Oleh: Maman El Hakiem
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Pemimpin harus melayani dan memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan menyusahkan mereka. Menyusahkan dalam arti membuat rakyat bingung dan menambah beratnya beban penderitaan rakyat.
CemerlangMedia.Com — Bahasa politik dalam sistem sekuler adalah bahasa rekayasa kata-kata, banyak kata berubah makna ketika diucapkan seorang politikus. Oleh karena itu, tidak perlu membuka kamus bahasa untuk mencari makna atau maksud yang sebenarnya. Inilah politik analogi kata-kata dalam sistem sekuler sebagai sensasi yang tujuannya untuk mengalihkan perhatian publik.
Banyaknya kasus yang melibatkan para aktor kekuasaan. Sutradara politik memandang, perlu adanya adegan yang terkesan lucu, bahkan mungkin bodoh karena di luar dari nalar dan pola pikir seorang politikus atau negarawan sejati. Dalam hal ini, rakyat harusnya jangan mudah terpancing oleh retorika politik mereka. Pasalnya, mereka sengaja membuat gimik atau metafora dengan tujuan untuk menutupi segala aib politiknya.
Misalnya saja ketika metafora asam sulfat dan asam folat menjadi viral, maka nilai jual pemegang kata-kata itu makin naik daun. Hal yang sama ketika karakter fisik “gemoy” seorang calon presiden menjadi sorotan utama, secara tidak langsung akan makin memudahkan ia untuk dikenali publik sebagai objek yang menarik perhatian.
Metafora Politik
Dalam dunia politik, metafora sering kali digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang terselubung, tetapi bermakna mendalam. Seperti halnya yang baru-baru ini, tentang perbedaan pasir dan sedimen yang sebenarnya maknanya sama. Secara literasi, keduanya adalah hasil dari proses geologi yang panjang, tetapi masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Dalam konteks sindiran politik, perbedaan ini bisa mencerminkan berbagai fenomena dalam sistem kekuasaan dan masyarakat.
Sedimen adalah material yang terakumulasi dari berbagai partikel kecil, seperti debu, lumpur, atau material organik, yang mengendap di dasar perairan atau area lain yang tidak bergerak. Dalam politik, sedimen bisa disimbolkan sebagai kekuasaan atau sistem yang sudah lama mengendap dan tertanam. Ia terbentuk dari lapisan demi lapisan keputusan, kebijakan, serta intrik politik yang berkelanjutan.
Dalam sistem politik, sedimen mewakili para penguasa yang telah lama berada di puncak kekuasaan dan sulit digoyahkan. Mereka seperti sedimen yang mengendap di dasar, stabil, dan tidak mudah bergeser. Posisi mereka tampak kokoh, tetapi sebenarnya mereka sudah kehilangan dinamika dan inovasi. Seperti halnya sedimen yang bisa menyebabkan stagnasi aliran air, kekuasaan yang terlalu lama bertahan tanpa perubahan bisa memperlambat kemajuan suatu bangsa.
Sementara itu, pengertian pasir merupakan butiran-butiran kecil yang mudah berpindah atau tersapu oleh angin dan air. Secara metafora, pasir adalah simbol dari dinamika politik yang terus berubah dan bergerak. Pasir menggambarkan kaum muda, kelompok progresif, atau partai politik baru yang terus mengusik status quo. Mereka membawa ide-ide baru dan cenderung mengubah lanskap politik dengan cepat, tetapi belum tentu memiliki stabilitas jangka panjang.
Dalam perdebatan politik, kelompok “pasir” ini sering kali dianggap sebagai ancaman oleh “sedimen” yang sudah mapan. Mereka dituduh tidak memiliki pengalaman atau visi jangka panjang, seperti pasir yang mudah berpindah tempat. Namun, di balik itu, pasir juga membawa potensi perubahan dan pembaruan, hal yang sangat dibutuhkan dalam sistem politik yang stagnan.
Dalam dunia politik, benturan antara sedimen dan pasir kerap kali terjadi. Sedimen sebagai lambang kekuasaan yang stabil, tetapi stagnan, berusaha menjaga posisi dan status quo mereka. Di sisi lain, pasir sebagai simbol pergerakan dinamis dan perubahan, berusaha untuk menggeser atau menggoyahkan sistem yang dianggap sudah usang.
Ketika “pasir” mencoba memasuki wilayah “sedimen,” maka terjadilah gesekan yang bisa menimbulkan konflik. Di sini, kita bisa melihat sindiran bahwa sedimen, meskipun terlihat kuat, sebenarnya bisa terkikis secara perlahan oleh pergerakan pasir yang terus-menerus. Hal ini mencerminkan betapa kekuasaan yang stagnan pada akhirnya bisa runtuh jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Namun, ada juga sisi lain dari perumpamaan ini, ketika terlalu banyak pergerakan pasir tanpa arah yang jelas juga bisa menimbulkan ketidakstabilan. Jika pasir terus-menerus berubah tanpa ada penyatuan, sulit bagi sistem politik untuk membentuk landasan yang kuat. Oleh karena itu, keseimbangan antara sedimen dan pasir menjadi kunci dalam menciptakan sistem politik yang sehat.
Melalui metafora atau analogi kata-kata antara sedimen dan pasir, kita bisa melihat bagaimana dinamika kekuasaan dan perubahan sosial-politik terjadi. Sedimen melambangkan kekuatan yang mapan, tetapi rentan terhadap stagnasi. Sementara pasir merepresentasikan gerakan perubahan yang dinamis, tetapi sering kali tidak stabil. Dalam politik, keduanya saling bersaing dan saling melengkapi. Tanpa perubahan, kekuasaan bisa menjadi lumpuh, tetapi tanpa stabilitas, perubahan tidak akan menghasilkan kemajuan yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, sindiran politik berupa politik analogi atau metafora ini memberi pesan bahwa dalam dunia yang terus berubah, kekuasaan harus selalu siap beradaptasi. Sementara gerakan perubahan juga harus memahami bahwa stabilitas adalah fondasi dari setiap kemajuan.
Hanya saja, konsep perubahan dalam sistem demokrasi yang sekuler hanya bersifat parsial. Sebab, perubahan hanya pada para aktor politiknya dengan sutradara yang sama, yaitu oligarki yang selama ini selalu berperan di balik layar. Tidak akan terjadi perubahan secara sistemik karena alur cerita yang dibuat masih berupa rekayasa kata-kata dan janji manis yang menipu untuk kepentingan investor politik.
Perubahan Sistemik
Hal yang berbeda ketika yang diterapkan adalah sistem politik Islam yang aturan mainnya telah disiapkan dan ditetapkan oleh Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pengatur kehidupan ini. Sekalipun di dalam Al-Qur’an banyak juga bahasa metafora, tetapi bersumber dari dalil yang terjaga maknanya. Metafora yang dapat memberikan hikmah bagi kehidupan manusia yang secara fitrah merindukan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Di dalam sistem Islam, menjadi pemimpin adalah tanggung jawab besar, mengurus dan melindungi kepentingan rakyat secara umum. Bukan malah menjadi beban bagi rakyat dengan segala pungutan dan kebohongannya. Secara tegas, Rasulullah saw. di dalam sebuah hadisnya menyebutkan,
“Tidaklah seorang pemimpin yang mengurus urusan kaum muslimin kemudian ia mati dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Ahmad).
Hadis ini memberikan peringatan keras bagi pemimpin yang menipu atau berbuat zalim kepada rakyatnya. Pemimpin harus melayani dan memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan menyusahkan mereka. Menyusahkan dalam arti membuat rakyat bingung dan menambah beratnya beban penderitaan rakyat. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]