Oleh: Sisty Aulia
(Siswi SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan)
CemerlangMedia.Com — Dia Luna, dipaksa menjadi anak yang pintar dalam mengejar prestasinya. Ia dituntut oleh keluarganya menjadi orang yang disiplin dan rajin. Namun, paksaan itu membuatnya terkurung dalam bayangan kerasnya kehidupan hingga akhirnya ia memutuskan keluar dan pergi dari rumahnya.
Hari mulai larut malam, tetapi Luna masih saja berada di meja belajarnya. Seperti biasa, ia dituntut oleh sang ayah menjadi anak paling cerdas dan bisa membanggakan orang tuanya.
Ia mempunyai keluarga yang cukup terpandang. Oleh sebab itu, orang tuanya bersikeras agar ia bisa masuk di perguruan tinggi dengan nilai fantastis.
Luna mempunyai kembaran, Lina. Mereka dididik begitu keras, tetapi malangnya, Luna selalu diacuhkan dan dibandingkan dengan Lina, sang adik.
Malam telah berlalu, Luna tertidur di meja belajarnya. Ia terbangun karena cahaya yang mengenai matanya.
“Apakah ini sudah pagi? Lalu mengapa aku masih berada di sini?” tanya Luna yang merasa badannya begitu sakit.
Jarum jam masih menunjukan pukul 05.15 pagi. Tiba-tiba pintu terbuka lebar, sosok wanita paruh baya muncul dengan wajah penuh amarah.
“Lunaaa! Apa-apaan kamu ini? Mau jadi perempuan pemalas kamu, hah?” ujar wanita tersebut yang tidak lain adalah ibunya.
Begitulah setiap hari yang dirasakan Luna. Ia selalu disambut dengan kekasaran. Luna tidak mengerti, mengapa orang tuanya begitu tegas dan keras dalam mendidiknya, padahal Luna tidak pernah melakukan kesalahan yang merugikan.
“Maaf, Bu, Luna ketiduran karena kecapaian tadi malam. Luna belajar sampai larut,” sahut Luna. Namun, ibunya acuh tak acuh dan menyiramkan air dingin kepada Luna.
“Ini pemberian dari saya untuk kamu yang sudah berani berbohong. Saya tidak mau tahu, kamu cepat bangun dan bersihkan rumah sekarang juga!” ujar ibunya sambil berlalu meninggalkan Luna.
Luna merasa sakit hati atas ucapan ibunya. Bagaimana bisa seorang Luna yang selalu menuruti kemauan orang tuanya, tetapi hanya diberikan hinaan.
Jarum jam menunjukan pukul 06.30 pagi, tetapi Luna masih saja membersihkan rumahnya. Sementara Lina sengaja mengotori lantai dengan minumannya.
“Ups, sorry, gue sengaja,” ejek Lina.
Luna hanya diam sambil mengusap dadanya. Ia berusaha menahan emosinya untuk tidak membuat keributan di pagi ini.
Setelah selesai, Luna bergegas menuju sekolah. Luna mencari bis, tetapi sayangnya, bis yang sering ia tumpangi telah berangkat, akhirnya ia memutuskan menaiki angkot agar memudahkannya ke sekolah.
Ia telah berada di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup. Luna tidak ada pilihan selain menaiki pagar sekolah.
Karena merasa aman, ia menuju kelas. Sesampai di depan pintu kelas, semua orang menatap wajah Luna dengan keheranan.
“Dari mana saja kamu? Sudah jam berapa ini? Pergi ke lapangan dan berdiri di tiang bendera!” ucap guru yang mengajar.
Tidak ada pilihan bagi Luna. Ia menuruti perintah gurunya untuk menuju lapangan.
Pada saat itu, kepala Luna terasa pusing hingga ia jatuh tak sadarkan diri. Ia dibawa ke UKS untuk beristirahat dan ditemani oleh sahabatnya, Tania. Betapa paniknya Tania saat tahu sahabatnya pingsan.
“Luna, apakah kamu baik-baik saja? Bagaimana kamu bisa begini? Kenapa kamu dijemur di tengah lapangan?” tanya Tania panik sambil melontarkan pertanyaan kepada Luna.
