Oleh: Devy Rikasari
Pegiat Literasi
Peran negara sangat penting menumbuhkan kesadaran warga negaranya untuk mengisi waktu dengan aktivitas yang bermanfaat. Pasalnya, kerusakan generasi akibat brain rot jika diabaikan oleh negara akan berimbas pada merosotnya kualitas generasi suatu negara.
CemerlangMedia.Com— Istilah brain rot menjadi tren setelah dinobatkan sebagai Word of The Year oleh Oxford University. Sebelumnya, Oxford University telah menyusun enam kata yang menggambarkan tren sosial budaya yang berkembang tahun ini, terutama yang berkaitan dengan konsumsi konten digital. Selama dua minggu pemungutan suara publik, akhirnya brain rot ditetapkan sebagai kata yang dipilih oleh 37.000 responden.
Mengulas Definisi Brain Rot
Menurut detiknews.com, brain rot secara bahasa berarti pembusukan otak. Namun, pembusukan otak yang dimaksud bukan secara fisik, melainkan lebih condong kepada sebuah istilah yang menunjukkan gangguan otak secara intelektual. Dalam konteks kekinian, brain rot menggambarkan penurunan kualitas intelektual dan mental akibat paparan konten trivial (remeh) atau tidak menantang, khususnya di platform media sosial.
Dilansir dari tempo.co, penurunan tersebut tidak terbatas pada kelompok usia tertentu. Kerusakan otak akibat penggunaan media sosial dapat menjangkiti anak-anak dan orang dewasa, meskipun penyebab dan gejalanya dapat berbeda. Anak-anak yang mengalami gangguan akibat brain rot terlihat dari berkurangnya perhatian, kesulitan berkonsentrasi mengerjakan tugas, dan prestasi akademis yang buruk.
Kerusakan otak yang dialami orang dewasa ditandai dengan mudah lupa, motivasi rendah, mudah tersinggung, dan terlalu bergantung pada perangkat gawai untuk hiburan. Beberapa faktor yang menyebabkan brain rot secara garis besar meliputi tiga hal, yaitu menggunakan gawai secara berlebihan (tanpa batasan), dilakukan secara berulang-ulang, dan konten yang dikonsumsi tidak berbobot.
Akibatnya, otak tidak mendapat rangsangan dan menjadi kecanduan. Akibat lanjutannya adalah otak tidak mampu berpikir kritis, bahkan malas berpikir. Fenomena ini sering kali ditemukan pada generasi Z dan alpha. Masalah sedikit saja mudah membuatnya depresi dan enggan berpikir.
Brain Rot Marak di Masyarakat Sekuler
Tidak dimungkiri, kehidupan masyarakat saat ini telah diliputi oleh sekularisme, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Bahkan, sekularisme telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat muslim. Boleh jadi agamanya Islam, tetapi kehidupannya jauh dari nilai-nilai Islam. Lebih masif lagi adalah pola hidup individualis, permisif (serba boleh), dan hedonis (mencari kepuasan).
Dengan dalih mencari hiburan dan hak asasi manusia, kebanyakan orang merasa sah-sah saja mengakses konten-konten receh tidak berbobot secara terus-menerus. Orang-orang di sekitarnya pun seolah segan menasihati karena pola hidup individualis di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, sering terlontar ungkapan “Urus saja urusanmu sendiri!” jika ada yang merasa kesenangannya terganggu.
Walhasil, individu yang permisif dan hedon akan makin larut dalam kebiasaannya yang tidak bermanfaat. Bahkan, tidak jarang perilaku unfaedah tadi mengarah kepada perbuatan yang melanggar norma sosial dan agama, seperti kecanduan pada konten porno.
Tidak dinyana, brain rot bukan ancaman kaleng-kaleng. Akan tetapi, ia bisa menjadi ancaman serius yang mengancam generasi muda. Apa jadinya jika generasi muda —yang di tangannya estafet kepemimpinan berada— justru menjadi pribadi yang lemah secara mental dan intelektual? Jangankan menjadi pemimpin umat, memimpin dirinya saja tidak mampu.
Enyahkan Sekularisme, Kembali kepada Islam Kafah
Sekularisme kini dirasakan dalam setiap sendi kehidupan. Dalam kehidupan pribadi, sosial masyarakat, bahkan negara, agama benar-benar telah dijauhkan dan mendapat posisi termarjinalkan. Ia hanya diposisikan mengatur aspek ruhiyah, yakni hubungan manusia dengan Tuhannya. Sementara dalam aspek mengatur diri sendiri dan interaksi dengan manusia lain, agama tidak mendapat peran.
