Oleh. Noor Azizah
“Sesungguhnya kewajiban mencari nafkah itu berada di pundak laki-laki, kecuali jika ia tidak memiliki kemampuan, seperti sakit atau lumpuh dan lain sebagainya.”
CemerlangMedia.Com — Sudah belasan tahun menikah, tak sekalipun Dito menafkahi Dita, istrinya. Dito beralasan bahwa Dita mampu mencari uang sendiri. Selama ini, Dita memang bekerja, karena ia tidak tahan dengan suaminya yang hanya ongkang-ongkang kaki di rumah, sementara mereka memiliki 8 buah hati yang harus diberi nafkah.
Dita pun memilih kursus terapi bekam dan refleksi, dengan berbekal ilmunya itu ia bisa memiliki penghasilan setiap hari untuk menafkahi keluarganya. Sementara Dito hanya sibuk main gadget, laptop, entah apa yang dicari.
“Yah, sekali-kali kasih Bunda uang donk, untuk belanja!” Dita memberanikan diri meminta nafkah kepada sang suami.
“Kamu kan bisa cari uang, ngapain aku kasih.” Jawaban yang secara sadar membuat Dita sakit hati. Dito pelit, begitu menurut penilaian Dita. Saat keluarganya yang meminta uang, dengan bersegera akan Dito carikan. Namun tidak dengan istrinya yang telah menyerahkan separuh hidupnya, menjadi istri, sekaligus ibu sambung bagi ke enam anak Dito dari istri pertamanya.
Begitu pula saat Dito di PHK, ia memilih tidak mencari kerja. Sementara Dita siang malam menawarkan jasanya kepada orang lain. Meski begitu, usaha dan kerja keras Dita tidak pernah dihargai, termasuk oleh keluarga besar Dito.
“Rumah ini sebaiknya dijual saja, kita hidup di kampung, nanti uang hasil penjualannya untuk melunasi ke bank, dan sisanya bisa untuk usaha,” Dito memulai obrolannya. Dita bergeming. Rumah ini milik peninggalan istri Dito untuk anak-anaknya, jadi Dita merasa tidak punya hak untuk berpendapat.
“Bunda, bantu carikan yang mau membelinya, ya,” pinta Dito, dan diiyakan Dita dengan anggukkan kepala. Dita juga sudah bosan tinggal di kota, ia ingin hidup di kampungnya, di mana harga-harga lebih murah. Biaya hidup juga lebih murah.
Dita menawarkan rumahnya kepada beberapa orang temannya. Namun belum ada yang bersedia membeli. Apalagi rumah over kredit, rerata pada takut berurusan dengan riba. Kecuali Dito mau melunasinya dulu kepada pihak bank.
“Mbak, saya pinjam uang bisa? Nanti sertifikat rumah ini bisa sebagai jaminannya.” Dita menawarkan rumahnya kepada Nur, tetangga beda blok dengannya. “Tapi uangnya saya pinjam untuk melunasi tunggakan di bank,” tambah Dita lagi.
“Tapi saya tidak punya uang cash, adanya perhiasan, kalau Dita setuju, silakan pinjam berupa emas, nanti dikembalikan berupa emas juga, biar sama-sama enak. Dita tidak perlu memberikan jaminan sertifikat, kita pakai hitam di atas putih saja,” Nur memberikan keputusan, jika Dita bersedia, akan segera dibuat surat perjanjian utang piutang. Dita setuju, karena dengan begitu tidak ada yang merasa dizalimi.
Tahun berlalu, tapi utang kepada Nur belum bisa dibayar oleh Dita. Ia sudah membicarakan dengan Dito, tapi laki-laki itu tidak menghiraukannya. Bahkan surat perjanjian tersebut ia tempel di lemari kamarnya, agar setiap saat bisa dilihat Dito.
“Utang ini sudah semakin banyak lho! Kamu bandingkan saja harga emas sekarang dengan harga emas waktu dipinjam.” Dito berucap sambil memandangi surat perjanjian bermaterai tersebut.
“Ayah bantulah Bunda, dulu kan kita pinjam bersama untuk melunasi rumah ini, harusnya Ayah bisa bayar setelah rumah ini lunas. Masa sekarang, Bunda disuruh bayar sendiri. Sementara biaya hidup sehari-hari juga Bunda yang membiayai.” Dita tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Selama ini ia hanya diam tidak diberi nafkah, walau sebenarnya hatinya berontak, ingin diperlakukan layaknya para istri di luar sana. Dita tidak muluk-muluk, hanya ingin diberi nafkah, tidak perlu banyak, yang penting Dito bertanggung jawab atasnya.
Keinginan Dita hanya sebatas impian. Nyatanya Dito tidak kunjung memberi nafkah, hingga ia mendapat kabar seorang janin sedang berada di rahimnya. “Ya Allah, bukan aku tak rida dengan pemberian-Mu, kuatkan hamba-Mu, agar selalu ingat akan rezeki-Mu yang tidak berbatas.” Monolog Dita. [CM/NA]