Oleh: Dini Al
CemerlangMedia.Com — “Kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi, bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan,” kata Tjitjik di Kantor Kemendikbud, Rabu (16-5-2024).
Penundaan Kenaikan UKT
Pernyataan di atas terucap karena adanya kabar bahwa UKT di beberapa universitas Indonesia akan naik secara signifikan, contohnya di Fakultas Kedokteran UNS. UKT tertinggi sebelumnya adalah Rp21.815.000,00 lalu tahun ini naik menjadi Rp30.000.000,00. Tidak hanya di UNS, kenaikan UKT terjadi pula di banyak perguruan tinggi lainnya.
Oleh karena itu, tidak heran jika rakyat menganggap ungkapan Tjitjik di atas dinilai tidak pro rakyat, khususnya kelas menengah ke bawah. Rakyat merasa menteri pendidikan terlihat acuh tak acuh pada pendidikan tinggi bagi rakyatnya sendiri. Seolah pendidikan setelah SMA hanya pantas diambil oleh siswa kelas atas atau bagi yang mampu-mampu saja.
Berita baiknya, pada (28-5-2024) kemarin, Kemendikbud akhirnya membatalkan kenaikan UKT karena diserang protes dari seluruh mahasiswa di Indonesia. Akan tetapi, ini bukanlah berita yang sepenuhnya menenangkan masyarakat karena kabarnya UKT tetap naik pada 2025 mendatang. Sangat wajar jika rakyat saat ini merasa dipermainkan (detik.news, 27-5-2024).
Akar Masalah Biaya UKT Setinggi Langit
Sudah menjadi hal yang biasa bahwa UKT akan naik setiap tahunnya, tetapi masyarakat tidak akan mengira tahun ini akan naik lima kali lipat dari biasanya. Ada dua faktor yang diduga menjadi alasan mengapa harga UKT makin tidak ramah kantong.
Pertama, adanya program World Class University (WCU). WCU ini adalah program perangkingan, penilaian, dan penelitian dengan standar global dan high quality. Sudah jelas, program ini pasti akan memakan biaya yang cukup tinggi.
Kedua, Indonesia juga menerapkan konsep triple helix. Konsep ini menjalin kerja sama dengan pemerintah, perusahaan, dan industri untuk mencetak lulusan yang siap diberdayakan untuk industri. Alhasil, perguruan tinggi tidak akan lagi fokus kepada pendidikan, melainkan fokus pada tuntutan dunia industri dan tentunya bisa diprediksi bahwa konsep ini meraup lebih banyak biaya.
Singkatnya, Indonesia mengadopsi konsep WCU dan triple helix, tetapi negara belum mampu untuk menutupi seluruh biayanya. Akhirnya, mau tidak mau para peserta didiklah yang harus menutupi modal itu.
Sementara di sisi lain, banyak sekali kalangan muda ataupun orang tua yang kesusahan mendapat pekerjaan karena standar pekerja yang diberikan perusahaan “sengaja” dibuat susah. Ditambah lagi kasus PHK besar-besaran yang banyak terjadi di beberapa perusahaan karena ternyata sudah tidak ingin menggunakan pekerja manusia dan faktor lainnya. Lantas, apa dampaknya?
Jangan ditanya lagi, sudah pasti rakyat miskin tambah melarat. Hidup mereka yang sebelumnya sudah terimpit tambah dibuat tidak tenang karena cicilan di mana-mana. Tidak heran, banyak generasi yang enggan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi demi menghindari biaya UKT yang makin gila.
Bagi peserta didik yang sudah terlanjur terjebak pada situasi ini, mereka terpaksa memutar otak mati-matian agar bisa mendapatkan uang sebesar-besarnya dengan cara yang mudah dan cepat. Apa alternatifnya? Tidak lain dan tidak bukan ialah pinjol (pinjaman online) atau judol (judi online). Sudah tercatat pada data terbaru 2024 bahwa korban judi online terbanyak adalah mahasiswa.
Memang sejak dahulu dunia pendidikan selalu tidak berjalan mulus. Makin ke sini terlihat, rakyat menjadi korban utama yang merasakan impitan ekonomi. Sementara persoalan ekonomi ini menjadi topik atau permasalahan yang paling tidak diinginkan oleh siapa pun. Mungkin kita melihat, ini hanyalah masalah UKT yang sedang naik drastis. Akan tetapi sebenarnya, ini hanyalah cabang permasalahan dari persoalan yang sesungguhnya.
Pendidikan dalam Kacamata Islam
Dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja. Untuk itu, kita perlu solusi yang mengupas hingga tuntas sampai ke akarnya. Kita tidak bisa lagi berharap pada sistem sekularisme kapitalisme yang merupakan otak dari masalah ini. Pemimpin kapitalistik jelas tidak ingin repot memikirkan rakyat miskin yang sedang terimpit. Mereka adalah sekumpulan orang atau kelompok yang hanya mementingkan apa yang bisa menguntungkan mereka. Lihat saja bagaimana mereka berlepas tangan dalam urusan pendidikan dengan memberikan konsep WCU dan triple helix.
Umat hanya bisa menggantungkan harapan pada negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah, yakni Daulah Khil4f4h. Sebab, hanya Islamlah yang punya aturan paling ideal dan adil. Aturan ini diturunkan langsung oleh Pencipta kepada Rasulullah untuk manusia secara keseluruhan.
Dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan utama, bahkan disetarakan dengan kewajiban salat karena dinilai wajib. Oleh karena itu, pemimpin pun akan bertanggung jawab semaksimal mungkin agar rakyatnya menjalankan kewajiban itu dengan seharusnya.
Upaya yang dilakukan oleh khalifah atau pemimpin adalah memberikan pendidikan gratis yang berkualitas tinggi. Dengan begitu, orang tua tidak akan kesulitan menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Alhasil, akan tercetak generasi penerus yang mempunyai kualitas diri dan ber-SDM tinggi seperti pada masa peradaban Islam.
Lantas, dari mana biayanya jika negara menjanjikan pendidikan gratis? Islam memiliki sistem keuangan yang bernama baitulmal. Baitulmal akan sangat dijaga dan dibuat setransparan, sejujur, dan seadil mungkin bagi rakyatnya sehingga tidak ada yang korupsi.
Dalam baitulmal terdapat pos pemasukkan dan pengeluaran khusus yang tidak bisa diganggu gugat, salah satunya pos pengeluaran pendidikan gratis bagi seluruh rakyat yang ada dalam naungan Daulah Khil4f4h. Konsep pendidikan yang ada dalam Islam bukanlah untuk memenuhi kebutuhan industri seperti sekarang, tetapi murni bertujuan untuk mendidik atau memenuhi kapasitas keilmuan.
Berita yang sedikit menenangkan bahwa UKT tidak jadi dinaikkan karena protes hebat dari massa. Akan tetapi, hal ini tidak boleh menjadi akhir dalam memperjuangkan Islam untuk menjadi aturan kehidupan. Sebab, akan banyak masalah yang dihadapi selama masih membiarkan para pemimpin kapitalistik memimpin, yakni pemimpin-pemimpin muslim yang tidak menggunakan aturan agama (baca: Islam) dalam kehidupan.
Tidak heran jika aturan yang dikeluarkan akhirnya kacau balau dan tidak sesuai dengan yang diharapkan karena akal manusia sifatnya terbatas. Wajar pula jika akhirnya aturan yang dibuat tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Sejatinya, aturan untuk manusia harus berasal dari Pencipta manusia Yang Maha Mengetahui dan tidak ada aturan yang mengatur kehidupan manusia sesempurna Islam. Wallahu a’lam. [CM/NA]