Oleh: Maman El Hakiem
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Peristiwanya terjadi pada Rabu (29-11-2023) di Jalan Raya Cirebon—Bandung, tepatnya di depan sebuah pabrik beton di Majalengka.
Saya, seorang ayah yang setia menjemput anaknya pulang sekolah setiap hari dengan berkendara motor, tiba-tiba terjebak dalam kemacetan yang tak terduga. Kendaraan mengular sampai lima kilometer. Alasannya? Sebuah aksi buruh tengah berlangsung di jalan utama, rombongan aksi yang berkendara motor berhenti di tengah jalan untuk turun dan “menggedor” salah satu pabrik beton yang kabarnya tidak menyertakan pekerjanya untuk turun ke jalan bersama aliansi serikat buruh lainnya.
Cuaca terik pada siang hari itu, padahal pagi harinya, mendung menggelayuti langit di seputaran Majalengka. Terasa sangat gerah berada di tengah kerumunan para buruh peserta aksi yang bercampur dengan para pengguna jalan lainnya yang kebetulan melewati jalan tersebut. Motor matic yang saya kendarai terhenti, tak mampu bergerak karena terhalang ratusan motor dan mobil yang berhenti di depannya. Mencoba mencari celah, tetapi masih susah, keadaannya seakan terjepit.
Menuntut Kenaikan Upah
Hampir selama dua jam, kemacetan terjadi karena seluruh badan jalan dipergunakan para buruh. Peserta aksi menyisir setiap buruh yang ada pabrik-pabrik untuk keluar dan mengikuti aksi turun ke jalan. Seperti dilaporkan oleh media PikiranRakyat.Com (29-11-2023), pada hari itu, setidaknya ada dua perusahaan, yaitu PT PGA di Desa Beusi, Kecamatan Ligung serta PT Delta di Kecamatan Sumberjaya sempat rusak karena diduga didobrak. Ada pun aksi para buruh tersebut tujuannya tidak lain adalah menuntut kenaikan upah yang dinilainya masih rendah. Menurut sumber berita, mereka menuntut kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Majalengka dari Rp2,1 juta menjadi Rp2,5 juta.
Namun, yang perlu disesalkan, aksi dari ribuan buruh tersebut telah mengganggu ketertiban umum, terutama pengguna jalan raya sehingga terjadi kemacetan yang teramat parah. Dalam keadaan tersebut, sebagai ayah, saya merasa perlu memberikan penjelasan kepada anak perempuan saya yang merasa heran dan bertanya-tanya karena menyaksikan kejadian tersebut. Akhirnya, ini menjadi kesempatan saya untuk menjelaskan tentang hak-hak pekerja dan pentingnya perjuangan untuk mencari rasa keadilan.
Meskipun terlambat tiba di rumah, saya telah menjadikan pengalaman di jalan tersebut sebagai kesempatan untuk berbicara tentang perkara politik mengenai nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan hak-hak pekerja, tetapi dengan memberikan sedikit catatan untuk anak saya tentang bagaimana seharusnya menjaga hak-hak pengguna jalanan umum.
Nafisa, anak perempuan saya —usianya jelang 13 tahun— semula kecewa karena harus menunggu lebih lama dari biasanya, tetapi setelah dijelaskan duduk masalahnya, ia mulai memahami bahwa terdapat isu-isu sosial yang penting untuk diperjuangkan.
Saya menceritakan bagaimana perubahan-perubahan positif dalam masyarakat seringkali memerlukan perjuangan dan solidaritas, termasuk aksi menyampaikan pendapat di muka umum. Hanya saja, yang harus diperhatikan adalah etika ketika menggunakan fasilitas umum agar tidak mengganggu kepentingan banyak orang yang boleh jadi lebih urgen. Seperti ada mobil ambulans yang tersendat, padahal harusnya menjadi prioritas untuk terus melaju tanpa gangguan.
Meskipun kehadiran kami di rumah terlambat, hubungan antara ayah dan anak makin erat karena momen itu. Anak yang semula hanya melihat dunianya dari perspektif sekolah dan rumah, kini mendapat wawasan yang lebih luas tentang perjuangan dan kepentingan bersama.
Bagaimana memahamkan anak tentang sebuah peristiwa yang mungkin baru pertama dialami atau disaksikan menjadi informasi awal yang harus diperhatikan nilai kebenarannya. Tujuannya agar kelak ia bisa berpikir secara rasional terhadap peristiwa serupa yang mungkin terulang di lain waktu dan tempat yang berbeda.
