Cinta dalam Bingkai Rida-Nya

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Rini Sulistiawati

CemerlangMedia.Com — Di sudut kecil sebuah desa, tinggal seorang remaja laki-laki bernama Fandi. Ia adalah siswa kelas dua SMA yang dikenal cerdas dan santun. Sejak kecil, Fandi dibesarkan oleh ibunya, seorang wanita salihah yang senantiasa menjaga anaknya agar tumbuh sesuai nilai-nilai Islam.

“Fandi, hidup ini penuh ujian. Jangan pernah mendekati sesuatu yang dilarang Allah, termasuk zina. Ingat firman Allah dalam Al-Qur’an, ‘Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk’ (QS Al-Isra: 32). Ingatlah pesan ibu ini, Nak,” nasihat sang ibu suatu malam.

Fandi mengangguk, meski di dalam hatinya ia merasa ada dorongan untuk melawan rasa ingin tahunya tentang cinta. Sebagai remaja, ia sering mendengar cerita teman-temannya tentang asmara, tetapi ia selalu menahan diri, setidaknya hingga suatu hari.

Perjalanan cinta terlarang itu dimulai ketika Fandi iseng membuka aplikasi media sosial. Di sana ia menemukan akun seorang gadis bernama Nisa, seorang siswi kelas satu SMA dari sekolah lain. Foto-fotonya yang sederhana, dipadukan dengan unggahan penuh makna, membuat Fandi tertarik untuk mengirim pesan.

“Assalamu’alaikum. Salam kenal. Aku Fandi.”

Pesan itu dibalas oleh Nisa dengan penuh keramahan. Percakapan pun mengalir dengan mudah. Awalnya mereka berbicara tentang sekolah, mimpi-mimpi masa depan, dan cita-cita. Namun, makin hari, obrolan itu berubah menjadi lebih personal.

Fandi mulai merasa ada sesuatu yang tumbuh dalam hatinya, sebuah rasa yang sulit ia abaikan. Ia tahu apa yang dilakukannya salah. Bukankah ibunya selalu berkata bahwa hubungan seperti ini bisa membawa pada dosa? Tetapi, rasa itu terlalu kuat untuk dilawan.

Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Fandi dan Nisa makin terjalin erat. Meski hanya melalui layar ponsel, mereka saling bertukar perhatian, saling menguatkan, dan akhirnya saling mengucapkan kata-kata cinta.

“Aku tahu ini salah,” ujar Fandi suatu kali kepada Nisa. “Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”

Nisa terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku juga, Fandi. Tapi, apa yang harus kita lakukan? Aku ingin hubungan ini tetap berjalan, meski aku tahu ini tidak benar.”

Keduanya tahu bahwa mereka telah melanggar batas. Namun, mereka memilih untuk terus melangkah, menutup mata dari dosa yang mengintai.

Hingga suatu hari, Fandi mengusulkan untuk bertemu langsung. “Aku ingin melihatmu, Nisa. Hanya sebentar saja. Aku janji, kita tidak akan melakukan hal yang salah,” katanya dengan nada meyakinkan.

Nisa awalnya ragu, tetapi akhirnya setuju. Mereka bertemu di sebuah tempat sewa kos yang bisa dibayar per jam, sebuah pilihan yang keliru. Di sana tanpa sadar, mereka melewati batas yang seharusnya dijaga.

Usai pertemuan itu, rasa bersalah menghantui keduanya. Fandi tidak bisa tidur, teringat pesan ibunya yang selalu menekankan pentingnya menjaga diri dari dosa. Namun, penyesalan itu terlambat datang.

Tidak lama setelah kejadian itu, Ibu Fandi tanpa sengaja menemukan pesan-pesan yang mencurigakan di ponselnya. Nalurinya sebagai seorang ibu langsung menangkap ada sesuatu yang salah.

