Peran Keluarga dalam Pencegahan Kekerasan Seksual, Apa Kabar Negara?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Suyatminingsih, S.Sos.I.
(Kontributor CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Generasi muda adalah tulang punggung peradaban kehidupan, mereka diharapkan mampu mengubah suatu peradaban kehidupan yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih berkompeten, terutama dalam mewujudkan kesejahteraan serta keseimbangan kehidupan. Apa jadinya jika generasi muda kita mengalami ketidakstabilan diri, baik secara fisik maupun psikis, seolah ada luka yang meninggalkan goresan tajam dalam dirinya. Apakah akan bisa tercipta suatu peradaban kehidupan yang lebih baik jika kita mempunyai generasi muda yang lemah?

Keluarga merupakan wadah kecil yang menjadi tempat pembentukan karakter seseorang (anak). Selain itu, keluarga juga merupakan tempat yang sewajarnya memberikan rasa aman, nyaman, dan ketenangan hidup seseorang dalam berbagi rasa atau menjalin hubungan emosional serta sosial yang kuat. Akan tetapi, gambaran keluarga semacam ini apakah sepenuhnya kita temui saat ini? Tujuan dan fungsi keluarga seolah terasa hambar karena nilai-nilai yang ada dalam sebuah keluarga telah bergeser bahkan jauh dari ketentuan agama, mengapa demikian?

Seperti yang telah kita ketahui bahwa berbagai tindak kriminalitas terjadi di masyarakat, pada dasarnya bukanlah sepenuhnya keteledoran cara kerja atau sistem sebuah keluarga, tetapi lebih besar dari itu karena kualitas kebijakan yang ditanamkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satu tindak kriminalitas yang makin hari makin melonjak angkanya adalah tindak kekerasan seksualitas. Mengenai hal ini, Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Indra Gunawan mengatakan, “Mencegah terjadinya kekerasan seksual dapat dimulai dari keluarga, sebab keluarga sebagai lembaga terkecil yang aman bagi setiap anggota, bisa melindungi anak-anak mereka dari kekerasan seksual. Peran keluarga dalam pencegahan dapat dimulai dari memberikan edukasi kepada seluruh anggota keluarga terutama anak-anak serta membangun komunikasi yang berkualitas bagi anggota keluarga.” (IDN Times, 16-8-2023).

Apakah hal demikian bisa terwujud jika tayangan-tayangan televisi bebas dinikmati meski tidak mengedukasi para generasi muda? Belum lagi dengan adanya berbagai konten dan podcast-podcast yang bertebaran di sosial media masih jauh dari kelayakan untuk dikonsumsi publik. Di sisi lain, segala macam bentuk kebijakan pemerintah pun kerap menjauhkan generasi muda dari agama. Lalu apakah sudah benar jika keluarga dijadikan tolok ukur pengurangan atau penghapusan tindak kriminalitas kekerasan seksual, sedangkan lingkup yang lebih besar tidak memberi wadah yang layak bagi kehidupan keluarga sebagai wadah terkecil dari tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara?

Iceberg Problem

Kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, remaja, bahkan dewasa masih banyak terjadi di Indonesia. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sepanjang Januari hingga Mei 2023 terdapat jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminalitas yang terjadi pada anak mencapai 9.645 kasus dan data tersebut telah menduduki peringkat pertama dengan 4.280 kasus, lalu diikuti dengan kekerasan fisik 3.152 kasus serta kekerasan psikis mencapai 2.053 kasus (metrotvnews.com, 24-6-2023).

Hal ini membuktikan bahwa hukum atau kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah belum bahkan tidak memberi solusi terbaik atau tidak solutif. Fakta bahwa angka kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak mengalami pengurangan, tetapi justru mengalami peningkatan angka kejadian dengan berbagai motif yang bermacam-macam, seolah mempresentasikan begitu keruh penanganan kasus ini dan menampakkan compang-campingnya akibat yang akan ditimbulkan dan dialami oleh para korban di jenjang kehidupan mereka yang akan datang. Hal ini jelas merupakan bukti nyata tidak kompetennya pemerintah dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Selain itu, jika kita tengok kembali terkait sorotan Menteri KemenPPPA bahwa anak yang menjadi korban kekerasan seksual enggan menceritakan apa yang telah terjadi padanya karena takut menjadi aib dan mencoreng nama keluarga (Repubkika.co.id, 27-8-2023). Maka bisa dikatakan bahwa kasus kekerasan seksual yang telah terdata merupakan segelintir kasus yang bisa terendus oleh pemerintah karena korban atau pihak korban melapor terkait tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Dengan demikian, ada kemungkinan masih banyak kasus yang belum muncul ke permukaan sebab mindset rakyat yang terlalu sempit dan lebih mengkhawatirkan penilaian masyarakat daripada kesehatan fisik maupun psikis diri sendiri. Ibarat iceberg problems yang sangat membutuhkan solusi terbaik dan menghasilkan penyelesaian yang nyata (solutif).

