Oleh: Novida Sari, S.Kom.
(Ketua Majelis Taklim Islam Kaffah Mandailing Natal, Kontributor Tetap Cemerlangmedia.com)
CemerlangMedia.Com — Tim investigasi yang tergabung dalam solidaritas nasional untuk Rempang menemukan dugaan pelanggaran HAM saat terjadi bentrok antara aparat dengan warga Rempang yang menolak digusur demi ambisi pemerintah dalam pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City, (7-9-2023) lalu. Foto R, lansia berusia 60 tahun dalam kondisi berlumuran darah karena tertembak peluru karet tersebar di medsos. Jurnalis lokal menyebut telah menyaksikan beberapa orang tertembak peluru karet selain dari R, tetapi hanya dirawat di rumah.
Selain itu, sebanyak 11 orang korban dari SMPN 22 pun turut menjadi korban pasca aparat menembakkan gas air mata. Salah satunya merupakan guru yang sempat pingsan, sedangkan 10 lainnya adalah siswa yang mengalami syok berat, sesak nafas berat, dan tegang. Tim investigasi menemukan fakta bahwa gas air mata ditembakkan secara serampangan ke berbagai penjuru, meskipun salah satu guru SMPN 22 telah menyalakan speaker dan menyatakan jangan menembak ke area sekolah.
Gas air mata pertama kali ditembakkan di Jembatan IV Barelang, kemudian ditembakkan menuju SD 24 Galang dan SMPN 22 Batam. Pernyataan polisi yang menyebutkan bahwa gas air mata tertiup angin ke arah sekolah dibantah oleh Tim investigas dan Komnas HAM yang menemukan selongsong gas air mata di lingkungan sekolah. Miris dan begitu tragis. Aksi brutal aparat dari gabungan Polri, TNI, Satpol PP, Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (Ditpam BP) Batam berjumlah 1.010 personel, bersikap agresif tak berprikemanusiaan demi mematok wilayah perencanaan pembangunan industri (bbc.com, 18-09-2023). Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi?
Cengkeraman Neo-Imperialisme Komunis Berkedok Investasi
Kerusuhan yang mencekam di Pulau Rempang, bukanlah hal yang tiba-tiba terjadi. Dilansir dari kemlu.go.id, (28-07-2023) bahwa Presiden RI telah menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dan perjanjian kerjasama dalam pembangunan hilirisasi industri kaca dan panel surya dengan Xinyi Glass yang melibatkan investasi senilai 11,6 miliar USD di kawasan Rempang, Batam. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyebutkan bahwa investasi kaca ini menjadi yang terbesar di luar Tingkok. Bahlil juga menyebutkan bahwa investasi ini akan menyerap 35 ribu orang, terutama dalam hilirisasi pasir kuarsa dan silika di Rempang.
Namun, untuk menjalankan proyek ini dengan lancar, Xinyi Glass Holdings Ltd. membutuhkan tanah seluas 1.154 hektare yang harus diserahkan dalam kondisi bersih dan siap digunakan dalam 30 hari (batamnews.co.id, 18-09-2023). Tidak heran jika akhirnya Tim investigasi menemukan sikap agresif aparat kepada warga beberapa waktu lalu.
Apalagi sejak dikuatkannya kerjasama ekonomi Indonesia—Cina yang menghasilkan 8 kesepakatan antara kedua belah pihak, poin ke 6 dari kesepakatan ini telah menjembatani bagaimana kesepahaman tentang peningkatan kerjasama Indonesia—Tiongkok “Two Countries, Twin Parks”. Mengutip pernyataan Djauhari Oratmangun Duta Besar RI untuk Tiongkok di laman kemlu.go.id (20-09-2022), Two Countries, Twin Parks merupakan salah satu proyek prioritas nasional yang berada di bawah sinergi Global Maritime Fulctrum/Poros Maritim dan Belt and Road Initiative (BRI), bertujuan untuk mendorong secara cepat perdagangan dan investasi antar kedua negara.
