani terus hidup dalam kemiskinan karena sistem kapitalisme neoliberal lebih menguntungkan korporasi daripada rakyat. Hal ini jauh bertolak belakang dengan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam mengatur sektor pertanian.
Perspektif Islam
Dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban untuk mengatur pertanian dari hulu hingga hilir. Termasuk mengelola kepemilikan lahan pertanian berdasarkan prinsip syariat dengan adil antara kepemilikan lahan dan pengelolaannya. Selain itu, negara akan memberikan dukungan penuh kepada petani dengan menyediakan bantuan seperti sarana produksi, modal, teknologi, dan lainnya. Serta memperhatikan infrastruktur jalan untuk akses distribusi pangan.
Kemudian petani diarahkan dapat beralih ke varietas tanaman unggul yang disediakan gratis oleh negara, yakni yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, cuaca ekstrem, suhu yang lebih tinggi, dan hama baru yang mungkin muncul akibat perubahan iklim. Pengaturan pertanian dalam Islam akan memastikan transaksi yang adil dan saling menguntungkan antara produsen dan pembeli dengan pengawasan yang ketat dalam perniagaan yang berlandaskan keridaan Allah.
Selain itu, negara berperan sebagai penyedia layanan yang melayani kebutuhan rakyat, bukan sebagai entitas bisnis, dan semua anggaran terkait pertanian akan ditanggung oleh baitulmal kaum muslimin. Seluruh sistem ini bertujuan untuk mencapai ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Allahu a’lam bisshawwab [CM/NA]