CemerlangMedia.Com — Sertifikat tanah sangat penting dimiliki oleh seseorang yang mempunyai tanah. Sertifikat tanah adalah surat yang berupa bukti atas hak milik atas satuan rumah, tanah wakaf, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah.
Setelah lama menggunakan sertifikasi tanah secara konvensional, tersiar kabar mulai tahun 2021 Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) berencana menggelar program digitalisasi sertifikat tanah. Hal ini berarti akan terjadi peralihan dari sertifikat tanah secara konvensional menjadi sertifikat tanah secara elektronik.
Jika sertifikat tanah secara konvensional berbasis kertas, yakni berupa blanko yang isinya berlembar-lembar. Maka, sertifikat tanah elektronik menggunakan dokumen elektronik yang memungkinkan segala bentuk informasi diberikan secara padat dan ringkas. Oleh karena itu, sertifikat tanah elektronik ini memungkinkan terjadinya modus-modus kejahatan mafia tanah. Selain itu, masyarakat juga harus melakukan peralihan dari sertifikat tanah konvensional menjadi sertifikat tanah elektronik yang pastinya membutuhkan banyak waktu.
Mencuatnya sertifikat tanah elektronik ini dikarenakan adanya pelaksanaan program transformasi digital di administrasi pertanahan karena alasan penerbitan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik. Program ini digadang-gadang untuk melanjutkan proses digitalisasi administrasi sebelumnya.
Pada 2020 lalu, Kementerian ATR/BPN menerapkan tiga layanan konvensional menjadi layanan elektronik. Adapun tiga layanan tersebut, ialah Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), Pengecekan Sertifikat Tanah, dan informasi Zona Nilai Tanah (ZNT). Selain itu, sertifikat tanah elektronik ini muncul karena sebelumnya banyak permasalahan berkaitan dengan sengketa tanah.
Padahal, baik sertifikat tanah secara konvensional maupun secara elektronik, sengketa tanah akan terus terjadi. Jika ditinjau lebih lanjut, masih banyak masalah mendasar yang terlebih dahulu harus diselesaikan, seperti konflik lahan yang makin banyak terjadi dan rakyatlah yang menjadi korban.
Selain hal-hal di atas yang telah disebutkan, sebenarnya peralihan sertifikat tanah ini tidak terlepas dari sistem yang saat ini dianut, yakni sistem kapitalisme yang mendukung adanya pengalihan fungsi lahan. Semenjak pemimpin pertama Indonesia hingga pemimpin saat ini, sudah banyak wewenang yang diterapkan secara berbeda-beda. Akan tetapi, justru mengakibatkan rakyat kehilangan kepemilikan atas tanah mereka karena adanya perubahan, menyesuaikan dengan pemimpin yang sedang menjabat.
Berbanding terbalik dengan sistem Islam yang justru tidak mengenal tuan tanah, negara justru menjaga kepemilikan individu. Dalam Islam, kepemilikan tanah bersifat komunalistik religius yang berarti penguasa berada di tangan negara. Dengan demikian, tidak ada lagi sengketa tanah yang terjadi karena hak tanah di bawah naungan milik negara. Dari penjabaran di atas, maka sistem yang tepat untuk mengurusi hak tanah ini adalah sistem Islam yang lebih komprehensif dalam mengatur segala urusan.
Iin Nuryati
(Mahasiswi, Aktivis Dakwah) [CM/NA]