Hal ini sungguh sangat ironis. Apalagi jika terjadi di negeri dengan penduduk mayoritas muslim, padahal Allah Swt. telah memerintahkan umat Islam untuk berislam secara keseluruhan.
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208).
Artinya, Islam seharusnya dipakai dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya urusan ritual. Lantas, bagaimana Islam mengatur terkait fenomena brain rot ini?
Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976).
Seorang muslim adalah yang menyerahkan dirinya hanya kepada Allah. Ibadahnya, pikirannya, hartanya, bahkan usianya, manut dan nurut hanya kepada Allah Swt., bukan kepada hawa nafsunya.
Oleh karena itu, makin tinggi keislaman seseorang, makin sering pula ia menjalankan perintah dan makin jauh dari apa yang diharamkan oleh Allah Swt.. Berkaitan dengan hadis di atas, bagusnya keislaman seseorang dan tingginya pemahaman terhadap agama yang dianutnya adalah ia akan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat. Hal-hal unfaedah akan makin minim dalam kehidupannya dan yang menjadi fokus perhatiannya hanyalah amal saleh saja.
Muslim yang taat akan selalu mengingat firman Allah Swt. berikut,
وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗوَلَلدَّارُ الْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?” (QS al-An’am: 32).
Sejatinya, permainan (la’ibun) dan senda gurau (lahwun) yang dimaksud pada ayat di atas adalah untuk membandingkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Jika dibandingkan dengan akhirat, dunia ini tidak lebih dari sekadar permainan dan senda gurau belaka.
Tentu akhirat yang dimaksud adalah surga dan segala kenikmatannya yang bersifat kekal. Kebahagiaan di surga bersifat pasti, sedangkan kebahagiaan di dunia hanyalah sangkaan belaka, bisa berkurang, dan bahkan hilang. Oleh karenanya, seorang muslim tidak akan menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, meskipun itu menyenangkan dirinya.
Ia akan selalu ingat bahwa Allah Swt. akan meminta pertanggungjawaban dari setiap perkataan dan perbuatannya di dunia ini. Sungguh sangat merugi jika sebagian besar waktu dihabiskan untuk perkara-perkara yang tidak mendatangkan pahala.
Dalam kehidupan sosial, muslim yang kafah juga akan berusaha melakukan dakwah jika melihat kemungkaran. Ia tidak akan cuek melihat teman, saudara, atau kerabatnya yang terjebak pada aktivitas unfaedah. Budaya amar makruf nahi mungkar inilah yang akan membuat kontrol sosial berjalan sehingga setiap muslim akan berupaya melakukan amal produktif setiap saat.
Last but not least, peran negara juga sangat penting menumbuhkan kesadaran warga negaranya untuk mengisi waktu dengan aktivitas yang bermanfaat. Pasalnya, kerusakan generasi akibat brain rot jika diabaikan oleh negara akan berimbas pada merosotnya kualitas generasi suatu negara. Alih-alih menjadi negara maju, justru negara tersebut berpotensi jalan di tempat, bahkan makin mundur.
Oleh karena itu, dalam konteks kenegaraan, peran negara sangat penting mencegah brain rot ini terjadi. Selain menumbuhkan kesadaran warganya untuk produktif beramal saleh, negara juga berperan menyaring konten-konten di semua platform media sosial. Hanya konten yang bermanfaat dan tidak melanggar syariat Islam yang boleh beredar. Selain itu, negara juga mempunyai kewenangan memberi sanksi bagi pihak-pihak yang sengaja merusak generasi muda dengan konten tidak mendidik.
Akan tetapi, untuk mencapai hal ini butuh sinergisitas semua pihak dan semua aspek. Islam tidak bisa diterapkan secara parsial karena hanya akan bersifat tambal sulam, tidak menyelesaikan masalah hingga ke akar.
Penting sekali bagi kita sebagai orang-orang yang telah lebih dahulu aware untuk menularkan kesadaran ini ke tengah umat. Peran media sosial perlu digunakan untuk makin memasifkan edukasi ini, menggambarkan bagaimana kegemilangan sistem Islam membentuk generasi unggul dan berkualitas dengan sistem pendidikan Islam yang komprehensif, didukung oleh sistem ekonomi Islam yang mensupport pengembangan karakter unggul ini. Sinergisitas semua komponen individu, masyarakat, dan negara inilah yang akan menyukseskan peran kita sebagai hamba Allah yang menjadi khalifah fil ‘ardh.
Wallahu a’lam bisshawab. [CM/NA]