Islam memandang pendidikan merupakan amanah negara dan hak rakyat. Sistem Islam tidak hanya mengikat akal/logika, tetapi juga hati/ruhiyah hingga akal dan perasaan tumbuh bersama untuk selalu taat kepada-Nya. Dengan demikian, perbuatan curang akan terminimalisasi, sebab asas perbuatannya adalah ibadah kepada Allah.
CemerlangMedia.Com — Panitia Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) 2025 menemukan tindakan kecurangan yang dilakukan oleh sekitar 50 peserta dan 10 joki pada pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer atau UTBK 2025 yang berlangsung pada 23 April 2025 hingga 5 Mei 2025. Ketua Tim Penanggung Jawab Panitia SNPMB 2025 Eduart Wolok menyampaikan tindakan kecurangan beraneka ragam, mulai dari pemasangan kamera di kacamata hingga cara lama, yakni menggantikan peserta di ruang ujian (joki) (30-04-2025).
Masalah kecurangan acapkali terjadi setiap pelaksanaan SNPMB. Walau begitu, nyaris tidak ada upaya serius dari pihak penanggung jawab agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Lebih jauh, tindakan ini bukan sekadar pengawasan yang longgar atau penggunaan teknologi yang kalah canggih, melainkan fondasi kehidupan saat ini yang merusak makna pendidikan, melanggengkan ketimpangan, serta membenarkan segala cara untuk mencapai kesuksesan individual.
Sistem hidup kapitalisme meniscayakan pendidikan dijadikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Hal ini terlihat dari maraknya lembaga bimbingan belajar dengan embel-embel pemasarannya “garansi masuk PTN” dengan biaya harga fantastis. Bahkan, ada jaringan joki profesional yang menawarkan jasa kepada mereka yang mampu membayar sebagai solusi yang instan.
Jika demikian, persoalan lulus pada UTBK bukan lagi tentang siapa yang pintar, melainkan tentang siapa yang mampu membayar. Mereka telah bersaing di arena dengan ketimpangan yang nyata. Ketidakadilan inilah yang menyebabkan kesemrawutan pelaksanaan SNPMB terus-menerus terjadi tanpa solusi pasti.
Sementara itu, hilangnya moral dari ruang hidup akibat pemisahan aturan agama dengan kehidupan (sekularisme) telah mencabut makna pendidikan dari akarnya. Nilai-nilai, seperti kejujuran, amanah, dan tanggung jawab tidak lagi menjadi prinsip utama. Apa pun caranya dilakukan untuk mencapai tujuan sekalipun melanggar norma-norma.
Seharusnya pendidikan bukan sekadar mengisi otak untuk memperkaya intelektual, melainkan juga sebagai pembentuk karakter. Namun, sekularisme menjadikan akhlak sebagai muatan pelengkap dalam kurikulum tanpa adanya kekuatan untuk mengikat dalam berperilaku.
Demikian pula liberalisme, gagasan yang lahir dari sistem kapitalisme ini menjadi mantra sakral. Setiap orang bebas mengambil keputusan, sekalipun merugikan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk keputusan berlaku curang dalam UTBK. Bahkan, kecurangan dianggap sebuah strategi untuk mencapai kesuksesan.
Mentalitas semacam ini menumbuhsuburkan pemikiran pragmatis, seperti pemikiran “tidak perlu jujur yang penting lulus, tidak penting proses yang penting hasil”. Pandangan semacam ini tidak melahirkan manusia yang berkualitas, tetapi mencetak generasi oportunis yang siap menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Parahnya, generasi semacam ini adalah bibit-bibit pelaku kriminal yang siap menghancurkan negeri.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah pelaksanaan UTBK, tidak hanya sekadar menambah kamera pengawas ataupun memperbaharui teknologi agar tidak kalah canggih dengan peserta. Akan tetapi, perlu mengubah cara pandang terhadap pendidikan secara mendasar.
Pendidikan tidak lagi dijadikan alat bisnis, melainkan sebuah hak setiap insan di negeri ini. Selain itu, pendidikan haruslah membentuk karakter kejujuran sebagai pilar, bukan sekadar retorika belaka serta menempatkan negara sebagai penjamin akses dan kualitas pendidikan, bukan menyerahkan sepenuhnya kepada pasar seperti saat ini. Paradigma demikian hanya ada pada sistem Islam.
Islam memandang pendidikan merupakan amanah negara dan hak rakyat. Gratis, bermutu, tidak ada ketimpangan, dan berorientasi pada pembentukan kepribadian dan perilaku Islam. Sistem Islam tidak hanya mengikat akal/logika, tetapi juga hati/ruhiyah hingga akal dan perasaan tumbuh bersama untuk selalu taat kepada-Nya. Dengan demikian, perbuatan curang akan terminimalisasi, sebab asas perbuatannya adalah ibadah kepada Allah.
Kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan UTBK bukan sekadar kriminalitas individu. Ia adalah refleksi dari kerusakan sistem hidup. Jika ingin menuntaskan segala bentuk kecurangan, maka sudah saatnya syariat Islam secara kafah ditegakkan di atas bumi ini. Wallahu a’lam.
Hessy Elviyah, S.S.
Bekasi, Jawa Barat [CM/Na]