Sistem politik Islam akan betul-betul menyeleksi para pejabat, bervisi untuk melayani umat. Seorang penguasa akan menjalankan perintah Allah dalam mengurusi rakyat, amanah, dan jujur. Ketika calon pemimpin tidak mempunyai syarat ini, maka ia tidak berani untuk menjadi seorang pemimpin karena pertanggungjawabannya berat di hadapan Allah.
CemerlangMedia.Com — Kejaksaan Agung telah memeriksa sembilan orang saksi pada kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina periode 2018—2023. Kasus tersebut telah merugikan negara hingga mencapai Rp193 trilun (05-03-2025).
Korupsi terus menjadi-jadi, meskipun rezim berganti, padahal setiap capres dan cawapres mempunyai visi dan misi yang sama saat kampaye terkait pemberantasan korupsi. Namun nayatanya, tidak ada solusi yang mengakar terkait pemberantasan korupsi. Sebaliknya, korupsi makin banyak hingga merugikan negara dari tahun ke tahun. Korupsi seolah menjadi budaya dalam tubuh pemerintahan, mulai dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sejatinya korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa karena merusak kehidupan masyarakat dan negara. Namun ketegasan hukum dalam memberikan efek jera tidak dilakukan oleh negara. Akibatnya, lahirlah bibit-bibit koruptor baru.
Hal ini yang menyebabkan pelaku korupsi tetap ada hingga saat ini. Aturan kehidupan sekuler telah menjadikan manusia hidup tidak berlandaskan agama. Agama bukan lagi sebagai pengontrol dalam setiap aktivitas.
Agama hanya mengatur urusan ibadah wajib dan tidak digunakan dalam kehidupan bernegara, padahal agama bisa menjadi pencegah dalam melakukan perbuatan dosa. Standar perbuatan pun bukan halal haram, melainkan manfaat materi saja, dan manusia bebas membuat aturan untuk kepentingannya.
Sistem sekuler juga telah melahirkan kehidupan yang individualis sehingga masyarakat hanya fokus pada kehidupannya sendiri tanpa peduli dengan kehidupan orang lain. Hubungan yang dibagun hanya sebatas materi, bukan sebagai saling mengingatkan dan menasihati. Hal ini pula yang menjadikan korupsi terus ada karena saling menutupi agar kepentingan sesamanya bisa terjaga.
Terlebih lagi, sistem politik demokrasi berbiaya mahal. Bukan rahasia umum lagi bahwa seseorang yang mencalonkan diri akan membutuhkan biaya yang banyak. Untuk itu, sistem politik sekuler hanya mengkader para politisi yang bervisi bisnis sehingga mencalonkan diri karena mengejar materi.
Selain itu juga, sanksi yang diberikan tidak membuat efek jera bagi pelaku korupsi. Sanksi dalam sistem demokrasi sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Alhasil, pelaku korupsi tetap ada.
Dalam Islam, sistem kehidupan harus berlandaskan akidah Islam sehingga akan melahirkan takwa pada setiap individu dan melakukan aktivitas sesuai dengan perintah Allah Swt.. Agama menjadi kontrol pada setiap aktivitas yang dilakukan karena ada rasa takut ketika berbuat kemaksiatan, sebab yakin bahwa Allah Maha Mengetahui segala aktivitas yang dilakukan. Masyarakat pun saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketaatan sehingga ketika terlihat bibit-bibit korupsi, langsung dapat dicegah.
Sistem politik Islam akan betul-betul menyeleksi para pejabat, bervisi untuk melayani umat. Seorang penguasa akan menjalankan perintah Allah dalam mengurusi rakyat, amanah, dan jujur. Ketika calon pemimpin tidak mempunyai syarat ini, maka ia tidak berani untuk menjadi seorang pemimpin karena pertanggungjawabannya berat di hadapan Allah.
Dalam Islam, sistem sanksi bagi pelaku korupsi itu adalah takzir. Bentuk dan kadarnya disesuaikan dengan besar atau kecil masalah yang didasarkan pada ijtihad khalifah atau kadi.
Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah dicambuk dan ditahan dalam waktu yang lama (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 5/528). Zaid bin Tsabit menetapkan bentuk hukuman yang bisa menjadi pelajaran bagi orang lain dan diberi sanksi tegas. Sementara Qatadah mengatakan bahwa hukumannya adalah penjara (Mushannaf Abd ar-Razaq, 10/208—209).
Arbaiya Kabes
Fakfak, Papua Barat [CM/Na]