Maka tak heran, Rempang yang dipilih karena posisinya yang sangat strategis bagaikan harta karun, memiliki peran sentral dalam dinamika geopolitik dan geostrategis di Asia Pasifik. Terletak di pintu masuk selat malaka yang menjadi jalur utama bagi lalu lintas perdagangan serta penghubung utama antara Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Rempang dan pulau-pulau lain di Kepulauan Riau adalah batas fisik Indonesia dengan beberapa negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Tiongkok. Oleh karenanya, Rempang dan pulau di sekitarnya memiliki relevansi dalam konflik dan keamanan regional terkait Laut Cina Selatan. Dalam kepentingan maritim, tentu menguasai Rempang adalah keuntungan yang sangat besar.
Dan jika ditelusuri, Chief Executive Officer (CEO) Xinyi Glass adalah Ching Sai Tung yang ternyata menjadi salah satu anggota People’s Republic of China (PRC), The Chinese People’s Political Consultative Conference (CPPCC) alias anggota partai komunis Cina sejak 17 Januari 2023. Dan beberapa pihak mengkritisi keberadaan dari Xinyi Glass sebagai ancaman keamanan nasional dan lingkungan, seperti halnya yang dilansir dari cbcca.news (25-12-2020). Posisinya sebagai politisi partai komunis dan pebisnis level dunia menjadi benang merah atas kepentingan geopolitik Cina dalam mencengkeram Rempang dan mewujudkan BRI alias jalur sutra baru yang penuh ambisius untuk memperkuat pengaruh ekonomi Tiongkok melalui program yang luas dan menyeluruh di seluruh negara yang dilewati jalur tersebut. Bukankah Rempang menjadi salah satu titik kunci jalur ini?
Fakta Sejarah
Rakyat Melayu Rempang memiliki hak atas tanahnya karena mereka telah mendiami kawasan ini jauh sebelum republik ini ada. Di dalam buku Tuhfat Al-Nafis karya sejarah melayu yang paling kompleks sebelum abad kedua puluh yang ditulis oleh Raja Ali Haji disebutkan bahwa penduduk pulau Rempang, Galang dan Bulang merupakan keturunan prajurit dari laskar Kesultanan Riau Lingga. Mereka mendiami pulau tersebut sejak 1720 di bawah kekuasaan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.
Pada waktu perang Riau I (1782—1784), penduduk setempat menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah (salah satu pahlawan Nasional) dalam melawan kolonial Belanda. Begitu juga pada waktu perang Riau II (1784—1787), mereka juga ikut berjuang melawan kolonial Belanda di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah. Para prajurit ini disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan, sebutan untuk pasukan elite kesultanan pada waktu itu. Kuatnya basis pertahanan dari prajurit ini di wilayah Rempang, Galang, dan Bulang membuat pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga. Anak keturunan dari pasukan pertikaman kesultanan inilah yang mendiami pulau-pulau ini secara turun-temurun.
Dalam artikel yang berjudul “Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang”, sebuah arsip kolonial Belanda (4-2-1930), seorang pejabat Belanda bernama P. Wink mengunjungi suku Orang Darat atau Orang Oetan (hutan) di Pulau Rempang. Wink mencatat ada delapan laki-laki, dua belas wanita, dan enam belas anak-anak suku Orang Darat. Mereka mencari nafkah dari bercocok tanam, hasil hutan, serta mencari makanan laut saat air pasang. Laporan kunjungan ini ditulis di Tanjung Pinang, pada (12-2-1930).
Peta kuno yang disusun oleh WP Versteeg pada 1860 dan diterbitkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan judul “Kaart Van De Residentie Riouw En Onderhoorrigheden (Peta Wilayah Tempat Tinggal dan Ketergantungannya)” memperkuat bukti bahwa Pulau Rempang (Gampang) dan Galang (Galat) telah ditempati oleh orang Melayu Tempatan jauh sebelum Indonesia Merdeka. Oleh karena itu, seharusnya tanah ini dihormati sebagai tanah ulayat Melayu, Kampung Tua.
