Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Dalam Islam, pajak atau dharibah hanya dikenakan kepada orang yang mampu saja, bukan diterapkan secara merata tanpa pandang bulu. Dharibah dipungut jika kas negara benar-benar kosong dan digunakan untuk membiayai kebutuhan vital negara. Dharibah ini sifatnya temporer dan hanya dikenakan kepada orang-orang yang mempunyai surplus kekayaan dan tidak digunakan untuk kebutuhan pokoknya.
CemerlangMedia.Com — Kenaikan pajak sering kali diklaim sebagai langkah strategis negara untuk mendukung pembangunan yang nantinya akan berdampak pada kesejahteran rakyat. Namun, bagi sebagian besar rakyat kecil, kebijakan ini justru menjadi beban yang sulit dihindari.
Ketika biaya hidup terus meningkat tanpa diimbangi dengan kenaikan pendapatan, masyarakat lapisan bawah hidup dalam ekonomi yang makin mengimpit. Pajak menjadi mimpi buruk yang menghantui kehidupan. Harapan rakyat makin memudar, digantikan kekhawatiran akan masa depan yang makin tidak menentu.
Meskipun begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebelumnya 11 persen menjadi 12 persen tahun depan. Menurutnya, hal ini telah diatur dalam pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) (Republika.co.id, 14-11-2024).
Tak ayal, kebijakan ini mendapatkan protes keras masyarakat. Petisi menolak kenaikan PPN menggema di kalangan warganet. Hal ini lantaran dinilai makin membebani rakyat di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menyebabkan tingginya pengangguran. Akun X @barengwarga pada Selasa (19-11-2024) dalam cuitannya meminta pemerintah untuk segera membatalkan kenaikan tarif PPN (CNN.indonesia, 21-11-2024).
Wajar saja rakyat protes. Pasalnya, kenaikan PPN akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, terutama makanan dan minuman. Perusahaan akan membebankan kenaikan PPN ini kepada konsumen. Jadi, masyarakat yang akan terkena langsung dampak kenaikan PPN ini, padahal kondisi daya beli masyarakat saat ini sudah sangat lesu. Jika kenaikan tarif PPN tetap dilakukan, kondisi ekonomi masyarakat akan makin merosot.
Beban Pajak
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak konsumsi. Hal ini berarti semua orang membayar jumlah yang sama, baik kaya maupun miskin. Akibatnya, masyarakat miskin akan makin terbebani karena akan menghabiskan pendapatan mereka untuk kebutuhan sehari-hari.
PPN menjadi andalan negara, sebab PPN mudah dipungut. Setiap orang yang membeli barang dan jasa akan langsung dikenai PPN. Artinya, pajak ini akan dikenakan langsung kepada konsumen sehingga siapa pun yang membeli barang dan jasa akan secara otomatis ikut menyumbang kepada negara melalui PPN tersebut, sebab pembayaran dalam transaksi sudah termasuk PPN.
Selain itu, PPN efektif menambah kas negara secara cepat. Hal ini lantaran PPN mempunyai mekanisme pemungutan secara otomatis serta cakupannya yang luas. Makin tinggi konsumsi masyarakat, maka makin tinggi pula pajak yang diterima oleh negara.
Terlebih lagi, PPN dikumpulkan tanpa penundaan. Hal ini berbeda dengan pajak penghasilan yang dipungut secara berkala (setiap bulan ataupun setiap tahun). PPN dikumpulkan setiap kali ada transaksi, jadi memungkinkan adanya aliran dana secara terus-menerus ke kas negara.
Ironisnya, sistem yang sedang dijalankan di negeri ini (sistem kapitalisme) memaksa negara untuk mencari pendapatan dalam waktu cepat. Oleh karenanya, menaikkan tarif PPN adalah opsi yang dianggap tepat walaupun dampaknya memberatkan masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Ketidakadilan Sistem
Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber pendapatan negara. Di sisi lain, tujuan utama dalam sistem ini adalah keuntungan dan pertumbuhan ekonomi. Sistem ini meniscayakan negara seolah berfungsi sebagai pengelola perusahaan besar yang tugas utamanya adalah memastikan roda ekonomi tetap berjalan dan menghasilkan keuntungan.
Dalam mengelola “bisnisnya”, negara dalam sistem kapitalisme menjaga stabilitas ekonomi dengan cara mendorong investasi, ekspor, dan konsumsi masyarakat. Hal ini untuk memastikan pendapatan negara terus bertambah.
