Oleh. Indah Permatahati
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Butut, kusam, sudah pudar warnanya, begitulah jika aku menggambarkan tas kerja ayah. Tas kerja yang sudah dipakai mengajar selama sepuluh tahun itu tak pernah berhenti bertugas. Ia setia menemani ayah setiap hari, diterjang panas dan hujan tetap berfungsi. Kulihat ayah tak pernah berencana untuk membeli tas baru. Ibu pernah menawari untuk mencarikan tas kerja baru buat ayah, tapi ayah menolak. Ayah bilang, “Uangnya untuk keperluan belanja saja.” Itulah ayahku, sederhana dalam penampilan. Meski demikian, bukan berarti penampilan ayah buruk. Justru penampilan ayah selalu rapi, kemeja yang disetrika licin dan wangi.
Belakangan ini, aku melihat ayah semakin cepat pulang kerja. Biasanya ayah berangkat pagi lalu pulang sore, bahkan menjelang magrib. Akhir-akhir ini ayah hanya setengah hari bekerja. Kadang-kadang juga hanya di rumah. Ini sungguh aneh, ayah hanya di rumah saja biasanya akhir pekan, itupun biasanya digunakan ayah untuk mengisi kajian.
Sore itu saat aku pulang sekolah, kuberanikan diri bertanya pada ayah.
“Ayah, kok sekarang pulangnya cepat?” tanyaku pada Ayah.
“Iya, Nak, mahasiswa di tempat kerja ayah sekarang semakin sedikit, jam mengajar ayah juga semakin berkurang,” jawab ayah saat itu.
Ternyata hal itu yang menyebabkan ayah pulang cepat. Kadang aku juga mencuri dengar pembicaraan ayah dan ibu. Ada yang aku mengerti, ada pula yang tidak. Karena ada yang berubah dari pekerjaan ayah, banyak perubahan yang terjadi pula di rumah kami. Ibu sampaikan kalau uang jajanku sekarang harus dihemat. Makanan di rumah kami yang biasanya banyak pun kini berkurang drastis. Mengapa jadi seperti ini ya? Sebenarnya aku ingin protes, tapi aku tak tega melihat Ibu.
Saat semua terlelap, aku diam-diam pura-pura tidur, aku tahu ibu masih beraktivitas. Aku lihat ibu mengetik. Ibu cepat sekali kalau mengetik. Biasanya ibu berhenti mengetik saat adik bayi menangis. Ibu akan menyusui adik dulu kemudian lanjut mengetik lagi. Ternyata Ibu mengirim tulisannya. Saat tulisan ibu dimuat, aku melihat wajah ibu bahagia sekali. Ibu akan membeli kue-kue untukku dan adik-adikku dari honor menulis itu.
Kadang aku bingung melihat semua perubahan ini. Dulu saat sandalku rusak, ibu dengan cepat membelikanku sandal baru. Kini, hal itu pun turut berubah. Saat sandalku putus ikatannya, sudah tak bisa dipakai lagi, bu menyuruhku bersabar. Kata ibu, aku bisa memakai sandal ibu untuk sementara waktu. Tentu sandal ibu terlalu besar untuk kakiku, meski begitu aku belajar untuk tidak malu di hadapan teman-temanku.
“Fa, itu sandal ibumu ya, yang kamu pakai?” tanya Alin sahabatku, sambil memandangi sandalku.
“Iya, kenapa?” jawabku balik bertanya.
“Sandalmu ke mana? Mengapa kamu memakai sandal ibumu?” tanya Alin lagi. Alin sahabat baikku, ia tak pernah melewatkan hal penting dalam hidupku, tapi kali ini aku harus jaga rahasia keluargaku.
“Sandalku rusak Lin, ini kupakai sandal ibuku untuk sementara waktu,” jawabku. Kuharap Alin tak tanya apa-apa lagi soal sandal.
“Oh, iya, meski terlihat kebesaran tapi tetap cocok kamu pakai kok,” jawab Alin lagi. Ah hatiku lega ia tak menambah pertanyaan.
Adikku yang masih kecil-kecil tak mengetahui perubahan dalam keluarga kami. Kalau sedang lapar mereka pasti menangis rewel. Kalau tak ada makanan, mereka tak bisa disuruh sabar, kadang aku jengkel juga mendengar suara tangisan mereka. Tapi kulihat Ibu sabar sekali menghadapi adik-adikku. Kadang ibu rayu mereka dengan menggendong, membacakan buku, atau menawari mereka untuk bermain bersama. Seringkali mereka lupa akan rasa laparnya.
Salah satu adikku, sebut saja namanya Aburrahman. Adik laki-laki yang masih balita dengan kemauan keras. Suatu ketika adikku ini melihat teman mainnya punya jam tangan baru. Saat pulang ke rumah ia rewel tak karuan, minta jam tangan baru. Aku tahu Ibu tak ada uang untuk mengabulkannya. Ibu menyuruh adikku untuk bersabar dan memohon pada Allah untuk dikabulkan permintaannya. Adikku tetap menangis keras dalam gendongan Ibu. Saat ia tertidur, ibu mengendap-endap pergi ke warung sebelah rumah, ibu meneliti ke arah mainan serba seribu, lalu memilih mainan berbentuk jam tangan. Saat adikku bangun ibu mengejutkannya dengan barang baru itu, adikku bahagia bukan kepalang. Adikku yang belum tahu jam tangan sungguhan, bisa dihibur dengan jam tangan mainan seribuan, jam tangan tanpa jarum jam.
Aku pernah mendapati ibu terlihat sedih, kudekati, tapi ibu langsung pura-pura tersenyum, aku tahu itu. Aku ingin menghibur ibu, tapi ibu selalu menyembunyikan kesedihannya. Ibu selalu mengatakan kepadaku, dan adik-adikku bahwa kami ini orang kaya.
“Ibu, kita ini kaya atau miskin?” tanyaku pada ibu. Saat itu adik-adikku sedang minta dibacakan buku oleh ibu.
“Kita ini orang kaya, Nak,” jawab ibu.
“Kok bisa, Bu?” tanyaku lagi.
“Kamu ingat buku yang sering Ibu bacakan saat kamu masih kecil,” tanya ibu lagi.
“Oh, tentang hadist nabi itu ya Bu?” jawabku memastikan.
“Iya Nak, Rasulullah bersabda, “Siapa di antara kalian yang berada di waktu pagi dalam keadaan aman di tempat tinggalnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan seluruh dunia ini telah diberikan kepadanya.” (HR. Ibnu Majah)
Aku, ibu dan adik-adikku berpelukan. Ibu sampaikan kepada kami, jika kondisi kami saat ini adalah kondisi yang patut disyukuri. Aku tahu hati ibu menangis, tapi ibu adalah seorang wanita yang kuat, aku sayang ibu. [CM/NA]