Oleh: Fatmah Ramadhani Ginting S.K.M.,
(Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok)
CemerlangMedia.Com — Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merespons positif pengesahan Undang-Undang (UU) Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) oleh DPR dalam rapat paripurna Selasa (4-6-2024) lalu. Menurut Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak, dan Keluarga BPKK DPP PKS Tuti Elfita, partainya menekankan pengesahan UU KIA berkaitan dengan paradigma penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak adalah bagian integral dari keluarga (liputan6.com, 8-6-2024).
Pengesahan RUU KIA menjadi UU dianggap akan membawa angin segar bagi perempuan karena membuat ibu dan anak sejahtera. Namun, benarkah UU KIA membuat ibu dan anak sejahtera?
Dengan lahirnya UU ini, perempuan diharapkan dapat menjalankan fungsi maternitasnya saat hamil dan pasca melahirkan, tanpa harus khawatir kehilangan kesempatan untuk berkarier. Adanya cuti bekerja selama 6 bulan untuk mempersiapkan masa maternitas tersebut diharapkan dapat memberi rasa tenang pada perempuan, tanpa takut kehilangan pekerjaan.
Hal ini dimaksudkan agar penguatan pemberdayaan ekonomi perempuan tetap berjalan. Ini tidak jauh dari paradigma khas yang lahir dari ideologi kapitalisme yang menilai perempuan produktif adalah perempuan yang bekerja.
Disahkannya RUU KIA menjadi undang-undang ibarat mencari penyelesaian masalah dengan menambah masalah baru karena penyelesaiannya tidak menyentuh akar permasalahan. Sebagaimana dijelaskan, UU KIA memuat ketentuan cuti melahirkan dan pemulihan bagi ibu selama 6 bulan dan cuti ayah untuk mendampingi istrinya selama 3 bulan.
UU ini mengatur seorang pekerja mendapatkan cuti enam dan tiga bulan dengan tetap menerima gaji dan tanpa kompensasi apa pun pada tempatnya bekerja. Tentu saja hal ini akan merugikan pemilik usaha. Wajar apabila kalangan industri menentang UU ini.
Di sisi lain, kita harus jujur menjawab bahwa cuti selama 6 bulan tidaklah cukup untuk mendampingi tumbuh kembang anak. Sebab, anak membutuhkan pengasuhan terbaik dari ibu hingga usia mumayyiz.
Dampak Sistem Kapitalisme
Jika didalami, akar masalah yang dihadapi keluarga di Indonesia bukan disebabkan kondisi hamil dan melahirkannya seorang ibu. Sesungguhnya, permasalahan mendasarnya adalah diterapkannya sistem kapitalisme sekuler yang telah melahirkan berbagai kesulitan dan kerusakan di negeri ini.
Dalam sistem kapitalisme sekuler, peran negara sebagai penanggung jawab rakyatnya dimandulkan. Negara tidak menjalankan kewajiban utamanya untuk memenuhi hak pendidikan dan kesehatan rakyat, tetapi kewajiban vital ini diserahkan kepada masing-masing individu dan keluarga. Wajar jika kemudian rakyat makin sulit dan berat dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup.
Ditambah lagi dengan adanya asumsi bahwa pelibatan perempuan di sektor ekonomi dengan aktif bekerja seperti halnya kaum lelaki akan meringankan beban keluarga. Bahkan, disinyalir mampu mendongkrak kesejahteraan bangsa. Tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang, baik di dalam ekonomi maupun rumah tangga, tidak dimungkiri, menjadi jebakan yang telah mencabut peran perempuan dari fungsi utamanya sebagai ibu dan pendidik generasi.
Memang beginilah dampak yang muncul akibat aturan yang dibuat oleh manusia, saling bertabrakan satu dengan yang lain. Satu pihak diuntungkan dan pihak lain dirugikan.
Pengaturan Islam untuk Kesejahteraan Ibu dan Anak
Pengaturan Islam berbeda halnya dengan pengaturan sistem kapitalisme sekuler dalam menyejahterakan ibu dan anak. Islam sebagai agama yang sempurna, datang dari Allah Swt., Sang Pencipta manusia. Islam memiliki mekanisme yang unik dan sempurna dalam mewujudkan kesejahteraan, termasuk kesejahteraan ibu dan anak. Ini tidak perlu diragukan lagi.
Dengan pelaksanaan aturan Islam secara sempurna dan menyeluruh, baik dari aspek keamanan, ketenteraman, kecukupan, dan kebahagiaan hidup, serta kemakmuran akan menjamin kesejahteraan hidup rakyat. Dengan penerapan hukum Islam, kemuliaan kaum perempuan sebagai pilar keluarga dan masyarakat akan terjaga.
Perempuan yang hidup di dalam sistem yang menerapkan aturan Islam akan mampu mengoptimalkan berbagai perannya sebagai individu, istri, ibu, dan sebagai bagian dari masyarakat. Peran politis dan strategis kaum perempuan ini akan berjalan dengan mulus sehingga mereka melahirkan generasi yang kuat, tangguh, dan generasi cemerlang penjaga Islam terpercaya. Perlu disadari secara mendalam bahwa Islam memuliakan perempuan dengan semua peran fitrahnya, bukan dari berapa banyak uang yang dihasilkannya.
Di sisi lain, anak-anak pun bisa menikmati tumbuh kembang yang sempurna di tangan ibu cerdas nan terdidik. Kaum ibu dan anak dalam sistem Islam akan hidup dengan tenang, tanpa rasa khawatir berlebihan. Sebab, pemenuhan hak-hak mendasar mereka telah dijamin oleh negara Islam, baik kebutuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun keselamatan diri dan jiwanya. Jaminan dari negara ini akan terus diberikan hingga anak tumbuh dewasa dan menjadi ‘manusia sempurna’.
Adapun pemenuhan kebutuhan sehari-hari dalam konteks keluarga, Islam mengatur mekanisme ayah sebagai pencari nafkah. Beban mencari nafkah ini tidak dibebankan kepada ibu atau perempuan, sebagaimana ditetapkan dalam surah Al-Baqarah ayat 233 dan surah Al-Mulk ayat 15.
Rasulullah saw. juga menegaskan dalam riwayat Imam Bukhari,
“Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dengan mengharap keridaan Allah, maka baginya sedekah. Ketika ayah tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, kewajiban akan jatuh pada ahli waris dan kerabat terdekatnya. Jika pun tidak ada yang mampu, maka negara yang akan menanggungnya.”
Selain itu, apabila ada laki-laki yang mengabaikan kewajiban nafkah, sementara ia mampu, maka negara Islam berhak memaksanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan demikian, para ibu bisa menikmati karunia Allah berupa kemuliaan menjadi ibu, tanpa harus dipusingkan dengan segala kesempitan ekonomi.
Para ibu tidak perlu diberi beban ganda untuk mencari nafkah, apalagi mengalami tindak kekerasan di dalam rumah oleh anggota keluarganya. Kondisi dari dalam rumah yang aman dan tercukupi ini makin didukung oleh negara melalui penerapan seluruh hukum Islam. Penerapan ini dipastikan akan menghalau dan mencegah pergaulan yang merusak akhlak sehingga anak-anak terjaga seutuhnya, baik di luar maupun di dalam rumah.
Satu-satunya jalan untuk mengembalikan kemuliaan, baik laki-laki maupun perempuan, sekaligus meraih kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki hanyalah dengan membuang dan mengganti aturan-aturan hidup sekuler buatan manusia dan kembali kepada sistem Islam. Wallahu a’lam. [CM/NA]