Ustazah, Aku Ingin Sepertimu

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Rindi Afrina
(Kontributor CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Aku seperti menemukan cahaya dalam hidupku. Aku yang selama ini merasa sepi dan sendiri, sekarang ada kehangatan dalam kebersamaan dengan teman-teman di jemaah. Kajian demi kajian yang kuikuti, makin membuatku menemukan arti hidup yang sesungguhnya.

Siang itu, aku habis mengikuti kajian bulanan. Satu persatu peserta meninggalkan ruangan. Aku pun melangkah ke luar, memastikan kalau sudah ada yang menjemput.

Ustazah Sri melambaikan tangannya memanggilku. Dengan suara lembut, beliau menawariku untuk makan bersamanya berulang kali. Karena sungkan, akupun mengiyakan tawarannya.

Di situlah aku mulai mengenal sisi lain dari Ustazah Sri. Aku yang biasanya hanya menatap beliau dari jauh saat ada kajian, hari ini terasa sangat dekat. Rasa haru menyeruak, mengalir membasahi kerinduan akan sosok ibu yang selama ini belum pernah kurasakan. Seperti inikah rasanya. Ya, aku sudah yatim piatu sejak kecil dan dibesarkan oleh nenekku.
***
“Teman-teman, setuju nggak, kalau kita pergi rihlah? Sesekali kajian sambil refresing. Sekalian tuk memperkuat silah ukhuwah di antara kita.” Dengan semangat Ustazah Sri menyampaikan rencananya yang disambut riuh dengan ungkapan setuju ibu-ibu.

“Acaranya nanti apa saja, Buk?” Tanya salah seorang teman dengan penuh penasaran.
“Kita tunggu saja tanggal mainnya,” jawabannya makin membuat kami penasaran.
Dengan semangat semua mendaftarkan diri tuk ikut.

Hari yang kami tunggu pun tiba. Walau harus melawan rasa mual dan pusing karena naik bus, tetapi semangatku mengalahkan semuanya. Ternyata seperti ini keseruan menjadi bagian dari jemaah ini.

“Kita mengadakan kuis, ya, pertanyaannya seputar materi kajian. Sekalian tuk menguji tsaqafah teman-teman. Nah, siapa yang nggak bisa jawab, hukumannya turun kitab ya!” Acara diambil alih oleh Kak Ana.

Rangkaian demi rangkaian acara berjalan dengan lancar. Diawali dengan senam ala emak-emak, ide breaking yang bikin ngakak dan sekarang dilanjutkan dengan acara cerdas cermat. Kami dibagi menjadi lima kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari lima orang. Lalu ditunjuk salah satunya menjadi jubir.

“Kak, hukumannya jangan turun kitab, dong, yang lain saja ya, Kak.” Teman-teman merengek seperti anak kecil, yang disambut tawa oleh tim panitia. Tentu saja tidak. Mereka hanya bercanda.

“Baiklah, hukumannya baca surah pendek, ya, dan yang bisa jawab nanti diberi hadiah.” Semua bertepuk tangan menyetujui saran MC.

Setelah seruan-seruan, akhirnya tibalah di ujung acara. Ustazah Sri mengisi kajian muhasabah. Kami diingatkan kembali apa tujuan perjuangan dakwah yang kami jalani. Semua larut dalam haru. Suasana hening hanya menyisakan helaan napas yang menahan isak tangis.

Tidak sampai di situ, kami semua lalu diminta membuat surat cinta untuk para ustazah. Siapa pun orang yang dituju agar bisa menyampaikan masukan atau unek-unek yang dirasakan selama ini.

Semua mengambil posisi masing-masing. Ada yang terlihat mengerutkan kening, masih berpikir mau menulis apa. Ada yang sudah asyik dengan tulisannya. Ah, aku mau menulis apa, ya?

Surat itu lalu dikumpulkan semuanya. Dipilih secara acak tuk dibacakan. Satu persatu pesan cinta tanpa nama itu dibaca Ustazah Sri. Ada yang memberi motivasi, keluhan, saran, dan sebagainya. Kadang kami tersenyum ketika ada yang lucu dibacakan, kadang menangis jika terharu dengan yang disampaikan.

Pembacaan surat ditutup dengan momen bersalaman dan saling berpelukan. Tak ada yang mampu menyembunyikan rasa haru. Ada yang meminta maaf kepada sang guru pembimbing. Berpelukan sangat erat. Aku larut dalam rasa haru dan bahagia. Merekalah saudara-saudaraku yang dikirim Allah tuk melengkapi hidupku.

“Rindi, mohon maaf lahir batin, ya, tetap semangat, Ndi.” Ustazah Sri langsung memelukku erat. Itulah pertama kalinya aku berpelukan dengan Ustazah Sri. Rasa hangat penuh kasih sayang kurasakan saat itu.

“Maukah Ustazah menjadi pengganti ibuku?” Kata-kata itu hanya mampu kuucapkan dalam hati. Namun, aku yakin, tanpa diminta pun, Ustazah Sri sudah menjadi sosok ibu bagi kami dalam jemaah.
***
Assalamualaikum, Ibu-Ibu. Mengingatkan, besok kita ada pertemuan pukul 08.00 WIB. Mohon datang tepat waktu.” Pukul 20.00 WIB pesan WhatsApp dari Ustazah Sri masuk ke ponselku. Ustazah Sri selalu rutin mengingatkan kami jika ada agenda besoknya.

