CemerlangMedia.Com — Sejak 1928, Indonesia telah memperingati Hari Ibu Nasional setiap 22 Desember. Pada tiap tahunnya, beragam tema disuguhkan guna memberikan penghormatan terhadap jasa ibu yang istimewa. Selain itu, peringatan Hari Ibu juga bertujuan untuk mendorong apresiasi dan pengakuan dari pemerintah maupun masyarakat tentang pentingnya eksistensi perempuan dalam berbagai pembangunan.
Peringatan Hari Ibu ke-95 pada 2023 mengusung tema “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”. Selain tema utama ini, terdapat empat sub tema yang diusung KemenPPA, yakni Perempuan Bersuara, Perempuan Berdaya dan Berkarya, Perempuan Peduli, dan Perempuan dan Revolusi (18-12-2023).
Di era kapitalistik saat ini, masyarakat disuguhkan gambaran perempuan berdaya, yakni mereka yang sukses dengan segala pencapaian materi. Karier, gelar, dan status sosial menjadi keharusan bagi perempuan mana pun yang menginginkan kehidupan layak dan pengakuan dari masyarakat maupun pemangku jabatan.
Dengan demikian, wajar apabila masyarakat makin kehilangan gambaran seperti apa berdayanya perempuan dalam memajukan sebuah peradaban. Padahal jika ditelisik lebih jauh, label perempuan berdaya ala kapitalis patut dipertanyakan dengan seiring runtuhnya ketahanan keluarga. Seperti, angka perceraian yang menjulang, maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak, tingginya kasus bvnvh diri, penurunan jumlah kelahiran imbas dari masifnya keterlibatan perempuan dalam angkatan kerja, dan yang tidak kalah krusial adalah rusaknya generasi akibat pergaulan bebas.
Peringatan Hari Ibu selayaknya menjadi refleksi kondisi perempuan di era modern bahwa perannya bukan sekadar memajukan ekonomi, tetapi bagaimana memajukan sebuah peradaban. Mendorong perempuan ke ranah publik atas dasar kemajuan ekonomi sejatinya sebuah malapetaka bagi generasi. Sebab, hari-hari mereka akan disibukkan dengan pencapaian materi sehingga lalai dengan perannya sebagai ibu dan pendidik generasi.
Memang benar, perempuan meninggalkan peran domestiknya dan berbondong-bondong terjun ke dunia kerja bukan tanpa alasan. Sebagian terpaksa karena impitan ekonomi, ada juga yang sekadar mengejar gengsi, dan pencapaian materi.
Maka, patutlah dikatakan bahwa sistem kapitalisme saat ini adalah biang kerok tersabotasenya peran ibu karena segala sesuatunya diukur dengan pencapaian materi. Belum lagi biaya hidup tinggi, kesehatan apatah lagi , jika pun ada yang terjangkau, sudah tentu kualitasnya tak sama dengan yang bayarannya mahal. Pun dengan pendidikan, ada harga ada kualitas. Maka wajar, jika sosok ibu dengan segala kasih sayangnya akan berusaha memenuhi kebutuhan keluarga meski mereka berada dalam cengkeraman eksploitasi.
Andai saja kebutuhan pokok hidup terpenuhi, niscaya peran ibu bisa kembali sesuai hakikat penciptaannya, yakni sebagai al-ummu rabbatul bait (pengatur rumah tangga), al-ummu madrasatul ula (ibu adalah sekolah pertama anak), dan ibu sebagai pencetak generasi rabbani, generasi harapan umat yang berhasil dalam dunianya, tetapi tetap teguh memegang syariat Islam.
Tengoklah, sosok ulama-ulama besar pada masanya tidak luput dari peranan seorang ibu. Ibunda Imam Syafii, contohnya. Meski memiliki keterbatasan materi, tetapi beliau berhasil membesarkan, mendidik, dan mencukupi kebutuhan hidup Imam Syafii kecil sehingga menjadi seorang ulama besar, yakni salah satu dari imam mazhab yang empat.
Islam sebagai sebuah tatanan kehidupan menempatkan perempuan di posisi yang terhormat. Islam memberdayakan perempuan tanpa menanggalkan kewajiban dan kehormatannya. Namun, hal itu tidak akan terwujud tanpa adanya sebuah institusi umat Islam, yaitu negara Islam yang menerapkan aturan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunah.
Trisna Abdillah
Bekasi [CM/NA]