“Jika pelaksanaan upacara kenegaraan adalah untuk merayakan kemerdekaan, maka makna kemerdekaan yang sesungguhnya adalah membebaskan umat manusia dari segala bentuk penghambaan, termasuk penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan dan ketaatan kepada Allah Swt. semata.”
CemerlangMedia.Com — Sebanyak 18 anggota Paskibraka 2024 berkerudung, tampak tidak menggunakan kerudungnya saat acara pengukuhan di Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Panser, Kalimantan Timur. Disinyalir, hal tersebut mereka lakukan karena harus mematuhi tata aturan baru terkait seragam untuk mengibarkan bendera yang telah ditandatangani (14-08-2024).
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi yang memberikan klarifikasi terkait kasus ini menyatakan, pelepasan kerudung sejumlah anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2024 ditujukan untuk mengangkat nilai-nilai keseragaman dalam pengibaran bendera, sesuai Surat Edaran Deputi Diklat No. 1/2024.
Dalam surat edaran tersebut dikatakan, tidak terdapat pencantuman pilihan berkerudung bagi anggota Paskibraka yang menggunakan kerudung. Sementara untuk penyeragaman pakaian itu sendiri, berangkat dari semangat Bhinneka Tunggal Ika yang dicetuskan oleh Ir. Soekarno, yakni ketunggalan dalam keseragaman. Keseragaman tersebut diterjemahkan oleh BPIP dalam wujud pakaian yang seragam.
Hal ini tentu membuat miris, tetapi tidak mengherankan. Pasalnya, berkerudung adalah kewajiban yang telah ditetapkan Allah Swt. kepada setiap muslimah yang telah balig. Seharusnya anggota Paskibraka yang mengenakan kerudung patut diapresiasi karena telah mengamalkan sebagian dari perintah agama.
Di samping itu, kebolehan paskibraka berkerudung sudah dimulai sejak 2002 yang lalu. Larangan berkerudung ini seakan menyiratkan, BPIP seolah alergi jika atribut keagamaan ditampakkan pada pengukuhan dan pelaksanaan upacara kemerdekaan.
Adanya aturan ’nyeleneh’ tersebut tidaklah mengherankan karena lahir dari pemikiran sekuler yang memang mendominasi di negeri ini. Sekularisme meniscayakan pemisahan agama dari kehidupan sehingga syiar-syiar Islam tidak boleh ditampakkan di acara seremonial kenegaraan. Demikianlah, semangat keagamaan seseorang yang ingin tunduk pada syariat Tuhan-nya harus takluk pada aturan manusia yang merasa punya kuasa.
Sementara jika pelaksanaan upacara kenegaraan adalah untuk merayakan kemerdekaan, maka makna kemerdekaan yang sesungguhnya adalah membebaskan umat manusia dari segala bentuk penghambaan, termasuk penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan dan ketaatan kepada Allah Swt. semata, sebagaimana isi surat Rasulullah saw. kepada penduduk Najran yang berbunyi,
“Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia).” (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).
Oleh karena itu, seyogianya hal ini menjadi bahan muhasabah bagi para pemegang kekuasaan agar tidak menjadikan kekuasaannya untuk menjegal syariat Allah Swt..
Cut Dida Farida, S.Si.
Kutai Timur, Kalimantan Timur [CM/NA]