Aku pun berniat agar bisa datang lebih awal, tetapi qadarullah, paginya turun hujan. Segera kuhubungi Ustazah Sri, mengabari bahwa aku terlambat datang karena hujan. Ternyata Ustazah Sri sudah sampai di lokasi.
“Di tempat Ibuk juga hujan, bisa kan pakai mantel? Tadi Ibuk juga pakai mantel,” ucapnya dengan nada terdengar jengkel.
“Ibuk kasih waktu setengah jam paling lama, ya, jika masih terlambat, pintunya Ibuk tutup.”

Aku memacu motor dengan kecepatan tinggi, khawatir terlambat dan tidak bisa masuk. Alhamdulillah, dengan tergesa-gesa langsung kumasuki ruangan yang masih terbuka. Sudah cukup banyak yang hadir. Baru saja kuambil posisi duduk, tepat 30 menit dari yang dijadwalkan, acara dimulai. Pintu pun ditutup dan dikunci oleh Kak Tia. Ustazah Sri memulai acara.

Kulihat dari jendela beberapa teman yang baru datang dan terpaksa duduk di luar. Tidak bisa masuk. Itulah konsekuensi keterlambatan yang sudah diumumkan di grup WhatsApp. Beginilah kami diajarkan tentang kedisiplinan. Semua bisa berdalih dengan kesibukan masing-masing. Lalu siapa yang nggak punya kesibukan? Apalagi ibu-ibu.

Terkadang ada juga yang menganggap kebijakan ini terlalu kejam. Padahal itu adalah bentuk ketegasan. Apalagi bagi aku yang sering datang terlambat. Ini seperti shock therapy yang membuatku jadi disiplin.
***
Kegelisahan tergambar dari wajah Ustazah Sri dan teman-teman yang lain. Sebentar-sebentar ia melirik jam. Ini sudah terlambat untuk hadir di acara pertemuan di Padang. Kami berangkat pukul 07.00 WIB karena jadwal acara pukul 10 00 WIB. Namun, karena bus agak terlambat berangkat dan mutar-mutar menjemput penumpang, kami terlambat sampai di Padang.

Kebetulan hari itu aku mengikuti kelas menulis di Padang. Awalnya aku ragu ikut karena tidak biasa pergi sendiri. Pada saat itu Ustazah Sri dan 3 orang lainnya juga ke Padang, aku pun berangkat bareng mereka. Setengah jam yang lalu kelas menulis telah dimulai. Terpaksa aku mengikuti via zoom meeting selama di bus.

“Sudah tau alamatnya, Ndi?” tanya Ustazah Sri ketika bus sudah memasuki pusat kota.
“Sudah, Buk,” jawabku sambil menyebutkan alamatnya.
“Bisa pergi sendiri ke sana?” tanyanya memastikan.
“Hm… Sebenarnya agak khawatir, Buk, karena Ndi, ndak pernah pergi-pergi sendirian,” jawabku hati-hati.

Aku benar-benar bingung. Sebenarnya takut pergi sendiri, tetapi nggak mungkin juga aku diantar karena lokasi kami berbeda. Apalagi kami sudah terlambat tuk ikut acara.

“Ndi, pergi sendiri aja, Buk, biar Ibuk nggak makin terlambat untuk mengikuti rapat.”
Akhirnya bus berhenti dan kami segera turun. Aku mencoba memantapkan hati. Insyaallah aku harus bisa sendiri.
“Kita coba aja dulu tanya sama sopir go car, Buk, apa bisa kalo Rindi diantar dahulu, setelah itu baru ngantar kita,” usul Kak Ana.

“Gini aja, Ana dan Tia naik go car duluan, Ibuk dan Ririn biar ngantar Rindi dulu pake becak. Khawatir nanti kita semua makin telat. Jadi kalian bisa menyimak acara lebih awal,” usul Ustazah Sri dan yang lain setuju.

Masyaallah. Aku menyeka butiran bening yang mengambang di sudut mataku. Begitu tulusnya mereka kepadaku. Kami hanyalah ibu-ibu yang disatukan dalam jemaah kajian. Tidak ada hubungan keluarga. Akan tetapi, yang kurasakan lebih dari sebatas hubungan darah. “Terima kasih, ya, Rab, telah memberiku teman-teman yang baik. Telah mengizinkan aku berada dalam jemaah ini. Semoga kelak Engkau kumpulkan kembali kami di surga-Mu.”

“Kalian wajib bersama dengan al-jamaah, dan berhati-hatilah kalian dari perpecahan. Sesungguhnya, setan bersama orang yang sendirian, sedangkan dari orang yang berdua, dia lebih jauh. Barang siapa yang menginginkan tengah-tengahnya (yang terbaiknya) surga, hendaklah dia bersama jemaah. Barang siapa yang kebaikan-kebaikannya menggembirakan dia dan kejelekan-kejelekannya menyusahkan dia, dia adalah seorang mukmin.” [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *