Penyerahan urusan pengelolaan tambang kepada lembaga pendidikan atau perguruan tinggi sejatinya sangat keliru. Seharusnya yang mengelola urusan tersebut adalah negara, kemudian disalurkan kepada tiap-tiap institusi pendidikan, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan di bidang lainnya.
CemerlangMedia.Com — Dunia pendidikan tinggi Indonesia sedang menjadi sorotan tatkala masuknya usulan agar perguruan tinggi menjadi salah satu lembaga penerima wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Hal ini disampaikan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) dalam rapat bersama Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, pada Kamis (23-1-2025) (24-1-2025).
Dalam rapat tersebut, setidaknya ada empat poin baru yang diusulkan untuk dimasukkan ke dalam Revisi UU Minerba ini. Pertama, terkait percepatan hilirisasi mineral dan batu bara. Kedua, terkait aturan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Ketiga, terkait pemberian IUP kepada perguruan tinggi. Keempat, terkait pemberian IUP untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Revisi undang-undang tersebut juga diklaim sebagai upaya pemerintah untuk melibatkan masyarakat secara langsung dalam pengelolaan sumber daya alam di negerinya sendiri. Selain itu, diharapkan pula dapat membuka peluang lebih besar bagi masyarakat melalui ormas, perguruan tinggi, dan UKM dalam pengelolaan tambang.
Tentu saja hal ini menuai banyak sekali pro dan kontra. Apalagi perguruan tinggi sebagai salah satu lembaga pendidikan yang orientasi utamanya adalah tentang peningkatan kualitas masyarakat, bukan lembaga untuk berbisnis.
Sebenarnya hal tersebut bukan sesuatu yang mengherankan karena hari ini setiap kampus diberikan kebijakan otonomi masing-masing. Setiap kampus memiliki keleluasaan, fleksibilitas dalam mengelola sumber daya, membangun tata kelola, meningkatkan kualitas, dan kebebasan akademik, termasuk dalam hal ekonomi.
Kebijakan otonomi pendidikan pada akhirnya bisa membuat setiap lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi untuk mencari pendapatan mandiri yang bertujuan untuk memenuhi keberlangsungan proses pendidikan di dalam kampus tersebut. Oleh karena itulah, tidak sedikit perguruan tinggi yang menerima usulan pengelolaan tambang oleh kampus. Namun, hal ini dikhawatirkan dapat mengubah orientasi pendidikan di dalam lembaga itu sendiri.
Sebenarnya kurang tepat jika kebijakan otonomi diberikan kepada lembaga pendidikan. Program otonomi lahir pada masa Yunani kuno dan kini diterapkan dalam sistem perekonomian kapitalisme, contoh setiap daerah diberikan kebijakan otonomi. Oleh karena itu, hal-hal yang menyangkut kebutuhan suatu daerah menjadi tanggung masing-masing.
Sayangnya, hal tersebut justru membuat kepala daerah banyak mementingkan urusan pemasukan daerah dan memberikan peluang terjadinya korupsi di setiap wilayah dan kelalaian terhadap kebutuhan masyarakat. Begitu pula dengan kebijakan otonomi kampus. Kampus akan berputar pada urusan pemenuhan kebutuhannya sendiri dan tidak lagi mengutamakan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan nanti.
Lembaga pendidikan sudah semestinya berfokus pada tujuan pendidikan itu sendiri. Tidak tercampur baru dengan kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik dalam lembaga. Sebab, hal tersebut akan melalaikan setiap pelaku pendidikan.
Kampus sebagai salah satu lembaga pendidikan seharusnya fokus membentuk syahsiah islamiah pada setiap individu agar kelak dapat terjun ke masyarakat dan memberikan kontribusi terbaiknya bagi umat. Mengembalikan orientasi pendidikan harus juga disertai dengan mengembalikan tujuan dari pandangan hidup masyarakat.
Saat ini, proses kapitalisasi yang sudah merambah pada dunia pendidikan membuat masyarakat makin berat untuk mengembalikan tujuan utama dari pendidikan. Adanya otonomi kampus merupakan salah satu bentuk pengabaian dari tanggung jawab pemerintah di bidang pendidikan, padahal pendidikan merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang harus di penuhi dan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pendidikan bukan sekadar fasilitas, tetapi juga dalam hal pembiayaan. Hari ini, pemenuhan biaya diserahkan kepada individu masing-masing sehingga ketika ada masyarakat yang tidak mampu secara finansial, maka kemungkinan mereka untuk mengenyam pendidikan sangatlah kecil. Alhasil, pendidikan tidak merata dan makin menjauhkan masyarakat dari peningkatan kualitas manusianya.
Pemenuhan kebutuhan pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Pembiayaan lembaga pendidikan wajib berasal dari negara, bukan menyerahkan urusan tersebut kepada setiap individu masyarakat maupun lembaga pendidikan masing-masing.
Penyerahan urusan pengelolaan tambang kepada lembaga pendidikan atau perguruan tinggi sejatinya sangat keliru. Seharusnya yang mengelola urusan tersebut adalah negara, kemudian disalurkan kepada tiap-tiap institusi pendidikan, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan di bidang lainnya.
Seperti inilah rusaknya pendidikan hari ini. Saat sistem kehidupan dikendalikan oleh aturan yang bukan berasal dari wahyu Allah, tujuan kehidupan berporos pada keuntungan semata. Di bidang pendidikan, kepentingan menuntut ilmu dan perbaikan masyarakat akhirnya berubah, membelot menjadi kepentingan bisnis dengan dalih otonomi kampus.
Inilah yang harus disadari masyarakat sedini mungkin. Tidak akan pernah tercapai tujuan untuk melahirkan generasi terbaik bagi alam semesta jika dasar dari tujuan kehidupannya adalah materi dan keuntungan semata. Wallahualam.
Resti Ummu Faeyza [CM/NA]