Di dalam sistem Islam, pelaku korupsi diberi hukuman yang tegas dan setimpal, mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat/teguran, kemudian bisa penjara, bayar denda, pengumuman pelaku di hadapan publik, hukuman cambuk, hingga yang paling berat, yaitu hukuman mati. Alhasil, pelaku korupsi akan merasa jera dan mencegah berulangnya kasus serupa.
CemerlangMedia.Com — Di Indonesia, korupsi telah menjadi penyakit akut bagaikan kanker yang telah mengakar kuat. Upaya menghabisinya hingga ke akar masalah tampaknya mustahil. Sebab, pelaku korupsi tidak bekerja sendirian. Mereka berkelompok untuk saling melindungi dan mencari cara untuk selamat. Korupsi di alam demokrasi saat ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah (eksekutif), perlemen/wakil rakyat (lesgislatif), peradilan (yudikatif), dan juga swasta.
Pada akhir Februari 2025, publik dikejutkan dengan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah. Total taksiran kerugian keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun yang bersumber dari lima komponen (27-02-25). Sebelum kasus ini, publik lebih dulu dikejutkan dengan kasus korupsi tata niaga timah yang menyebutkan bahwa kerugian negara berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencapai Rp300 triliun (8-3-2025).
Korupsi merupakan aktivitas penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Di Indonesia, korupsi seolah menjadi budaya karena makin hari kasusnya kian menjadi, baik di dalam instansi pemerintah maupun swasta. Namun yang tidak kalah penting ialah harus mencari tahu apa saja faktor penyebab hingga akar masalah dari semua ini.
Melihat realita kehidupan masyarakat hari ini, korupsi terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, rendahnya gaji, sedangka mental pegawai ingin cepat kaya, walaupun dengan cara yang tidak halal. Kedua, budaya warisan pemerintah kolonial. Ketiga, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan serta sanksi yang tidak tegas.
Namun, faktor penyebab korupsi yang sebenarnya berpangkal dari ideologi yang ada, yaitu demokrasi kapitalisme. Dalam sistem demokrasi kapitalisme, setiap manusia diberi empat kebebasan, yakni kebebasan beragama, kepemilikan, berpendapat, dan berperilaku. Paham kebebasan inilah yang kemudian menyuburkan kerusakan, termasuk korupsi.
Dengan demikian, setidaknya ada 4 faktor penyebab korupsi. Pertama, faktor ideologis, yaitu tumbuhnya nilai kebebasan dan hedonisme masyarakat dan juga diterapkannya sistem sekuler. Kedua, faktor kelemahan karakter individu. Ketiga, faktor lingkungan dan masyarakat (budaya suap-menyuap). Keempat, faktor penegakan hukum yang lemah.
Dalam Islam, aktivitas korupsi disebut dengan berkhianat. Berkhianat berbeda dengan mencuri. Mencuri ialah mengambil harta orang lain secara diam-diam, sedangkan korupsi merupakan pengkhianatan yang dilakukan dengan menggelapkan harta yang diamanahkan kepadanya. Oleh karena itu, sanksi pelaku khianat bukanlah potong tangan sebagaimana pencuri, melainkan sanksi takzir yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim dan disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan.
Rasulullah saw. bersabda,
Laysa ‘ala khaa’in wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.
“Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.” (HR Abu Dawud).
Dalam upaya pencegahan korupsi, langkah paling utama yang wajib dilakukan adalah menghapus ideologi kapitalisme itu sendiri dan menggantinya dengan penerapan syariat Islam. Ahli fikih kontemporer K.H. Shiddiq Al Jawi memberi panduan berisi enam langkah untuk mencegah korupsi menurut Islam.
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara berdasarkan profesionalitas dan integritas, bukan koneksitas. Dalam hal ini telah memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan syahsiah islamiah (kepribadian Islam). Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Ketiga, negara wajib memberi gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Keempat, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Kelima, adanya teladan dari pemimpinnya. Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat.
Di dalam sistem Islam, pelaku korupsi diberi hukuman yang tegas dan setimpal, mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat/teguran, kemudian bisa penjara, bayar denda, pengumuman pelaku di hadapan publik, hukuman cambuk, hingga yang paling berat, yaitu hukuman mati. Alhasil, pelaku korupsi akan merasa jera dan mencegah berulangnya kasus serupa.
Oleh karena itu, umat butuh penerang untuk keluar dari kegelapan ini dan tidak ada cahaya yang mampu, selain cahaya Islam. Islam yang benar-benar bisa diterapkan di muka bumi secara sempurna, bukan parsial. Untuk mencapai itu, perlu adanya edukasi/dakwah demi menunjukkan kesempurnaan Islam dengan pengaturan dan sanksinya yang jelas. Tugas itu tidak hanya dipikul oleh kelompok tertentu, melainkan oleh seluruh komponen umat Islam. Wallahu a’lam bisshawab
Nabilah Rohadatul Aisy, S.Ag. [CM/Na]