Islam memandang bahwa dalam setiap sendi kehidupan, manusia harus selalu terikat dengan hukum syarak. Hatta pada level bernegara. Ketika terikat dengan hukum syarak, maka negara akan mengelola harta kepemilikan umum untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
CemerlangMedia.Com — Tabung gas seribu umat kini susah dicari. Jika dahulu masyarakat bisa menemukannya di warung dekat rumah, kini mereka harus melangkah lebih jauh lagi untuk mendapatkannya. Bahkan, masyarakat harus antre untuk dapat meminang satu tabung gas melon.
Antrean yang mengular dan perjalanan yang cukup jauh untuk mendapatkan gas melon telah memakan korban jiwa. Seorang ibu di Pamulang, Tangsel meninggal setelah berkeliling untuk membeli gas dan mengantre di pangkalan gas yang jaraknya sekira 500 m (03-02-2025).
Tragedi di atas tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang membatasi penjualan gas melon. Gas melon tidak bisa diperjualbelikan di tingkat pengecer. Pengecer harus mendaftarkan diri menjadi sub pangkalan jika ingin tetap menjual gas melon dengan syarat-syarat tertentu.
Pemerintah berdalih bahwa kebijakan tersebut diambil untuk menertibkan konsumen. Selama ini, gas melon bisa dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat, termasuk masyarakat ekonomi atas. Seharusnya gas yang tabungnya bertuliskan “untuk masyarakat miskin” ini hanya untuk mereka yang berhak.
Pembatasan peredaran gas melon sejatinya adalah pemangkasan anggaran negara untuk memberikan subsidi kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan rencana presiden untuk “diet anggaran”. Sudah menjadi rahasia umum jika anggaran negara sedang sakit.
Selain melakukan pemangkasan anggaran, pemerintah terus menggenjot sektor pajak. Para pelaku UMKM, termasuk penjual gorengan tidak lepas dari bidikan tersebut. Jika ingin terus menikmati gas melon, maka mereka harus memiliki Nomor Induk Berusaha yang salah satu syarat pengajuannya adalah memiliki NPWP.
Lahirnya kebijakan zalim ini adalah sebuah keniscayaan di dalam sistem yang tidak membawa aturan Sang Pencipta di tengah kehidupan. Sistem ini yang merestui negara melakukan riba hingga terjerat utang dengan nilai fantastis. Sistem ini yang telah mendorong pemerintah menyusun kabinet “gemuk” dan program yang minim faedah, tetapi memboncoskan anggaran. Sistem ini pula yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama di tengah melimpahnya SDA.
Berbeda dengan sekularisme, Islam memandang bahwa dalam setiap sendi kehidupan, manusia harus selalu terikat dengan hukum syarak. Hatta pada level bernegara. Ketika terikat dengan hukum syarak, maka negara akan mengelola harta kepemilikan umum untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, sebagaimana sabda Rasulullaah Shalallaahu alaihi wasallam,
“Manusia berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Penguasa pun akan berhati-hati dalam mengambil kebijakan karena ia akan bertanggung jawab kepada Allah di akhirat kelak. Dengan demikian, sudah saatnya kita tinggalkan sistem sekuler kapitalisme yang menyengsarakan dan berhijrah bersama menuju sistem Islam yang penuh barakah. Wallaahu a’lam bisshawab
Ummu Arrosyidah
Semarang [CM/NA]