Di balik setiap peristiwa adalah objek sebuah fakta yang kalau dicermati dan akan menjadi sebuah pelajaran yang sangat berarti untuk bisa berpikir secara politis, artinya mengaitkan sebuah peristiwa yang satu dengan peristiwa lainnya dengan sebuah aturan yang dijalankan. Mereka yang terbiasa berpikir politis akan mampu menangkap inti permasalahan dari sebuah peristiwa untuk dicarikan solusinya.
Hanya saja, solusi tersebut tergantung dari sudut pandang kehidupannya yang banyak dipengaruhi oleh asas berpikirnya. Jika asas berpikirnya sekularisme, sudah pasti solusinya adalah aturan sekuler, sedangkan jika asas berpikirnya akidah Islam, maka akan didapatkan solusi Islam yang sudah pasti merujuk kepada dalil-dalil yang pasti bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah Nabi saw..
Solusi Islam
Dengan cerita ini, keluarga saya tidak hanya mengalami kisah tentang kemacetan dan aksi buruh, tetapi juga menjadi bagian dari perjalanan pendidikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari keluarga saya.
Dan yang teramat penting juga, anak harus juga dipahamkan bagaimana solusi Islam dalam mengatasi permasalahan sosial, seperti aksi buruh tersebut. Tentunya dengan pemahaman yang sederhana dan mudah dimengerti bahwa syariat Islam memandang persoalan buruh sebenarnya tidaklah rumit jika negara menerapkan aturan Islam secara kafah.
Dalam hal ini, akad buruh atau tenaga kerja dengan perusahaan adalah akad ijarah yang harus memenuhi rukun-rukunnya, yaitu adanya al-‘aqidani (dua pihak yang berakad), yakni yang menyewa (musta`jir) dan yang disewa atau yang dipekerjakan (muajjir atau ajiir). Kemudian, al-ma’qud ‘alaihi (objek akad), yaitu manfaat dan upah. Sementara shighat, yaitu apa saja yang menunjukkan ijab dan kabul, perkataan maupun perbuatan yang mengikat sehingga kedua belah pihak bisa saling rida.
Berkenaan dengan objek akad tentu, harus berupa pekerjaan yang dihalalkan secara syariat karena haram hukumnya bekerja pada perusahaan, semisal yang memproduksi khamar atau minuman keras dan transaksi ribawi. Adapun mengenai besarnya upah, harus disepakati secara jelas nilai nominalnya di awal, di antara dua belah pihak agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari. Sebabnya, akad ijarah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jual beli yang menuntut keridaan kedua belah pihak.
Oleh karena itu, persoalan upah harus tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. Ada pun berkenaan dengan permasalahan kesejahteraan buruh harus dipisahkan dari persoalan akad ijarah tersebut karena hal itu menjadi tanggung jawab negara sebagai pelayan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya untuk kepentingan para buruh, melainkan juga untuk seluruh rakyat. Hal ini disebabkan karena fungsi negara adalah sebagai pelayan dalam mengatur kesejahteraan rakyatnya secara umum, termasuk buruh di dalamnya.
Di dalam konteks negara yang menerapkan syariat Islam, fungsi negara adalah mengemban amanah rakyat untuk menjalankan syariat Islam secara kafah dengan cara meriayah atau mengurusi kesejahteraan rakyatnya, menyangkut terjaminnya kebutuhan pokok yang mendasar (hajatul asasiyah) berupa kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Negara juga akan memberikan pelayanan gratis terhadap apa yang menjadi kebutuhan rakyat secara kolektif (hajatul ijtimaiyah), semisal pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Adapun permasalahan yang berkaitan dengan adanya aksi buruh yang marak pada sistem kapitalisme, pada intinya menuntut kenaikan upah. Nah, dalam negara dengan aturan Islam, hal seperti itu tidak perlu terjadi karena syariat Islam akan menyerahkan upah sesuai akad ijarahnya masing-masing antara kedua belah pihak yang berakad (perusahaan dan pekerja).
Ketika perusahaan melanggar akadnya, selain bisa dilaporkan atau diadukan kepada pengadilan, negara pun memiliki kewenangan untuk menyampaikan peringatan Allah Swt. sebagai bentuk tanggung jawabnya menyampaikan hukum syarak. Di dalam hadis qudsi dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meriwayatkan bahwa Allah Swt. berfirman yang artinya:
“Terdapat (ada) tiga orang yang akan menjadi musuh Allah pada hari kiamat,… orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, tetapi dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442).
Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]