Oleh: Rina Herlina
(Kontributor TetapCemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Anita memandang sendu tubuh ibunya yang makin kurus. Wajah itu kini tak lagi menampakkan keceriaan seperti dahulu. Hanya wajah lelah dan keriput yang kian kentara. Sembilan tahun sudah Anita pergi meninggalkan kampung halaman. Meninggalkan berjuta kenangan serta wajah sendu ibunya kala melepas ia pergi dahulu.
Ibu yang begitu dikasihinya, yang selalu sabar menghadapi tingkah polah Anita sedari kecil hingga beranjak dewasa. Kenakalan Anita dahulu seringkali membuat ayahnya murka. Kalau sudah begitu, ibunyalah yang selalu menjadi penengah pertengkaran Anita dan ayahnya.
Sungguh, jika mengingat perilakunya kala itu, Anita begitu sedih. Seringkali Anita membuat ibunya menangis. Anita menyesal karena sering membuat hati ibunya terluka. Padahal saat Anita kecil, ibunya ikut membanting tulang mencari nafkah agar Anita dan adiknya kala itu bisa tetap makan enak dan membawa uang jajan saat pergi ke sekolah.
Ibunya rela keliling kampung berjualan gorengan sambil menggendong adiknya yang nomor dua. Betapa Anita tahu pengorbanan ibunya kala itu, yang selalu bangun lebih awal demi menyiapkan dagangan.
Baru sekarang Anita memahami sulitnya menjadi seorang ibu, setelah dirinya sendiri menjadi seorang ibu. Betapa tidak mudah. Anita merasakan sakit di hatinya saat anak-anaknya sulit diatur dan sulit diarahkan. Barulah Anita teringat ibunya, dia menyadari bahwa apa yang dialaminya kini adalah hal yang sama dengan yang dialami ibunya dahulu.
Bahkan hingga usia senjanya, ibu masih belum bahagia. Kami sebagai anak-anaknya belum mampu membahagiakannya. Belum lagi sikap bapak yang keras dan egois menjadi makanan ibu sehari-hari.
“Bu, kenapa gak pergi saja tinggalin Bapak? Kenapa Ibu masih bertahan sampai sekarang? Kami sekarang sudah besar, Ibu berhak bahagia,” pinta Anita di telepon kala itu.
Anita makin sedih saat tau hingga saat ini ibunya masih harus menderita. Anita tidak habis pikir, kenapa ibunya masih mau bertahan menghadapi perangai bapak yang tidak pernah berubah dari dahulu.
“Terbuat dari apa hatimu, Bu?” Anita bergumam menahan kesedihannya.
Anita banyak belajar tentang hakikat sebuah kesabaran yang tiada berbatas dari sosok ibunya. Terlebih saat menghadapi anaknya yang mulai beranjak dewasa. Anita paham betul bahwa ia mesti memiliki kesabaran seperti ibunya.
Anita tak pernah lupa memanjatkan doa untuk kebahagiaan ibunya dan untuk bapaknya, Anita pun berdoa semoga Allah melembutkan hatinya agar bapaknya melihat semua pengorbanan ibunya dari dahulu hingga sekarang. Anita juga tak lupa meminta kepada Allah agar dirinya memiliki hati yang lembut dan penuh kasih seperti ibunya.
Anita yakin, kelak ibunya akan merangkul kebahagiannya sendiri, meskipun ibunya harus berdarah-darah dalam menyongsong kebahagiaannya. Anita sangat yakin akan hal itu, Anita tahu betul bahwa Allah senantiasa bersama orang yang sabar. [CM/NA]