“Astaga, Tania, aku bukan lagi wawancara, lo! Baru saja bangun, sudah disuguhi dengan banyak pertanyaan,” ujar Luna. Pertanyaan beruntun dari Tania membuat Luna merasa makin pusing.
“Teman kamu hanya telat makan saja. Lain kali sarapan, biar punya tenaga. Ini obatnya! Kalau begitu, saya pergi dulu, permisi.” Ujar petugas UKS seraya pergi meninggalkan mereka.
“Kamu kok bisa sampai gak makan? Apa kamu gak dikasih makan, sama ibumu?” ujar Tania yang merasa kesal, sebab perlakuan ibunya Luna berbeda saat bersikap kepada sang adik.
“Gak kok, Tan, aku cuma kesiangan aja tadi, lagian ini salah aku juga,” tutur Luna kepada sang sahabat. Ia tahu, saat ini Tania sangat kesal kepada ibunya dan ia tidak mau menyudutkan siapa pun.
Mereka akhirnya ke kelas karena Luna merasa sudah mendingan. Di dalam kelas, mereka saling bertukar cerita membuat canda tawa, tetapi tawa mereka berhenti ketika Lina dan temannya menuju meja mereka.
“Aduh, si culun kok masih ada di sini? Seharusnya gak usah datang lagi, iyakan teman-teman?” ujar Lina dan dibalas anggukan oleh teman-temannya.
“Apa sih, masalah lo sama Luna? Bukannya dia itu kakak lo, ya, gak sopan banget lo, sama dia,” emosi Tania pecah, membuat seisi kelas terdiam.
“Udah dong, Tania, biarin aja, gak usah nyari masalah sama dia, gak ada gunanya.” Ucap Luna mendekap bahu sahabatnya agar lebih tenang, tanpa membuat kegaduhan.
“Oh, ada pembelanya di sini. Bagus deh, kalian itu sama aja, pantesan temenan dan lo, Luna, inget, gue bakal keluarin lo dari keluarga gue.” Ucap Lina pergi selangkah, kemudian berhenti seraya berkata,
“Inget! Bentar lagi ujian dan lo gak bakal bisa nandingin gue.” Ucap Lina dan pergi meninggalkan sang kakak. Kelas dibikin gempar karena kericuhan dan kedatangan Lina.
Hari yang ditunggu telah tiba. Semua siswa dan siswi belajar dan bergelut dengan pikiran masing-masing, termasuk dua sahabat yang saling memberikan pengetahuan.
Berbeda dengan Lina yang tengah asyik make up. Ia tidak pernah lupa membawa peralatan penting itu agar terlihat cantik. Ia sama sekali tidak memikirkan dampak ke depannya.
Jam pelajaran pun dimulai. Semua murid siap menyambut lembaran yang akan mereka kerjakan.
“Bismillah, Ya Allah, mudahkan hamba-Mu dalam menghadapi ujian ini. Aamiin,” ucap Luna yang selalu berdoa dalam keadaan apa pun. Di ujung sana, ada sepasang mata yang melihat sambil bergidik tidak suka.
“Lo, harus tau kalau gue gak akan pernah menerima lo sebagai kakak gue, sekalipun lo, dianggap oleh Mamah dan Papah,” guman Lina dalam hatinya.
**
Ujian telah selesai dilaksanakan. Luna dan Tania tak sabar menunggu kabar mengenai hasil ujian mereka. Di sebelah sana, sang adik datang dan langsung menyenggol sehingga Luna tersungkur ke lantai. Tanpa aba-aba, Tania langsung membantu Luna berdiri.
“Luna, kamu gak apa-apa?” tanya Tania yang dibalas anggukan oleh Luna.
“Mau lo, apa sih? Kita gak ngelakuin kesalahan atau nyari masalah. Lo, sembarangan aja main nabrak orang,” ujar Tania yang sudah muak dengan kelakuan Lina. Entah mengapa, ia selalu saja mengganggu mereka.
“Gue mau, orang satu ini pergi dari kehidupan gue!” Ujar Lina yang menunjuk ke arah Luna.
“Aku? Aku salah apa sama kamu, Lina? Aku selalu mengalah dan gak pernah mengusik kehidupan kamu, tapi kamu selalu saja mengganggu aku. Bahkan, ibu dan ayah saja lebih menyayangimu, lalu kenapa kamu membenciku?” tanya Luna. Seketika semua orang menoleh ke arah mereka dan berbisik tentang keduanya.