Namun, faktanya sungguh menyakitkan, setelah Indonesia berdiri, penduduk asli yang hidup di pulau Batam, Rempang, dan Galang tidak pernah dianggap oleh pemerintah RI. Pada 1973, Pemerintah secara sepihak menetapkan area Batam sebagai daerah industri, termasuk gugusan pulau Janda Berias, Tanjung Sau, Nginang, dan Kasom. Area ini diserahkan kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam yang dikenal dengan Badan Pengusahaan (BP) Batam hari ini dengan Hak Pengelolaan (HPL) melalui Kepres No. 41 Tahun 1973.
Kemudian pemerintahan orde baru memperluas area HPL BP Batam hingga mencakup seluruh daratan Pulau Rempang dan Galang pada 1992 melalui Kepres No. 28 Tahun 1992, tentang penambahan wilayah lingkungan kerja daerah industri Pulau Batam dan menetapkannya sebagai wilayah usaha kawasan berserikat. Kemudian dikeluarkan Surat Edaran Nomor 09/TP/I/2002 pada (17-1- 2002) tentang Tertib Pertanahan yang berisikan larangan pengeluaran surat keterangan atas tanah baik badan hukum ataupun perorangan, juga pelarangan pelepasan hak atau ganti rugi atas sebidang tanah. Dari surat ini, telah jelas dengan sejelas-jelasnya bahwa pengakuan dan pemulihan hak ulayat tanah milik warga Pulau Rempang dan Galang kian mustahil. Dan surat ini juga makin mengukuhkan klaim sepihak BP Batam atas lahan di Pulau Rempang dan Galang hari ini.
Sulitnya warga Pulau Batam, Rempang, dan Galang mendapatkan pengakuan dan legalisasi hak ulayat atas tanah mereka karena keberadaan HPL BP Batam dan juga klaim Kawasan Hutan Negara oleh KLHK yang menjadi janji manis Presiden Jokowi untuk maju di pilpres putaran kedua pada 2019. Jokowi berjanji di Stadion Temenggung Abdul Jamal, Batam, untuk menerbitkan sertifikat lahan untuk Kampung Tua, Rempang, Batam, dan akan rampung dalam tiga bulan, yakni pada (6-5-2019). Namun, janji tinggal janji, warga Rempang seolah pungguk merindukan bulan.
Peta Konflik Agraria Atas Nama Investasi
Investasi ataupun penanaman modal bertujuan memberi kemakmuran untuk warga, khususnya yang tinggal di wilayah investasi. Kalau memang kesejahteraan yang dihasilkan dari investasi, tentunya warga tidak akan menolak. Pemerintah telah mengeklaim bahwa sebanyak 80% warga Rempang setuju direlokasi sehari sebelum ricuh. Namun, kericuhan dan kejadian menyayat hati yang menimpa warga Pulau Rempang tentunya menimbulkan pertanyaan besar, pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam investasi tersebut sehingga terjadi konflik.
Menurut tanahkita.id, dari data sebaran konflik agraria sepanjang 1988 hingga Juli 2023, terdapat 562 konflik dengan jumlah korban 868.477 korban jiwa, lahan seluas 6,16 juta hektare. Dari data sebaran ini, konflik yang selesai hanya 8%, sedang proses penanganan 48% sementara yang belum ditangani sebesar 45%.
Data ini makin menunjukkan bahwa sering kali masalah lahan digusur atas nama investasi. Seolah Pemerintah ramah pada investor, tetapi kejam kepada rakyat sendiri. Lihat saja bagaimana ucapan pejabat yang terekam di media, seperti yang dilansir dari cnnindonesia.com (1-12-2022), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang akan membuldozer siapapun yang menghambat ataupun mempersulit investasi masuk ke Indonesia. Tentu saja pemilihan diksi bulldozer dianggap sangat tidak layak, bahkan termasuk kategori narasi negatif yang luar biasa, meskipun ia menangani investasi.