Buah Ideologi Sekularisme

Kasus kekerasan seksual terjadi bukan tanpa sebab. Hingga hari ini, kasus kekerasan seksual menjadi iceberg problem. Kekerasan seksual adalah buah akibat dari penerapan ideologi sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan sebagai akidah demokrasi. Sekularisme telah menanamkan pemahaman yang keliru bahkan sesat kepada manusia sehingga mereka mempunyai pola pikir yang bebas bablas (liberal). Segala yang manusia lakukan tidak distandartkan pada standart yang haq (agama) sebagai aturan kehidupan, tetapi mereka lebih meletakkan standart kehidupan berdasarkan pada nafsu diri.

Dengan ideologi yang demikianlah timbul berbagai tontonan yang tak layak dijadikan tuntunan, baik untuk anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Meski negara telah membuat berbagai kebijakan hingga membentuk badan pengawas serta penanganan terkait segala macam tayangan di televisi maupun media sosial (KPI), banyak terbentuk LSM atau badan untuk melindungi anak, serta berbagai program untuk menunjang terbentuknya kehidupan yang bermasyarakat dan bernegara dengan aman, semua itu tidak membuahkan hasil yang lebih baik karena ideologi yang diyakini masih merupakan ideologi kufur, sekularisme.

Mencermati beberapa keterangan di atas, sudah tampak jelas bahwa peran keluarga bukanlah titik tumpu utama sebagai subjek dalam mengurangi atau menghapus adanya kasus tindakan kekerasan seksual yang kerap terjadi. Sedangkan jika ditinjau dari pelaku tindakan kekerasan seksual adalah dominan orang terdekat korban. Hal itu sesuai dengan pernyataan dari anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dan Asosiasi Psikologi Forensuk (APSIFOR) Ratri Kartikaningtyas (Republika.co.id, 27-8-2023).

Dari segi hukum pun demikian, hukum yang berlaku di sistem sekularisme adalah hukum warisan para penjajah dan dipoles oleh orang-orang yang berideologi kapitalisme. Lengkap sudah kebobrokan yang mengakibatkan ketidakseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat hingga bernegara. Tidak sedikit kita temui di lapangan bahwa hukum lebih berpihak pada yang beruang, hukum negara mudah dibeli, ditawar dan ketidakadilan pun tampak jelas pada pemberian sanksi yang kurang bahkan tidak tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. Akibatnya, pelaku tindak kekerasan seksual tidak merasakan jera atas perbuatannya, maka tidak heran jika kasus yang sama selalu terjadi berulang meski dengan motif yang berbeda.

Penyelesaian Sahih

Semua jenis narasi yang digaungkan oleh pemerintah tidaklah membuahkan hasil yang signifikan selama pola pikir dan ideologi yang diemban adalah ideologi kufur. Lalu bagaimana mungkin keluarga sebagai wadah terkecil dalam tatanan bernegara diharuskan berupaya dalam mengurangi atau menghapus terjadinya tindak kekerasan seksual?

Sebuah keluarga tidaklah mampu berdiri sendiri karena mereka butuh lingkungan untuk tempat tinggal, yakni kehidupan bermasyarakat. Masyarakat yang mempunyai pola pikir, perasaan, dan peraturan yang sama, yakni syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat akan membentuk suatu pola yang menerapkan amar makruf nahi mungkar, yaitu saling mengajak berbuat baik dan saling mengingatkan atau melarang melakukan kejaharan sehingga dengan demikian tercipta suatu kehidupan yang seimbang dan tidak ada manusia yang menstandarkan kehidupannya pada nafsu diri semata.

Selain itu, Islam juga mempunyai tiga pilar yang harus ditegakkan sebagai upaya pencegahan dan menjamin terlindunginya kehidupan rakyat, antara lain:
Pertama, membentuk individu yang bertakwa, yaitu individu yang lahir dan diriayah oleh keluarga yang bertakwa, menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan. Dari merekalah cikal bakal lahirnya individu-individu yang saleh, yang terikat dengan Islam secara kafah dan enggan melakukan maksiat. Karakter keluarga yang seperti ini bisa menutup celah perbuatan munkar, menutup celah tindak kekerasan seksual baik dari lingkup keluarga sendiri maupun masyarakat.

Kedua, masyarakat yang mempunyai pemikiran, perasaan, dan berkenan diatur oleh aturan yang sama, yakni aturan Islam kafah sehingga mampu menciptakan kehidupan yang selalu menerapkan amar makruf nahi mungkar. Dengan demikian, anggota masyarakat pun tidak akan mempunyai sikap yang individualis karena satu sama lain saling menjaga dan hanya taat serta menstandarkan keinginan serta tujuan hidup karena Allah Swt..

Ketiga, negara membuat dan menetapkan sanksi tegas sehingga keadilan tercapai, yakni menerapkan sistem sanksi dalam Islam seperti adanya zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Hal ini dilakukan agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan pemberian sanksi (hukuman) kepada pelanggar dihukum sehingga sanksi tersebut sebagai penebus dosa yang pernah dia lakukan.

Dengan demikian, kehidupan yang mampu menjamin kesejahteraan, kenyamana hidup, keselamatan dari kemungkaran serta mampu melindungi rakyat hanyalah kehidupan yang di dalamnya diterapkan aturan Islam secara kafah. Wallahu a’lam. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *