“Paradigma negara Islam adalah meriayah rakyat, bukan pebisnis yang memperhitungkan untung rugi. Negara juga akan membangun berbagai pendukung, yakni sarana dan prasarana untuk pelaksanaan ibadah haji.”
CemerlangMedia.Com — Pergi ke tanah suci merupakan impian bagi seluruh umat Islam. Ibadah yang tidak hanya butuh kesiapan fisik, tetapi juga finansial.
Pelaksanaan ibadah haji tahun ini telah usai, tetapi banyak menuai sorotan dari beberapa pihak, seperti yang disampaikan oleh ketua Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI Muhaimin Iskandar. Ia menjelaskan bahwa dirinya mendapatkan sejumlah aduan terkait pelaksanaan haji tahun ini, di antaranya tenda jemaah yang over kapasitas, AC yang tidak berfungsi, kasur yang tidak cukup hingga sebagian jemaah terpaksa menempati lorong-lorong, antrean panjang ketika hendak ke toilet, keterlambatan bus menuju Arafah, dan lainnya (18-06-2024).
Ibadah haji tahun ini juga diwarnai dengan adanya 1.301 jemaah haji dari berbagai negara yang meninggal dunia, 234 korban berasal dari Indonesia. Hal tersebut dipicu karena cuaca ekstrem dengan suhu melebihi 50 derajat celcius. Arab Saudi sendiri pun mendapat banyak kritikan karena dianggap tidak melayani jemaah haji dengan lebih aman.
Menyedihkan paradigma penyelenggaraan haji dalam sistem kapitalisme. Ibadah haji hanya dijadikan lahan untuk mendulang cuan. Saat ini, biaya yang harus dikeluarkan oleh calon jemaah haji sebesar Rp93 juta per orang. Namun sayang, harga mahal tidak menjamin para jemaah mendapatkan fasilitas dan layanan terbaik.
Adanya penambahan kuota jemaah haji pun bukan semata untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat dan memperpendek antrean, tetapi lagi-lagi mencari keuntungan materi. Sistem administrasi dalam sistem kapitalisme sangat menyulitkan. Mereka harus mengurus visa haji dengan biaya mahal dan tidak jarang banyak kasus jemaah yang tertipu. Ditambah lagi dengan adanya sekat nasionalisme, membuat umat Islam tidak bersatu lagi.
Berbeda dengan pelaksanaan ibadah haji dalam sistem Islam. Tidak akan ada sekat nasionalisme sehingga semua yang berada dalam wilayah kekuasaan Daulah Islam akan mendapatkan layanan terbaik. Semua bersatu dalam naungan, yakni Khil4f4h Islamiah sehingga masyarakat tidak direpotkan untuk mengurus visa atau paspor dan biayanya pun akan lebih terjangkau.
Sungguh, paradigma negara Islam adalah meriayah rakyat, bukan pebisnis yang memperhitungkan untung rugi. Negara juga akan membangun berbagai pendukung sarana dan prasarana.
Hal ini tentu pernah dilakukan oleh Khalifah Abdul Hamid II, yakni membangun sarana transportasi massal untuk keberangkatan para jemaah haji dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah, yang dilengkapi dengan fasilitas, seperti pos pelayanan umum, logistik, serta dana zakat bagi jemaah yang kehabisan bekal.
Sungguh luar biasa optimal negara Islam mengurus rakyatnya. Jadi, apakah kita masih berharap mendapatkan layanan terbaik dalam sistem sekarang atau berjuang bersama agar sistem Islam segera diterapkan?
Ani Yunita [CM/NA]