“Politik di dalam Islam merupakan ri’ayah su’unil ummah (mengurusi urusan umat), bukan mengurusi diri sendiri, partainya, ataupun tuan kapitalisnya. Pemimpin tidak digaji, melainkan diberikan santunan sesuai kebutuhan hidup dan kewajiban nafkah terhadap keluarganya.”
CemerlangMedia.Com — Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang lahir dari ideologi kapitalisme sekularisme. Tidak heran jika segala cara dihalalkan untuk meraih kekuasaan, termasuk monopoli elektoral. Sekalipun pasangan calon memiliki elektabilitas yang baik, belum tentu akan memenangkan elektoral.
Diberitakan oleh Pontianak times, Pengamat Politik Ireng Maulana mencermati bahwa potensi pilkada dua kabupaten se-Kalbar, yaitu Melawi dan Bengkayang yang pasangan calonnya melawan kotak kosong. Ia pun menjelaskan bahwa konsekuensi pasangan yang melawan kotak kosong harus melampaui elektoral 50% plus 1 (22-7-2024).
Demikianlah, bukti monopoli elektoral yang terjadi dalam demokrasi menimbulkan dampak buruk, di antaranya pada kualitas kepemimpinan, menciptakan oligarki, dan perilaku koruptif. Duduk menjadi penguasa ditentukan dari siapa yang menguasai elektoral. Hal ini sejalan dengan pernyataan Joseph Stalin (Pemimpin Uni Soviet), “Orang-orang yang memberikan vote (suara) tidak menentukan hasil dari pemilu, orang-orang yang menghitung vote itulah yang menentukan hasil dari pemilu.”
Adakah pemimpin amanah dan berkualitas? Tentu ada, jika pemimpin tersebut meneladani Rasulullah saw., sebagaimana para khalifah di masa kekhalifahan yang menerapkan syariat Islam kafah. Mereka selalu menjaga keimanan, berpedoman kepada Al-Qur’an dan as-Sunah. Ketika mencalonkan diri menjadi pemimpin, mereka berlomba dalam ketakwaan.
Politik di dalam Islam merupakan ri’ayah su’unil ummah (mengurusi urusan umat), bukan mengurusi diri sendiri, partainya, ataupun tuan kapitalisnya. Pemimpin tidak digaji, melainkan diberikan santunan sesuai kebutuhan hidup dan kewajiban nafkah terhadap keluarganya. Pemimpin yang terpilih dikeluarkan dari partai. Saat memimpin, mereka totalitas mengurusi urusan umat dan mengharap rida Allah.
Keberadaan partai dalam sistem Islam tidak sekadar menelurkan politikus bertakwa, tetapi juga melakukan aktivitas muhasabah lil hukam (menasihati penguasa). Seluruh partai wajib berlandaskan Islam, selainnya dilarang dan dibubarkan. Sejatinya, aktivitas yang dilakukan partai merupakan amar makruf nahi mungkar agar penguasa menjalankan pemerintahan sesuai dengan aturan Allah Swt..
Mekanisme elektoral pemilihan pemimpin dalam sistem Islam tidak seboros demokrasi. Jika dipikir, dana pemilihan dalam demokrasi yang menyentuh angka triliunan mampu menyejahterakan rakyat.
Prioritas negara adalah untuk kesejahteraan umat sehingga menekan segala pengeluaran yang bukan terkait kebutuhan asasi manusia. Prinsipnya adalah jika ada yang mudah mengapa harus dipersulit, jika bisa lebih hemat mengapa harus boros, jika seorang hamba wajib bertakwa pada Allah Swt. mengapa harus menyalahi syariat-Nya. Wallahu a’lam
Fatimah Al-Fihri [CM/NA]