Ibunya menatap Fandi dengan tatapan tajam sambil menunjukkan layar ponselnya dan berkata, “Fandi, apa arti semua ini?”

Ketika ibunya menunjukkan pesan-pesan yang mencurigakan di layar ponsel milik Fandi, hati Fandi terasa remuk. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Dadanya terasa sesak seolah ribuan beban mengimpit. Ia mencoba berbicara, tetapi lidahnya kelu. Wajah ibunya yang penuh kekecewaan membuatnya tidak sanggup menatap langsung.

“Ibu…” suaranya bergetar hampir tidak terdengar. Ia menunduk, kedua tangannya mengepal erat, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di sudut matanya. Namun, perlahan air mata itu jatuh satu per satu membasahi pipinya yang memerah.

“Ibu, maafkan aku…” katanya dengan suara bergetar penuh kepedihan, seperti anak kecil yang kebingungan. “Aku sadar telah membuat kesalahan besar. Aku tahu ini tidak benar. Namun, aku merasa tidak cukup kuat untuk menahan dorongan itu.”

Kata-katanya terhenti oleh isakan yang tertahan. Tubuhnya gemetar. Ia memegang kedua tangan ibunya yang dingin dan terkulai di pangkuan. “Aku telah mengecewakan Ibu. Aku mengabaikan semua nasihat Ibu. Maafkan aku… Maafkan aku, Ibu.”

Sang ibu hanya terdiam, matanya mulai basah oleh air mata. Namun, ekspresinya tetap kokoh dan penuh ketegaran. Fandi terus menangis membasahi tangan ibunya dengan air mata. Di dalam hatinya, rasa bersalah menyayat lebih tajam dari belati.

Ingin rasanya waktu berputar kembali, ingin menghapus semua kesalahan yang telah diperbuat. Akan tetapi ia tahu, penyesalan itu tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi.

“Ibu… bantulah aku, tunjukkan jalan yang benar untukku,” katanya dengan suara serak. Dalam isaknya, ada tekad yang perlahan tumbuh, sebuah keinginan untuk memperbaiki diri untuk tidak lagi melukai hati ibunya yang begitu ia cintai.

Mendengar pengakuan itu, sang ibu merasa hatinya hancur. Namun, sebagai seorang ibu, ia tahu bahwa tugasnya bukan hanya memarahi, melainkan juga membimbing anaknya kembali ke jalan yang benar.

Setelah berdiskusi dengan keluarga Nisa, sang ibu memutuskan untuk menikahkan mereka. “Fandi, apa yang telah kamu perbuat tidak dapat diubah lagi.”Namun dalam Islam, pernikahan adalah cara yang halal dan diridai Allah untuk menjaga kehormatan. Rasulullah bersabda, ‘Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kehormatan’ (HR Bukhari dan Muslim).”

Fandi dan Nisa menerima keputusan itu dengan hati berat. Namun, mereka tahu bahwa ini adalah jalan terbaik.

Usai menyelesaikan pendidikan SMA, Fandi dan Nisa resmi menikah. Meskipun usia mereka masih muda, keduanya bertekad untuk menjalani kehidupan pernikahan dengan penuh tanggung jawab. Pernikahan itu bukan hanya menjadi awal yang baru, tetapi juga menjadi pelajaran berharga bagi keduanya tentang pentingnya menjaga batas dalam hubungan. Dalam pernikahan mereka, Fandi dan Nisa berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Mereka mulai mempelajari Islam lebih dalam, berusaha menebus kesalahan masa lalu dengan amal kebaikan.

Fandi sering merenung tentang perjalanan hidupnya. Ia menyadari bahwa cinta yang diridai Allah jauh lebih indah daripada cinta yang dikejar dengan cara yang salah. “Cinta bukan tentang mengikuti hawa nafsu,” katanya kepada Nisa suatu hari. “Cinta sejati adalah ketika kita saling membawa kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.”

