Oleh: Titin Kartini
(Marketing & Advertising CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — “Eh, Teh Titin, dari mana, Teh? Seneng liat Teh Titin pas ketawa,” ucapnya. Sepenggal kalimat yang sampai saat ini masih kuingat, bagaimana ketika pertama kali kita bertemu setelah aku hijrah. Lalu kujawab dengan candaan, “Hati-hati lo, Teh, nanti aku jadi darisah Teteh, aku buat ketawa terus lo, biar ngakak kita.” Ia pun hanya tersenyum. Qadarullah, dari candaan itu, Allah kabulkan beliau menjadi musrifahku, Masyaallah.
Namanya Cucu Suwarsih, wanita yang sangat sederhana, murah senyum, pendiam, tetapi pintar luar biasa. Sepak terjang beliau dalam dakwah membuat kita semua iri, selalu bersemangat dan tak pernah menolak amanah apa pun dalam dakwah. Kehadirannya selalu kami tunggu dalam setiap agenda rutin. Ah, rasanya tak lengkap kalau tak ada Teteh. Untukku, pribadi beliau bukan saja guru, tetapi juga sahabat. Duduk melingkar kurang lebih satu tahun bersamanya, mendengarkan ia menjelaskan kitab yang sedang kita kaji, ia juga musrifah yang rajin berkunjung kepada setiap darisahnya untuk mutaba’ah. Aku yang pecicilan dan senang bercanda tak jarang kubuat ia tertawa lepas jika sedang mutaba’ah. Ia pun tertawa mendengar semua ocehanku.
Teteh, begitu aku memanggilnya, aku bisa menulis pun ialah orang pertama yang mengajarkanku. Berawal dari tugas yang diberikan Ustazah Yustina untuk kelompok privat kami, yaitu merangkum satu topik dari majalah Al Wa’ie, dari situ terpilihlah dua orang, salah satunya adalah aku. Teteh terus memberikan motivasi karena beliau sendiri memang sudah terjun dalam dakwah literasi. Aku sempat putus asa karena lebih dari sepuluh opiniku tak ada yang tayang. Sampai pada akhirnya, satu opini tayang di media sosial Instagram Wadah Aspirasi Muslimah. Beliau yang memberitahu karena jujur aku gaptek, masyaallah senangnya tak terkira.
Teteh pun membuat blog pribadi yang berisi tulisan beliau dan teman-teman, tetapi sayang, blog itu syahid karena dianggap ada satu tulisan terkeras dan itu adalah tulisanku. Akhirnya aku membuka sendiri blog pribadi, lagi-lagi syahid karena tulisan Teteh yang terlalu keras. Akhirnya kita tertawa berdua, lucunya media eksternal. Merasa diri ini kurang ilmu kepenulisan, aku ikut kelas Writing Class With Has atau WCWH, selain mendiang suami dan kakak Tiara, beliau pun mendukung semua kegiatanku sampai bisa selancar ini dalam dakwah literasi.
Kami kerap berbagi informasi, ada nulis bareng atau nubar kita selalu ikut sehingga ada beberapa antologi nubar bareng Teteh dari berbagai genre. Karena ada pergantian musrifah, aku pun berpisah dengannya, tetapi kita masih terus berkomunikasi walau tak seintens saat beliau menjadi musrifahku karena kami punya kesibukan masing-masing yang memang padat merayap. Setahun ini aku sering mendengar kabar beliau sakit, tetapi wanita sederhana ini tak pernah mau merepotkan orang lain, kabar itu aku dengar dari adiknya yang memang satu kelompok privat denganku. Wajahnya masih saja memperlihatkan kecerahan seakan tak pernah ada penyakit yang sedang ia derita. Terakhir aku mendapat tugas darinya saat kami menjadi panitia jalasah munah, ia menugaskanku menjadi seksi peralatan dan aku masih ingat isi chatnya, “Teh Titin, nanti tolong bawakan sapu yang di depan rumah saya karena saya berangkat jam tujuh,” begitu isi pesannya. Aku pun meluncur ke rumah beliau dan seperangkat alat kebersihan telah disiapkan.
Namun, terakhir bertemu dengan beliau saat ada agenda khusus, kulihat ia hanya bersandar dengan wajah yang sudah terlihat pucat tak banyak bicara, senyum pun tak aku lihat, seperti sedang merasakan sesuatu. Aku bertanya pada adiknya yang duduk sebelahku, “Teh Cucu, apakah masih sakit, Teh Milah?” tanyaku. Lantas adiknya pun menjawab, “Iya, Teh, kepalanya sakit, katanya.” Lalu aku pun bilang, “Kenapa tidak istirahat saja di rumah?” Adiknya menjawab kembali, “Susah, Teh, tahu sendiri, dia gak mau membuat orang khawatir, selama masih bisa berjalan dia gak akan mengeluh sakit,” jelas sang adik.
Masyaallah, Teteh, begitulah dirimu, tak mau merepotkan dan dikhawatirkan semua orang. Saat pulang kau tersenyum, kami berjabat tangan, aku merasakan hangat sekali tangannya. Aku pun berkata, “Teteh, sehat ya.” Ia pun menjawab, “Aamiin, Teh, insyaallah.” Tak terbayangkan, itulah terakhir aku bertegur sapa denganmu, melihat tawamu, Teteh.
Jumat sore, Teh Milah memberi kabar bahwa ia di rumah sakit, Teh Cucu tak sadarkan diri, dokter menyatakan koma. Spontan air mata ini mengucur. Aku terus berkomunikasi dengan adiknya, sore selepas mengantar anak-anak mengaji, aku dan dua sahabatku meluncur untuk menjenguknya. Karena Teteh berada di ruang ICU, jadi tak boleh dijenguk terlalu banyak. Namun, Alhamdulillah, aku berkesempatan melihat wajahnya meski beberapa langkah sebelum perawat mengusir kami. Ternyata banyak para sahabat yang sudah menjenguknya sehingga jatah untuk penjengukan sudah habis. Kami para sahabat terus bertukar kabar melalui adiknya dan Sabtu pagi, jantungnya makin melemah sehingga keluarga pun sudah diberitahu oleh dokter untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi sesuatu.
Kabar itu pun sampai kepada kami, tentu saja doa-doa pun mengalir untuk Teteh. Siang hari, kondisi Teteh makin melemah. Saat itu aku berada di kampus, tak terasa bulir bening terus mengalir. Perasaanku campur aduk saat perjalanan pulang mengendarai motor. Berharap ada keajaiban yang Allah beri tuk kesembuhan Teteh. Karena harus menjemput dua penguat jiwa yang kutitipkan pada paman dan bibi, aku tak bisa langsung pulang. Maka ada beberapa panggilan telepon yang tak bisa kuangkat dan chat yang bertumpuk. Sampai di rumah paman, aku check handphoneku, innalilahi wa innailaihi rajiiun, pecah tangisku sehingga paman dan anak-anak bertanya. Anak-anak kaget karena mereka pun dekat dengan Teteh.
Azan Magrib berkumandang ketika aku sampai di rumah. Aku terus bertukar kabar dengan para sahabat, apakah jenazah Teteh sudah sampai rumah. Ba’da Magrib jenazah teteh baru sampai, aku pun terus meluncur menuju rumah beliau. Gang kecil itu telah ramai oleh sanak keluarganya, para sahabat kami saling berpelukan, menangis seakan tak percaya kalau Teteh sudah tiada. Yaa Allah, wajah tenang itu, perempuan salihah yang selalu mempermudah urusan saudaranya, yang selalu menebar senyuman ramahnya, kini telah tiada. Kami sayang Teteh, teramat sayang, tetapi Allah lebih sayang Teteh. Dicukupkan tugasmu di dunia ini dalam perjuangan agama-Nya, sekarang Teteh sudah tidak sakit lagi insyaallah, Teteh husnul khatimah, aamiin ya rabbal ‘aalamiin.
Teteh, kami ikhlas atas kepergianmu walau jujur kami masih terasa sesak. Teteh sungguh aku, kami, kita semua keluarga, para sahabat yang mengenalmu sungguh iri padamu. Begitu indah cara Allah memanggilmu. Dimudahkan segalanya dan engkau goreskan kenangan indah untukku, keluargamu, terlebih para sahabatmu baik di dunia nyata maupun dunia maya. Selamat jalan Teteh! Cari aku ya, Teh, di akhirat kelak, katakan pada-Nya bahwa kita pernah duduk melingkar dalam majelis ilmu. Cucu Suwarsih, namamu akan selalu indah dalam kenangan kami. [CM/NA]