“Lo, mau tau? Karena lo, selalu beruntung. Lo, selalu dapat pujian dari orang lain. Gue juga mau Luna, bukan cuma perhatian Mamah dan Papah. Lo harus tau, gue sangat benci sama lo sampai kapan pun. Gue cuma minta satu sama lo, pergi dari kehidupan gue!” ujar Lina.
Ucapan itu membuat Tania emosi dan hampir menamparnya, tetapi dicegah oleh Luna. Ia memberikan tatapan kepada Tania agar tetap tenang.
“Baiklah, aku akan segera pergi setelah nilai ujian diumumkan. Puaskan? ini yang dari dahulu kamu harapkan dari aku dan sekarang akan aku wujudkan!” Ujar Luna seraya melangkah pergi.
Namun, beberapa langkah kemudian ia berbalik menghadap Lina dan berbisik. “Aku mengerti, memang tak pantas aku berada di tengah kalian dan seharusnya aku tidak dilahirkan bersamamu,” bisik Luna pergi meninggalkan Lina.
Senyuman mengembang di bibir Lina. Ia menatap kepergian Luna dengan kebahagiaan, tanpa memikirkan nasib sang kakak.
Kejadian itu, tak disangka menjadi nyata. Luna diusir usai orang tuanya mendapatkan informasi dari sosial media tentang kejadian hari itu. Ayahnya murka karena mendapatkan komentar buruk tentang keluarga mereka.
“Kamu ini tidak bersyukur. Saya telah mendidik kamu dan membiayai sekolahmu. Jadi, ini balasanmu untuk keluarga ini, Luna?”
Kemarahan sang ayah tak bisa terkontrol. Postingan itu membuat ia harus kehilangan kesempatannya untuk bekerja sama dengan sebuah perusahaan benefit.
“Saya tidak habis pikir denganmu, kenapa saya melahirkan anak durhaka sepertimu. Saya sangat menyesal, kenapa saya melahirkan anak sepertimu!” Lanjut sang ibu sembari membuang baju-baju Luna dengan tasnya.
“Kalian memang orang tua saya, tetapi kenapa kalian begitu tega bersikap seperti ini. Kalian selalu membanggakan Lina, anak manja itu. Dia telah melakukan kejahatan, tanpa kalian tahu!” ucap Luna. Matanya berkaca-kaca. Ia tak menyangka, keluarganya sangat membenci kehadirannya.
“Kamu jangan membawa anak saya dalam masalah, ia selalu membanggakan kami. Berbeda denganmu, yang selalu menyusahkan,” ujar sang ibu sambil memanggil satpam untuk mengusir Luna.
“Maaf, Non, saya tidak bisa membantumu. Kenapa nyonya begitu tega dengan anak sebaik dirimu. Saya yakin, Nona Luna akan menjadi orang yang sukses di kemudian hari.” Doa tulus terpancar dari lubuk hati satpam.
“Mari, Non, saya antarkan,” ujar satpam tersebut kemudian.
“Nona Luna, setelah ini mau ke mana? Ini sudah mau malam. Apakah, Non Luna, punya tempat untuk menginap?” tanya satpam.
Laki-laki itu merasa khawatir. Sealama ini, cuma Luna yang bersikap lembut dengan orang yang bekerja di rumahnya, baik kepada ART ataupun satpam. Oleh sebab itulah, mereka sangat menyayangi Luna.
“Saya akan mencari kosan saja, Pak, insyaallah saya bisa menjaga diri di luar sana. Pak, saya minta maaf kepada semuanya. Semoga sehat selalu, di manapun berada,” ujar Luna.
Ia sangat dekat dengan para pekerja di rumahnya. Oleh sebab itu, rasanya enggan bagi Luna meninggalkan tempat ini.
“Baik, Non, semoga Non Luna juga bisa menjaga diri dengan baik di luar sana. Maafkan Bapak ya, Non, tidak bisa membantu apa-apa,” ujar satpam dan dibalas senyuman oleh Luna.
Luna meninggalkan tempat tinggalnya. Rasanya sakit jika mengingat sikap orang tuanya terhadapnya.
Luna menjalani kehidupannya sendiri. Tak pernah terpikir akan sejauh ini dari orang tuanya. Ia sangat berharap akan dipertemukan lagi setelah kejadian yang menimpanya. Takdir hidup tidak berjalan sesuai harapannya, tetapi ia selalu berharap akan datang masanya, saat orang tuanya sangat membutuhkannya.
**
Luna memulai bisnisnya dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Selang beberapa tahun, bisnis Luna berkembang pesat dan tak menyangka akan membuahkan hasil.
Banyak perubahan dalam diri Luna, tetapi bukan berarti sikap dan sifatnya akan berubah. Luna justru menjadi anak yang baik dan senang menolong.
Luna teringat masa lalunya yang begitu berat, tetapi Luna selalu berharap ia menjadi anak yang hebat. Luna berusaha mengubur kejadian silam yang telah memberikan rasa sakit. Kini, ia sangat ingin bertemu dengan keluarganya.
Luna sangat ingin bertemu dengan sang ayah dan ibunya. Jauh di lubuk hatinya, Luna ingin sekali memberitahukan bahwa ia bisa melewati semua masalah.
“Alhamdulillah, terima kasih, Ya Allah, Engkau mau melihat perjuangan hambamu. Apakah hamba bisa bertemu dengan keluarga? Luna sangat merindukan mereka, Ya Allah,” gumam Luna.
Luna terus saja memikirkan keberadaan keluarganya. Ia sama sekali tidak membenci kehadiran mereka. Bagi luna, semua yang telah terjadi adalah pelajaran yang sepatutnya dijadikan pelajaran atas kesuksesannya.
**
“Luna, sekarang kamu di mana, Nak? Ibu dan Ayah menyesali kesalahan kami. Maafkan kami. Ya Allah, maafkan hamba-Mu yang tidak bisa menjaga dan mendidik mereka dengan baik,” kata-kata itu terlontar dari mulut kedua orang tua Luna.
Air mata mengalir menyusuri pipi keriput itu. Betapa menyesalnya mereka karena telah membuang dan menjauhi anaknya sendiri. Ibunya bersujud di atas sajadah, memandang dengan tatapan kosong.
“Bu, kamu kenapa seperti ini? Jangan terlalu memikirkan mereka. Aku tau, ini kesalahan kita, tetapi aku yakin, Luna bisa menjadi anak yang baik di luar sana. Ia bisa menjaga dirinya,” ucap sang suami melihat istrinya terbaring dengan tatapan kosong.
Betapa khawatirnya ia melihat keadaan istrinya. Setelah Lina ditangkap akibat melakukan kesalahan dan merugikan orang lain, lalu dipenjara selama beberapa tahun, ibu Luna jatuh sakit.
**
Hari ini Luna berniat untuk ke pasar, sebab bahan di dapurnya mau habis. Selama ini, Luna menyewa ART untuk melakukan pekerjaan rumah saat sedang sibuk. Namun, ia tetap melakukan pekerjaan rumahnya saat ada waktu luang.
“Sepertinya ini sudah cukup, aku akan segera pulang,” ucap Luna. Di ujung sana, sepasang suami istri paruh baya melihat keberadaan Luna dan mengikutinya dari belakang.
Di perjalanan, Luna fokus dengan ponselnya. Ia mendapatkan kabar yang tengah viral minggu-minggu ini. Luna tak menyangka, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan terjadi pada adiknya sendiri.
Lina melakukan sebuah kesalahan dan mendapatkan hukuman yang cukup berat. Ia khawatir saat tau kejadian itu. Luna kepikiran untuk mencari keberadaan orang tuanya. Ia tahu bagaimana remuknya hati ayah dan ibunya saat tahu anaknya melakukan kesalahan.
Mobil memasuki lingkungan rumah Luna. Betapa kagetnya ia saat melihat keadaan anaknya sekarang. Keduanya kagum sekaligus bangga dengan pencapaian Luna.
“Lihatlah, Pah, anak kita. Luna bisa sukses, aku benar-benar bangga padanya. Aku sangat menyesal bersikap jahat kepadanya,” ucap seorang ibu yang tidak lain adalah orang tua Luna. Betapa bangganya seorang ibu saat tau anaknya bisa menjadi orang yang mandiri.
“Iya, Mah, aku juga bangga padanya, tetapi… apakah ia tidak merindukan kita?” ujar sang suami kepada istrinya.
“Bagaimana, apakah sebaiknya kita datangi, Luna, Yah? Aku sangat ingin memeluknya, aku merindukannya,” ucap sang istri.
Memang benar, setelah kepergian Luna, ia merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Wanita itu merasa khawatir pada Luna semenjak ia tidak berada di rumah.
Mereka menuju gerbang dan meminta izin kepada satpam agar bisa masuk.
“Maaf, Ibu dan Bapak, ada keperluan apa datang ke mari?” tanya satpam.
“Kami ingin bertemu anak kami, Luna, Pak. Bisakah kami masuk?” ujar ayah Luna.
“Sebentar ya, Pak, saya panggil nyonya dulu,” ujar satpam dan dibalas anggukan oleh keduanya.
Mereka tersenyum saat melihat perubahan Luna. Gadis itu jauh berbeda dari sebelumnya.
“Permisi, maaf, Nyonya, menganggu. Ada yang mencari Nyonya Luna di luar,” lapor satpam rumah Luna.
“Baik, terima kasih, Pak.” Ujar Luna sambil beranjak keluar rumah, meninggalkan satpamnya.
Luna merasa heran, siapa gerangan yang ingin bertemu dengannya. Saat di depan gerbang, kedua orang tuanya berlari memeluk Luna. Luna yang kaget hanya terdiam melihat siapa yang memeluknya. Matanya berkaca-kaca saat tau siapa yang mencari dirinya.
“Nak, maafkan Ibu dan Ayah telah menjauhkanmu dengan kami. Kami sangat menyesal.” Ujar ibunya sembari bersujud di depan anaknya.
Luna berjongkok dan menatap wajah kedua orang tuanya. Ia tersenyum manis di hadapan mereka sembari mengusap air mata mereka.
“Ibu, Ayah, Luna selalu memaafkan kalian. Luna sangat khawatir dengan kalian berdua setelah kejadian yang menimpa Lina. Kalian tentu begitu terpukul saat tau keadaan Lina,” ujar Luna kepada ayah dan ibunya.
“Maafkan Lina, Nak. Ia memang pantas mendapatkan hukuman atas kesalahannya sendiri. Kamu begitu baik, Luna, maafkan kami yang menyia-nyiakan kamu. Kami begitu menyesal dan sekarang kamu menjadi anak yang hebat dan sukses. Melihatmu seperti ini, kami berdua bangga,” ucap sang ayah. Mata mereka tidak bisa berbohong, tidak ada keraguan, semuanya mencurahkan isi hatinya.
Hari itu Luna merasa sangat bahagia. Luna meminta orang tuanya untuk tinggal bersamanya, tetapi mereka menolak karena keberatan dan merasa tidak enak hati. Namun, Luna terus memaksa. Luna begitu merindukan keduanya, meskipun mereka pernah menyakiti hati Luna, tetapi mereka tetaplah orang tua yang telah mendidik Luna dengan baik.
Tidak ada dendam baginya. Ia percaya, takdir yang datang pada dirinya, buruk menurut manusia, belum tentu buruk menurut Allah. Masa-masa sulit yang ia rasakan dahulu, justru Allah ganti dengan kebaikan dan membuat hidupnya jauh lebih baik.
Setelah kejadian itu, Luna belajar menjadi orang yang sabar dan ikhlas. Ia menjalani hidupnya dengan kebahagian. Catatan hariannya selalu Luna isi dengan perjalanan hidupnya, kelak catatan itu akan membuatnya selalu bersyukur atas hidup ini.
Luna menjalankan hari-harinya bersama kedua orang tuanya. Ia merasakan kasih sayang yang belum pernah didapatkan sedari dahulu.
Siapa yang melakukan kesalahan akan mendapatkan imbalan, yaitu hukuman. Sementara yang melakukan kebaikan akan mendapatkan keberuntungan dari Allah karena Dia tidak pernah tidur di saat kita membutuhkan-Nya. (Tamat) [CM/NA]