Pernikahan dini mereka menjadi bukti bahwa Allah selalu memberikan jalan keluar bagi hamba-Nya yang bertobat. Mereka pun berkomitmen untuk mendidik anak-anak mereka kelak agar tumbuh dengan pemahaman agama yang kuat sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Fandi menyadari bahwa cinta tanpa batasan agama hanya akan membawa penyesalan. Sebaliknya, cinta yang halal dalam bingkai pernikahan akan membawa berkah dan kebahagiaan.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS Ar-Rum: 21).

Pernikahan Fandi dan Nisa menjadi awal perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan, tetapi juga dipenuhi dengan pelajaran berharga. Meski usia mereka masih muda, mereka perlahan belajar untuk saling mendukung, memaafkan, dan tumbuh bersama dalam rida Allah.

Tahun demi tahun berlalu, rumah tangga mereka mulai menunjukkan kematangan. Fandi bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sementara Nisa menjadi pendamping yang setia, menjalankan perannya sebagai istri dan ibu dengan penuh kasih sayang.

Kehadiran seorang anak laki-laki, yang mereka beri nama Ammar makin mempererat ikatan cinta mereka. Dalam mata kecil Ammar, Fandi melihat harapan baru, sebuah kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai yang pernah ia abaikan.

“Ini adalah kesempatan kita untuk memperbaiki masa lalu,” ujar Fandi suatu malam sambil menimang Ammar di pelukannya. Ia menoleh ke arah Nisa yang tersenyum lembut sambil menyiapkan makan malam sederhana. “Semoga Ammar dapat tumbuh dengan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya menjaga kehormatan dan kesetiaan kepada Allah.”

Nisa mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Aku pun begitu, Fandi. Aku tidak ingin dia mengulangi kesalahan kita. Kita harus menjadi contoh baginya, menunjukkan bahwa cinta yang dilandasi keimanan akan membawa kebahagiaan sejati.”

Setiap malam, mereka berdua saling berdoa, meminta ampunan atas dosa masa lalu dan memohon kekuatan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Rumah kecil mereka mungkin tidak mewah, tetapi di dalamnya selalu ada tawa Ammar yang menghangatkan hati, doa-doa yang dipanjatkan bersama, dan kasih sayang yang kian mendalam.

Hidup mereka tidak selalu mulus. Ada hari-hari penuh ujian ketika ekonomi menekan atau rasa lelah menyapa. Namun, dalam setiap rintangan, mereka menemukan penghiburan dalam cinta yang diridai Allah. Mereka saling mengingatkan bahwa perjalanan ini adalah bagian dari cara Allah mendidik mereka menjadi lebih baik.

“Allah telah menunjukkan jalan-Nya kepada kita,” kata Fandi suatu hari ketika mereka duduk berdua di teras rumah setelah salat Maghrib. “Kita tidak sempurna, Nisa. Akan tetapi aku bersyukur, Allah memberi kita kesempatan untuk memperbaiki diri. Bersamamu, aku merasa lengkap.”

Nisa tersenyum sambil menggenggam tangan suaminya. “Aku pun bersyukur, Fandi. Bersama kita belajar, bersama kita bertumbuh. “Inilah cinta sejati, cinta yang terjalin dalam bingkai keridaan-Nya.”

Dalam kehangatan malam itu, di bawah langit penuh bintang, Fandi dan Nisa menyadari satu hal, meski perjalanan mereka dimulai dengan kesalahan, Allah selalu membuka pintu tobat bagi hamba-Nya yang ingin kembali. Sekarang cinta mereka adalah cinta yang membawa mereka lebih dekat kepada-Nya, cinta yang memberikan keberkahan dalam setiap langkah hidup mereka.

Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa menjaga diri dari yang diharamkan adalah bentuk ketaatan kepada Allah. Sebab pada akhirnya, cinta yang diridai-Nya akan membawa ketenangan dan keberkahan dalam hidup. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *