CemerlangMedia.Com — Dilansir dari cnnindonesia.com (24/09/23), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan ada 73 konflik agraria yang terjadi dalam kurun waktu 8 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo akibat proyek strategis nasional (PSN). Dewi Kartika, selaku Sekretaris Jenderal KPA menyampaikan masalah agraria itu terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari tambang, pertanian, sampai pada pembangunan properti. Dia menyatakan bahwa sepanjang 2015 sampai 2023, sudah terjadi 73 letusan konflik agraria akibat dari proyek-proyek strategis nasional yang terjadi di seluruh sektor pembangunan.
Dewi juga menjelaskan proyek yang menyebabkan konflik lahan, antara lain pembangunan sirkuit di NTB, Bendungan Bulango Ulu Gorontalo, pembangunan tol Padang-Pekanbaru dan proyek kawasan ekonomi khusus di Gresik, pembangunan PLTA di Pinrang. Kemudian penambangan Wadas untuk Bendungan Bener, proyek Movieland MNC Lido City Sukabumi, proyek lumbung pangan atau food estate di Sumatera Utara. Serta pembangunan-pembangunan lainnya.
Inilah bentuk aktivitas yang dilakukan oleh para investor di negeri ini yang pastinya dilakukan atas dasar dukungan dari pemangku kebijakan. Pembangunan yang terus-menerus tanpa henti, bahkan mengorbankan jutaan penduduk atas alasan kepentingan ekonomi. Kondisi masyarakat tidak dipedulikan, tanah-tanah milik warga dirampas dan digusur secara paksa. Rakyat yang berusaha melindungi tanah warisan leluhur mereka malah dibalas dengan penindasan. Sungguh miris keadaan yang dirasakan oleh rakyat.
Begitulah fakta yang tampak dalam kapitalisme. Tidak ada keamanan milik individu, kenyamanan tempat tinggal, serta yang lainnya, terlebih lagi jika rakyat tidak memiliki uang maupun kekuasaan. Yang ada hanyalah penindasan serta kesengsaraan yang dirasakan. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan yang seharusnya berdiri tegak untuk melindungi rakyat yang ditindas, malah siap siaga melindungi kepentingan diri serta para investor.
Padahal dalam aktivitas pembangunan yang dilakukan, banyak sekali dampaknya. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mengkaji secara teliti sebelum menyetujui, terutama dampaknya terhadap masyarakat yang akan mengakibatkan fenomena-fenomena alam, misalnya banjir, tanah longsor dan lainnya akibat dari pembabatan hutan untuk mendirikan bangunan. Masyarakat tidak merasakan kesejahteraan karena masalah kebutuhan mereka yang sulit terpenuhi, ditambah dengan perampasan tanah-tanah tempat tinggal mereka. Walaupun ada ganti rugi yang dilakukan oleh pemerintah untuk rakyat, tetapi itu tidak sesuai karena jumlahnya yang minim.
Melihat realitas ini, akan teringat dengan masa-masa kepemimpinan Islam dahulu. Dari masa Rasulullah hingga masa kepemimpinan terakhir dalam Khil4f4h Utsmani. Sungguh tidak ada sedikit pun dapat dibandingkan dengan kepemimpinan yang ada saat ini dalam lingkaran sistem kufur hasil dari akal manusia. Di masa kejayaan Islam dulu sungguh luar biasa, para khalifah meriayah rakyatnya. Mereka menjalankan pemerintahan bukan untuk meraup keuntungan pribadi lebih-lebih melindungi para investor, melainkan sebagai pelayan serta perisai bagi masyarakatnya.
Pemerintah menjalankan roda kepemimpinan dengan aturan yang datang dari Sang Khalik Allah Swt., bukan atas dasar akal maupun nafsu mereka. Kalau pun ada pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan, pasti akan dihukum serta diberhentikan dari jabatannya.
Hak-hak maupun milik masyarakat akan dilindungi, bukan hanya yang muslim, melainkan juga nonmuslim yang hidup dalam naungan Daulah Islam. Tidak ada perampasan secara paksa dan sadis dalam kepemimpinan Islam. Itulah indahnya periayahan jika aturan yang dipakai adalah aturan dari Sang Pemilik semesta. Semuanya indah dalam bingkai Khil4f4h. Wallahu a’lam bisshawwab.
Jumiati Muslimin
Bima, Nusa Tenggara Barat [CM/NA]