Selain itu, dalam hal pengelolaan anggaran, negara senantiasa menyeimbangkan anggaran dengan meningkatkan pendapatan, misalnya menaikkan pajak dan mengendalikan pengeluaran, seperti mencabut subsidi. Inilah cara kerja sistem kapitalisme untuk menjaga stabilitas ekonomi dan meningkatkan pendapatan negara.
Di sisi lain, sistem kapitalisme sekularisme sering kali mengabaikan pertimbangan sosial. Hal ini diakibatkan karena sistem ini berlandaskan pemisahan nilai agama dengan kehidupan sehingga nilai kemanusiaan terbaikan. Negara seolah dibuat tidak peduli terhadap jeritan perut kosong rakyatnya.
Tujuan pertumbuhan ekonomi lebih diprioritaskan daripada dampak kebijakan ekonomi, seperti kenaikan PPN. Sistem ini menggilas kaum lemah demi berputarnya roda perekonomian nasional. Akibatnya, kesenjangan sosial tidak terelakkan. Kelompok ekonomi bawah makin tidak mampu menjangkau segalanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Demikianlah konsekuensi hidup di alam kapitalisme sekularisme. Kenaikan PPN di tengah kondisi daya beli masyarakat yang merosot adalah pukulan telak bagi rakyat. Hal ini pula menjadi tantangan para pelaku usaha. Mereka menjadi dilema, apakah akan menaikkan harga jual atau mengurangi biaya operasional. Sementara bahan baku akan naik sebagai dampak kenaikan PPN.
Tentu saja kondisi seperti ini dapat memicu risiko penutupan usaha. Jika ini terjadi, pertumbuhan ekonomi nasional terhambat dan kemiskinan akan tumbuh subur di negara ini. Untuk itu, diperlukan perubahan mendasar dan terstruktur guna memperbaiki kemelut ekonomi bangsa ini.
Islam Adalah Harapan
Kebijakan kenaikan PPN jelas bertentangan dengan Islam, terlebih di tengah kondisi daya beli masyarakat yang sudah menurun. Hal ini merupakan bentuk kezaliman penguasa terhadap rakyat, terutama masyarakat ekonomi lemah.
Uqbah bin Amir ra. berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. berkata, ‘Tidak akan masuk surga orang-orang yang mengambil pajak secara zalim.’” (HR Abu Daud II/147 no. 2937).
Lebih jauh, kenaikan PPN ini tidak sejalan dengan prinsip Islam. Sebab, Islam pantang untuk membebani seseorang di luar kemampuannya, sebagaimana firman Allah Swt. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (QS Al-Baqarah[2]: 286).
Dalam Islam, pajak darurat atau dharibah hanya dikenakan kepada orang yang mampu saja, bukan diterapkan secara merata tanpa pandang bulu. Dharibah dipungut jika kas negara benar-benar kosong dan digunakan untuk membiayai kebutuhan vital negara. Dharibah ini sifatnya temporer dan hanya dikenakan kepada orang-orang yang mempunyai surplus kekayaan dan tidak digunakan untuk kebutuhan pokoknya.
Berkaitan dengan hal ini, Islam mempunyai sumber pendapatan negara yang halal dan tidak membebani rakyat. Sumber pemasukan negara, di antaranya adalah zakat yang merupakan kewajiban syariat dan dikenakan kepada harta tertentu, seperti emas, perak, hasil peternakan, hasil pertanian dan perdagangan.
Peruntukan zakat pun sudah ditentukan oleh Allah Swt.,
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah.” (QS At-Taubah: 60).
Sumber pendapatan negara lainnya adalah dari hasil pengelolaan kepemilikan umum. Dalam hal ini, yang termasuk kepemilikan umum adalah sumber daya alam. SDA seperti tambang, minyak, gas, dan hutan adalah milik umum yang harus dikelola negara untuk kemaslahatan umat. Hal ini terungkap dalam sabda Rasulullah saw.,
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput (gembalaan), dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140).
Selain itu, sumber pendapatan negara lainnya dalam Islam termasuk jizyah, fai, dan usyur. Jadi, sumber pemasukan negara Islam tidak berpatokan pada pajak dan utang. Hal ini sangat berbeda dari sistem kapitalisme.
Demikianlah prinsip-prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin. Bersama Islam, seluruh alam akan damai. Islam adalah satu-satunya sistem yang menjadi harapan untuk menyejahterakan hidup manusia karena sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan menenangkan hati. Wallahu a’lam.