Dalam Islam, tempat tinggal termasuk salah satu kebutuhan pokok. Oleh karenanya, negara bertanggung jawab untuk menyediakannya. Aparatur negara tidak boleh memanfaatkan tanah negara atau, bahkan menyewakannya karena ini bentuk pengkhianatan terhadap amanah (ghulul).
CemerlangMedia.Com — Warga mendesak pemerintah untuk menindak bangunan liar (bangli) di daerah Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat. Seiring desakan warga, Camat Cikarang Barat Lukman Hakim menyatakan komitmennya untuk membantu, memfasilitasi dan mendampingi satpol PP dalam upaya penertiban bangunan liar (bangli) di wilayah tersebut (15-05-2025).
Menjamurnya bangli di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat tidak lepas dari kombinasi faktor sosial, ekonomi, politik, dan tata ruang yang lemah. Cikarang adalah kawasan industri besar di Jabodetabek sehingga mendorong kaum urban untuk datang ke daerah ini.
Mahalnya perumahan legal dan harga tanah yang disebabkan oleh spekulasi dan investasi serta tingginya biaya hidup membuat sebagian dari masyarakat memilih untuk membuat rumah-rumah ilegal. Bangunan tersebut umumnya di ruang terbuka, lahan-lahan kosong, pinggir jalan, dan bantaran sungai. Hal ini mengakibatkan kesemrawutan tatanan kota.
Lebih jauh, penegakan hukum yang lemah kerap ditunjukkan di negeri ini. Aparat tidak tegas, bahkan kewalahan menindak bangunan liar. Ironisnya, ada beberapa oknum pejabat yang memanfaatkan lahan kosong milik negara dengan menyewakan kepada masyarakat yang kemudian dimanfaatkan untuk tempat usaha, membangun rumah, dan lain sebagainya. Para oknum ini pun meminta upeti yang diklaim sebagai jaminan perlindungan masyarakat yang menyewa tanah, padahal tanah tersebut milik negara dan tidak boleh dimanfaatkan/diperjualbelikan.
Inilah dampak buruk sistem hidup yang berorientasi pada keuntungan. Tanah dipandang sebagai komoditas yang menguntungkan, bukan sebagai ruang hidup dan hak rakyat. Oleh karena itu, tidak heran jika muncul para spekulan dan komersialisasi ruang. Kaum miskin yang tidak mampu menjangkau harus tersingkir ke ruang-ruang pinggiran dan tanah ilegal.
Parahnya lagi, negara tidak pernah memihak kepada kaum miskin. Kebijakan yang dikeluarkan sering kali menguntungkan para investor. Pembangunan kawasan industri dan properti tumbuh subur, sementara perumahan rakyat terabaikan.
Akhirnya, hunian layak menjadi hak yang hanya bisa dibeli, bukan dipenuhi sebagai kebutuhan dasar. Adanya bangunan liar menjadi respons terhadap ketidakadilan dan ketidakmampuan negara dalam menyediakan hunian layak bagi rakyatnya.
Inilah sistem kapitalisme yang menempatkan keuntungan di atas kebutuhan dasar. Ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik terpampang nyata. Rakyat kecil terjepit antara kebutuhan tempat tinggal dan ancaman penggusuran. Selain itu, rakyat kecil juga harus membayar uang keamanan sekalipun tinggal di ruang ilegal.
Berbeda dengan paradigma Islam. Dalam Islam, tempat tinggal termasuk salah satu kebutuhan pokok. Oleh karenanya, negara bertanggung jawab untuk menyediakannya. Aparatur negara tidak boleh memanfaatkan tanah negara atau, bahkan menyewakannya karena ini bentuk pengkhianatan terhadap amanah (ghulul).
“Barang siapa yang berkhianat (ghulul), maka pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa apa yang dikhianatinya itu.” (QS Ali Imran: 161).
Demikian pula pandangan Islam terhadap tanah. Tanah bukanlah barang yang bisa diperjualbelikan secara bebas tanpa batas. Kepemilikan tanah diatur oleh syariat berdasarkan jenisnya, yaitu milik individu—diperoleh dari hibah, waris, jual-beli yang perbolehkan oleh syariat—, milik negara —tanah yang ditelantarkan—, milik umum—yang mengandung sumber daya alam—.
Demikianlah Islam memberikan menjaminan kepada hak umat atas tempat tinggal dan pengelolaan terhadap tanah. Sudah seharusnya umat berpaling dari sistem yang gagal menciptakan keadilan ke sistem sahih, yakni sistem Islam rahmatan lil alamin. Wallahu alam.
Hessy Elviyah, S.S.
Bekasi, Jawa Barat [CM/Na]