Bahasa teror dengan narasi negatif juga sempat muncul dari panglima TNI di tengah situasi relokasi warga Rempang. Dilansir dari Hops.id (16-9-2023), Panglima TNI Yudo Margono, akan mempiting warga Rempang yang mempertahankan tempat tinggalnya satu lawan satu. Meskipun pihak TNI sudah melakukan klarifikasi karena kesalahan memakai diksi piting, tetapi narasi ini terlanjur bergulir negatif di tengah-tengah masyarakat.
Sikap rezim yang menggunakan alat kekuasaannya secara represif seolah bukti cerminan kezaliman dari rezim otoriter. Pembangunan yang seharusnya berpihak kepada rakyat, kenyataannya melalui investasi, malah berpihak pada segelintir oligarki, para cukong kapitalis. Dominasi kapitalis telah membuat negara berubah menjadi negara korporatokrasi sehingga posisi negara justru menjadi fasilitator kepentingan bisnis yang mengabdi kepada pemilik modal, bukan kepada rakyat.
Rempang telah digusur dengan bahasa dikosongkan. Mereka diminta pindah ke tempat baru bukanlah perkara mudah. Harus diperhatikan aspek sosiologis, psikologis, dan historisnya. Apalagi tempat relokasi di daerah Dapur 3 Sijantung, ternyata sangat jauh dari ketiga aspek ini. Dilansir dari palembang.tribunnews.com (19-09-2023), warga Pulau Rempang takut untuk meninggalkan kampung adat mereka. Apalagi direlokasi ke daratan, padahal mereka adalah nelayan yang menggantungkan hidupnya dari laut dan ternyata tempat relokasi ini masih berupa hutan dan perbukitan.
Sementara itu, dilansir dari kompas.com (17-09-2023), Prabianto Mukti Wibowo selaku Komisioner Mediasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melakukan pertemuan dengan warga Pulau Rempang terkait rencana relokasi warga yang akan dijadikan kawasan Eco City oleh PT MEG, Sabtu (16-9-2023) kemarin. Ia menyinggung pengosongan lahan sebelum 28 September 2023, sesuai kesepakatan antara BP Batam dengan pihak investor. Prabianto menyebutkan, pihaknya telah meminta untuk meninjau ulang relokasi. Pihaknya juga telah meminta warga yang ditahan polisi untuk dilepaskan, termasuk menghentikan aktivitas tim terpadu untuk mendatangi rumah-rumah agar segera mendaftar bersedia direlokasi.
Islam Menghapus Jerit Tangis Warga Rempang
Tidak ada hal yang lebih fasad (rusak), ketika penguasa menzalimi rakyat, terlebih merebut lahan yang mereka tempati ratusan tahun dengan mengatasnamakan investasi. Investasi dengan berbagai persyaratannya telah menjadi jalan bagi asing ataupun aseng dalam mencengkeram kuat secara ekonomi dan politik. Padahal Allah Swt. berfirman,
وَلَنۡ يَّجۡعَلَ اللّٰهُ لِلۡكٰفِرِيۡنَ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ سَبِيۡلًا
Artinya: “Allah tidak memberikan jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang mukmin.” (TQS An-Nisa: 141). Ayat ini menunjukkan bahaya penguasaan kafir atas kaum muslim.
Di satu sisi, sistem sekularisme kapitalisme, sosialisme komunis bertentangan dengan hukum Allah Swt. Allah Swt. telah mengingatkan bahwa,
اَفَحُكۡمَ الۡجَـاهِلِيَّةِ يَـبۡغُوۡنَؕ وَمَنۡ اَحۡسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكۡمًا لِّـقَوۡمٍ يُّوۡقِنُوۡنَ
Artinya: “Apa hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi kaum yang berfikir?” (TQS Al Maidah: 50).
