Oleh: Novianti
CemerlangMedia.Com — Dua hari berturut-turut peristiwa bunuh diri terjadi pada mahasiswa. Sebagaimana dikutip dari republika.co.id (13-10-2023), seorang mahasiswi di Semarang mengakhiri hidupnya. Keesokan harinya seorang mahasiswi asal Kapuas Kalimantan Tengah ditemukan meninggal di tempat kosnya.
Sebelumnya, seorang mahasiswi UNY (18) yang diduga depresi memilih mengakhiri hidupnya. Di sebuah universitas bergengsi yang para mahasiswanya dikenal cerdas pun, ternyata ada yang memilih mati karena tidak sanggup menghadapi persoalan hidup (tempo.co.id, 17-10-2023).
Realitas ini tentunya sangat menyesakkan dada. Sosok mahasiswa yang dipandang memiliki intelektualitas, di pundaknya tersemat harapan calon pemimpin masa depan, ternyata banyak yang berjiwa lemah. Tidak sanggup menanggung beban yang dianggap terlampau berat, akhirnya memilih jalan pintas yang tragis.
Bagaimana Mencegahnya?
Kasus bunuh diri di dunia pendidikan tentunya mengundang keprihatinan banyak pihak. Prof. Nizam selaku Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbud Ristek menawarkan solusi dengan menghadirkan perguruan tinggi yang sehat, aman, dan nyaman (SAN). Masyarakat juga diminta untuk peduli terutama kepada mahasiswa yang berasal dari luar daerah (koranbernas.id, 08-10-2023).
Beberapa kampus lain melakukan berbagai cara. Misalnya Universitas Indonesia, mengadakan webinar bertajuk “Temanku Ingin Bunuh Diri”. Para mahasiswa memperoleh pemahaman dan panduan bagaimana membantu orang terdekat yang menunjukkan indikasi bunuh diri. Sementara itu Universitas Negeri Malang membuka layanan Peer Counseling Corner (PCC). Tujuannya agar mahasiswa memiliki tempat untuk bercerita ketika stres sehingga masalah tidak dibiarkan menumpuk dan segera tertangani.
Psikolog Dr. Imelda Ika Dian Osi, M.Psi., lebih menekankan pada edukasi. Mahasiswa harus mendapat sosialisasi tentang kesehatan mental serta peka terhadap gejala ke arah bunuh diri. Kampus harus membuka layanan kesehatan mental, yakni mahasiswa bisa mengakses dengan mudah dan cepat pada saat membutuhkan. Namun, apakah gagasan tersebut ampuh untuk menekan angka bunuh diri?
Faktor Internal & Eksternal
Jumlah bunuh diri di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data Kepolisian RI, sejak Januari hingga Juli 2023, jumlahnya naik 31,7% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Tentu ini sangat memprihatinkan apa lagi terjadi di kalangan mahasiswa.
Pemicu seorang mahasiswa mengakhiri hidupnya bermacam-macam. Di antaranya karena masalah keuangan, hubungan dengan dosen, persoalan akademis, permasalahan dengan teman, masalah percintaan, dan gangguan kesehatan. Terlebih banyak mahasiswa yang baru pertama kali berpisah dari keluarga. Di saat harus beradaptasi dengan lingkungan baru, juga dituntut untuk menyelesaikan berbagai persoalan tanpa ada pendampingan.
Tatkala masalah terus menumpuk sedangkan pikiran buntu, mulailah berbagai macam perasaan. Merasa tidak berguna, terkurung, kesepian, kecemasan, gangguan tidur, sampai akhirnya tidak memiliki alasan untuk apa bertahan hidup ketika menjadi beban bagi orang lain.
Secara umum, ada dua penyebab bunuh diri yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal yang paling berpengaruh adalah rapuhnya keimanan yang berakibat lemahnya jiwa. Tidak ada pemahaman tentang tujuan dan konsep hidup. Akibatnya, saat dihadapkan pada berbagai masalah, mudah putus asa dan seolah tidak memiliki keyakinan pada Allah Swt.. Kurikulum yang diterapkan di perguruan tinggi pun tidak menyentuh persoalan keimanan. Mahasiswa hanya dijejali dengan berbagai pengetahuan agar siap menjadi pekerja industri. Tidak ada penginstalan visi misi besar sehingga lahir sosok mahasiswa dengan identitas diri yang kokoh, bermental baja, memiliki cita-cita tinggi berdimensi dunia dan akhirat.
Sementara faktor eksternal, bisa dari pola pengasuhan orang tua dan lingkungan. Orang tua yang terlalu banyak menuntut, tidak harmonis, bisa memengaruhi mental seorang anak. Stressor lingkungan yang menyumbang pengaruh paling besar adalah negara. Bagaimana tidak? Kebijakan negara mengakibatkan biaya hidup dan biaya pendidikan perguruan tinggi terus melambung. Bagi anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan, selain kuliah, harus pula memikirkan cara bertahan hidup. Sementara godaan materi bagaikan magnet yang mendorong perilaku hedonis. Maraknya pinjaman online merupakan tawaran menggiurkan untuk menyelesaikan persoalan secara instan.
Di tengah tuntutan kurikulum yang padat, mahasiswa berada dalam pusaran materialistis yang mengukur kesuksesan berdasarkan angka. Dengan jiwa kosong, mahasiswa terseret dalam pusaran persoalan sehingga rentan stres. Mereka tidak menemukan jawaban akan pertanyaan untuk apa harus bertahan hidup di tengah persoalan yang sudah bagaikan benang kusut.
Sistem Islam Melindungi Jiwa
Kasus bunuh diri sudah menjadi wabah global yang kronis. PBB mengumumkan dalam setiap detik ada 4 orang yang melakukan bunuh diri, ada 800 orang setiap tahunnya. Ini menunjukkan kegagalan sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan berbagai negara saat ini termasuk oleh Indonesia.
Lalu bagaimana Islam memandang realitas tersebut? Islam adalah agama yang memiliki konsep dan sistem yang dapat mencegah serta meminimalkan tindakan bunuh diri.
Islam mengecam tindakan bunuh diri. Rasulullah saw. bersabda, “Dahulu ada seorang laki-laki sebelum kamu yang mengalami luka, lalu dia berkeluh kesah, kemudian dia mengambil pisau, lalu dia memotong tangannya. Kemudian darah tidak berhenti mengalir sampai dia mati. Allah Swt. berfirman, ‘Hamba-Ku mendahului-Ku terhadap dirinya, Aku haramkan surga baginya’.” (HR Al-Bukhari).
Islam juga memiliki solusi untuk setiap masalah. Sistem Islam tidak membiarkan seseorang kebingungan lalu akhirnya putus harapan. Penguasa dalam sistem Islam, bagaikan ayah bagi setiap rakyatnya yang hadir untuk membangun harapan.
Dengan sistem politik yang menerapkan syariat Islam secara kafah, seorang penguasa tidak boleh membuat kebijakan yang membebani rakyat bahkan rakyat harus disejahterakan. Dengan pengelolaan sumber daya alam, tidak ada kantong-kantong kemiskinan yang tumbuh subur seperti dalam sistem sekuler kapitalisme.
Sistem ekonomi Islam mengatur agar orang-orang kaya memiliki kepedulian terhadap kelompok miskin. Negara mengatur distribusi kekayaan, di antaranya melalui pembagian zakat dari kalangan orang-orang kaya sehingga tidak ada jurang antara orang kaya dengan orang miskin. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Dengan mengakses layanan tersebut, orang-orang miskin memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan mengangkat martabat keluarga.
Lembaga pendidikan menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam. Setiap orang memperoleh pemahaman tentang tiga pernyataan besar, yaitu dari mana berasal, untuk apa hidup, dan akan ke mana setelah di dunia ini. Jawaban yang memuaskan akal dari Al-Qur’an akan menumbuhkan sosok optimis yang menapaki hidup dengan tujuan mengharap rida Allah semata. Siapa pun akan diuji, tetapi sikapi dengan syukur dan sabar. Bertawakal kepada Allah, semua pasti akan terlewati.
Demikianlah mekanisme Islam mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan keadilan yang dibutuhkan manusia saat ini. Oleh karenanya, penerapan sistem Islam tidak dapat ditunda untuk mengembalikan harapan, khususnya mahasiwa bahwa hidup di dunia jangan disia-siakan demi meraih surga di akhirat nanti. [CM/NA]