Oleh: Neti Ernawati
Sistem pemerintahan Islam dijalankan secara terpusat dengan seorang khalifah sebagai kepala negaranya. Pemilihan pejabat negara didasarkan pada ketaatan seseorang kepada Allah dan Rasulullah, bukan berdasarkan suara terbanyak ataupun besarnya dana yang dimiliki.
CemerlangMedia.Com — Surat Keputusan (SK) Pengangkatan milik sejumlah anggota DPRD di Jawa Timur, ramai-ramai digadaikan ke bank. Fenomena gadai SK massal usai pelantikan anggota DPRD ini dinilai menjadi cerminan mahalnya biaya politik di Indonesia.
Prof Anang Sujoko, pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) menilai fenomena tersebut sebagai kondisi yang cukup memprihatinkan. Praktik demokrasi saat ini membutuhkan biaya yang mahal sehingga menimbulkan beban berat bagi anggota DPRD yang terpilih (detik.com/jatim/berita, 07-09-2024).
Fenomena yang sama terjadi di Subang, Jawa Barat. Menggadaikan SK juga dilakukan oleh puluhan anggota DPRD Subang periode 2024—2029 yang baru saja dilantik pada Rabu (4-9-2024) lalu. SK pengangkatan tersebut digadaikan ke bank sebagai agunan atau jaminan untuk meminjam uang.
Tidak tanggung-tanggung, pinjaman yang mampu diperoleh mulai dari Rp500 juta hingga Rp1 miliar. Sekretaris Dewan Subang, Tatang Supriatna menyatakan, setidaknya ada 10 orang dari 50 anggota DPRD Subang yang mengajukan pinjaman dengan nilai pinjaman yang bervariasi.
Dipastikan, pinjaman tersebut digunakan untuk keperluan pribadi dan tidak terkait dengan kepentingan fraksi maupun partai. Pinjaman akan dilunasi dengan angsuran selama masa bakti sebagai anggota dewan melalui mekanisme potongan gaji sebesar 50% setiap bulan (rejabar.republika.co.id, 06-09-2024).
Demokrasi Mahal Membentuk Wakil Rakyat Mata Duitan
Miris dan sangat memprihatinkan. Biaya yang mahal harus dikeluarkan demi proses demokrasi. Mulai dari biaya penyelenggaraannya yang diprakarsai oleh pemerintah hingga biaya yang harus dikeluarkan oleh para kandidat yang mencalonkan diri. Untuk penyelenggaraan pemilu 2024 ini, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp71,3 triliun. Sementara dari para calon wakil rakyat, secara teori, besaran dana kampanye disesuaikan dengan aturan PKPU 18/2023 tentang Dana Kampanye.
Sesuai PKPU, dana kampanye bagi calon DPRD kabupaten/kota hingga provinsi, batasan maksimalnya mencapai Rp2,5 miliar. Calon peserta pemilu juga boleh menerima sumbangan dari perorangan maupun perusahaan dengan besaran sesuai ketentuan PKPU. Untuk calon anggota DPR dan DPRD, sumbangan dana kampanye maksimal Rp2,5 miliar dari perorangan.
Calon anggota DPR boleh menerima dana kampanye dari perusahaan dengan nilai maksimal Rp25 miliar. Calon anggota DPD boleh menerima sumbangan dana kampanye dari perorangan dengan nilai maksimal Rp750 juta. Sementara, sumbangan dana kampanye dari perusahaan untuk calon anggota DPD, maksimal senilai Rp1,5 miliar.
Dari data tersebut jelas sekali bahwasanya biaya yang sangat besar telah dihamburkan demi kontestasi politik dalam sistem demokrasi. Itu pun baru berdasarkan data semata, belum ditinjau secara nyata. Apabila kemudian muncul fenomena anggota DPRD menggadaikan SK, bisa jadi mereka telah mengeluarkan dana habis-habisan untuk kampanye dan kini terjepit kebutuhan sehingga buru-buru mengambil pinjaman.
Fenomena pinjaman ini dapat juga menjadi indikator bahwa profesi anggota DPRD dijadikan tujuan untuk memperoleh uang atau pendapatan. Terbukti dengan hal pertama yang mereka lakukan setelah menerima SK, justru mencari pinjaman.
Mereka seolah mempersiapkan langkah mengambil gaji, meski kinerja mewujudkan kedaulatan rakyat belum dilaksanakan. Seperti diketahui, gaji anggota DPRD terbilang fantastis. Sebagai contoh saja, anggota DPRD Gresik menerima pendapatan sekitar Rp44 juta, sesuai Perda 7/2017, Perbup 21/2017, dan Perbup 42/2020.
Rakyat Sengsara Imbas Wakil Rakyat Berebut Kepentingan
Tidak dimungkiri, dengan sistem kapitalisme yang masih mendominasi negeri ini, akan selalu muncul asas manfaat dan keuntungan. Menjadi wakil rakyat seolah profesi yang menjanjikan pendapatan besar, tanpa mengingat amanah besar yang ada di dalamnya.
Dengan nominal pinjaman sebesar itu, mampukah mereka bertahan dari terpaan godaan korupsi dan kekuasaan yang selama ini menghantui wakil rakyat? Sementara sudah ada banyak bukti bahwa wakil rakyat cenderung lupa akan janji-janjinya pada masa kampanye. Banyak pejabat yang kemudian tutup mata pada penderitaan rakyat setelah menduduki kursi jabatan.
Pelaksanaan demokrasi pada akhirnya memunculkan ragam pertanyaan. Adakah wakil rakyat yang menjabat bukan karena gaji dan fasilitas? Adakah wakil rakyat yang benar-benar ikhlas berjuang demi kedaulatan rakyat? Sementara mereka tidak mampu menahan kebutuhan dirinya sehingga harus menggadaikan SK demi mendapatkan pinjaman uang.
Islam Solusi Sistem Pemerintahan
Dalam konteks pemerintahan, Islam mensyariatkan sistem Khil4f4h sebagai bentuk pemerintahan. Islam menjalankan pemerintahan dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan as-Sunah. Sistem pemerintahan Islam dijalankan secara terpusat dengan seorang khalifah sebagai kepala negaranya. Pemilihan pejabat negara didasarkan pada ketaatan seseorang pada Allah dan Rasulullah, bukan berdasarkan suara terbanyak ataupun besarnya dana yang dimiliki.
Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, pemilihan dan pengangkatan pejabat negara didasarkan pada kualifikasi dan integritas dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses tersebut. Sementara pada masa Khalifah Utsman bin Affan, pengangkatan pejabat negara cenderung didasarkan pada faktor kedekatan pribadi dan keluarga. Meski begitu, keduanya memiliki dasar prinsip yang sama dalam menunjuk pejabat negara, yakni menggunakan prinsip-prinsip Islam, seperti keadilan, kompetensi, dan ketaatan kepada hukum Allah.
Prinsip-prinsip yang diterapkan oleh kedua pemimpin tersebut memberikan dampak positif terhadap efisiensi dan transparansi pemerintahan, juga sangat relevan dalam memilih pejabat negara yang berkualitas dan berintegritas dalam rangka tata kelola pemerintahan yang baik. Oleh karenanya, kesejahteraan rakyat akan mampu tercapai sepenuhnya. [CM/NA]