Melalui cengkeraman neo imperialisme, akhirnya orang kafir menguasai negeri kita dalam berbagai bidang. Penguasaan mereka atas berbagai hajat dan pengelolaan kekayaan sumber daya alam, justru membuat layanan publik kian mahal. Namanya korporasi, akan mengedepankan bisnis dan keuntungan. Akhirnya rakyat kian menjerit dan makin berdesak-desakan dalam jurang kemiskinan. Dan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupanlah yang mengizinkan penguasaan asing atas negeri ini, demi kata kesejahteraan semu bagi rakyat yang seharusnya mereka lindungi dan perjuangkan.
Dalam Islam, politik agraria telah mengharamkan tindakan menggusur tanah rakyat selama tidak ada keridaan dari pemilik lahan. Teladan dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab, telah menentang sikap pejabatnya yang akan menggusur gubuk seorang Yahudi demi dibangunnya masjid di Mesir. Awalnya Yahudi ini diberikan kompensasi sebesar 15 kali lipat, tetapi ditolak. Akhirnya si Yahudi mengadu kepada Khalifah Umar yang menjadi khalifah kedua kaum muslimin, di Madinah. Lantas Khalifah Umar memberi Yahudi itu tulang yang digoreskan dengan ujung pedangnya, lantas tulang ini diminta untuk dibawa dan ditunjukkan kepada Amr bin Ash, sang wali di Mesir.
Amr yang memahami maksud tulang yang dibawa lantas berkata kepada Yahudi itu, bahwa ini adalah peringatan keras, seolah-olah Khalifah Umar mengatakan, berlaku lurus dan adillah selama berkuasa seperti halnya garis di atas tulang itu. Sebab jika ia tidak lurus, maka Khalifah Umar sendiri yang meluruskannya dengan pedang. Lantas, Amr pun mengembalikan apa yang menjadi hak si Yahudi tersebut. Mendapati keadilan sang amirul mukminin, Yahudi itu akhirnya mengikhlaskan gubuknya untuk pembangunan masjid, bahkan ia masuk Islam karenanya.
Hal yang sangat berbeda dengan Rempang hari ini. Tanah kelahiran penuh historis yang mereka cintai, justru tidak diakui sebagai milik mereka. Hal yang absurd dan tidak masuk akal. Republik yang lahir jauh setelah keberadaan mereka di sana, justru tega menggusur dan bersikap agresif. Padahal Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang diberi amanah oleh Allah Swt. untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, ia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Namun, pemimpin beriman yang amanah terpercaya yang tidak menggusur rakyatnya tidak akan ditemui dalam sistem sekularisme kapitalisme demokrasi. Ia hanya akan ada dalam sistem Islam. Sebab, aturan, cara berpikir, dan perasaan setiap orang yang ada di dalam sistem Islam itu satu, yakni berpola pikir Islam, memiliki perasaan Islam, dan menerapkan aturan Islam berlandaskan pada akidah Islam yang lurus. Oleh karenanya, investasi atas kepemilikan umum dan kebutuhan hajat hidup orang banyak, tidak akan diberikan kepada swasta, apalagi asing maupun aseng.
Begitu juga hak kepemilikan pribadi seperti lahan/tanah yang didiami, dijamin oleh negara. Tentunya Negara yang dimaksud adalah negara yang menerapkan sistem Islam dalam institusi Khil4f4h. Sudah saatnya kita menghentikan kezaliman terhadap rakyat oleh penguasa–pengusaha. Sudah saatnya kita menghentikan cengkeraman neo imperialisme. Sudah saatnya kita menghapus jerit tangis warga Rempang dan konflik lahan lainnya dengan syariat Islam kafah, yakni dengan memperjuangkan kembali institusi yang pernah dibangun oleh Rasulullah saw. di Madinah al Munawwarah. Wallahu a’lam.