Oleh: Purwanti
(Ibu Generasi)
CemerlangMedia.Com — Pemerintah Indonesia melakukan kesepakatan kerja sama dalam bidang pertanian dengan pemerintah Cina melalui Menteri Luar Negerinya Wang Yi. Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa kesepakatan ini dalam rangka mewujudkan swasembada pangan dan terbebasnya Indonesia dari impor beras dengan mengembangkan lahan sawah seluas 1 juta hektare di Kalimantan Tengah (voaindonesia.com, 27-04-2024).
Tuai Kritikan
Rencana pemerintah Indonesia menggandeng Cina untuk mengembangkan satu juta lahan sawah hanya akan mengulang kegagalan yang telah terjadi selama tiga dekade terakhir dan hal tersebut tidak realistis. Jika pengembangan lahan sawah tersebut menjadi bagian dari program food estate, banyak pakar yang meragukannya.
Program food estate sendiri adalah proyek pengelolaan lahan pangan berskala besar. Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santosa bahwa ada empat pilar pengembangan food estate, yaitu,
Pertama, kecocokan tanah dan iklim dengan komoditas tanaman yang ditanam. Sayangnya, banyak proyek food estate yang melanggar pilar pertama ini dan hasilnya adalah kegagalan.
Kedua, infrastruktur pertanian termasuk di dalamnya, yaitu irigasi, jalan usaha tani dari sisi mobilitas alat dan mesin pertanian, serta pengangkutan hasil produksi ke tempat pengumpulan.
Ketiga, budaya budi daya dan teknologi. Hal tersebut mencakup bagaimana budaya bertani masyarakat setempat dan ketersediaan varietas yang cocok untuk ditanam. Lebih dari itu, teknologi untuk pengendalian hama, pemupukan, dan pengelolaan lahan gambut atau lahan yang dengan tingkat keasaman rendah penting diperhatikan.
Keempat, sosial dan ekonomi yang menyangkut tenaga kerja dan perhitungan keuntungan badan usaha.
Menurutnya, jika salah satu dari empat pilar tersebut tidak dipenuhi, maka proyek food estate akan mengalami kegagalan.
Hal senada juga disampaikan oleh direktur eksekutif lembaga riset The Prakasra Ah Maftuchan. Menurutnya, proyek-proyek food estate yang diluncurkan pemerintah selama ini hanya berkeinginan memiliki lahan yang besar, tetapi bingung mencari pekerjanya. Akhirnya, pemerintah memberdayakan tentara yang notabene tidak memiliki skill bercocok tanam (bbc.com, 26-04-2024).
Negara Lepas Tangan
Keseriusan pemerintah dalam mewujudkan food estate perlu dipertanyakan. Ditambah lagi, pemerintah akan menggandeng Cina dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Mengapa harus Cina?
Sebagaimana diketahui bahwa teknologi pertanian Cina tidak perlu diragukan lagi. Cina telah mendulang kesuksesan menjadi negara swasembada pangan sejak seorang ilmuwan sekaligus petani Yuan Longping yang berhasil mengembangkan padi hibrida pada tahun 1964. Pada tahun 1970-an, Cina berhasil mencegah kelaparan di negara itu dan kini sudah menyebar ke berbagai negara, seperti Vietnam, Madagaskar, Bangladesh, dan beberapa negara lainnya.
Padi hibrida yang menjadi ungggulan negeri Tirai Bambu ini sejatinya sudah pernah dibudidayakan di Indonesia. Akan tetapi, hasilnya mengecewakan para petani. Padi hibrida yang ditanam rentan terhadap penyakit dan para petani kesulitan mendapatkan benihnya dikarenakan harga mahal dan stok terbatas. Lantas, apakah keinginan pemerintah meminta bantuan Cina dapat menekan hal tersebut?
Sejatinya, problem harga beras mahal di tanah air bukan dikarenakan kekurangan lahan dan bibit. Akan tetapi, biaya usaha tani yang mahal termasuk di dalamnya biaya sewa lahan dan biaya tenaga kerja. Lebih lagi, negara dalam sistem kapitalisme menjalankan fungsi sebagai regulator, bukan pelayan. Pemerintah hanya berambisi besar memiliki lahan sawah yang luas, tetapi minim dukungan dari sisi penyediaan lahan yang layak, bibit, dan pupuk murah yang berkualitas.
Problem lain yang dihadapi oleh para petani, yakni harga gabah yang murah dan tidak sebanding dengan biaya produksi. Situasi ini menjadikan keinginan petani untuk menanam lagi pun pupus karena hanya berujung kerugian, padahal lahan sawah di Indonesia begitu luas. Namun sayang, karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap petani, sedikit demi sedikit, masyarakat Indonesia meninggalkan profesi sebagai petani.
Jika melihat minat masyarakat Indonesia yang enggan menjadi petani, khususunya generasi muda, besar kemungkinan kerja sama dengan Cina tidak hanya di bidang teknologi, tetapi juga dari tenaga kerja. Sebagaimana diketahui, yang paling memahami sebuah teknologi itu pastinya pembuatnya. Petani Cina tentu lebih menguasai teknologi pertaniannya dibandingkan petani Indonesia. Akhirnya, kerja sama ini hanya akan melanggengkan cengkeraman Cina atas Indonesia.
Hal tersebut tentunya tidak lepas dari tabiat kapitalisme, pemerintah membuat kebijakan hanya demi mendapatkan untung besar. Pemerintah lebih suka berprikir praktis tanpa mau menyelesaikan permasalahan dari dasarnya. Problem kekurangan stok beras diselesaikan dengan impor. Hasil panen menurun, mengadopsi teknologi pertanian dari negara lain, padahal jika pemerintah serius menyelesaikan problem pertanian, hanya butuh memberikan perhatian yang serius terhadap sektor pertanian dan petani.
Islam Punya Solusi
Islam memiliki pandangan yang berbeda dengan sistem kapitalisme dalam hal pangan. Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar rakyat yang pemenuhannya wajib dijamin negara. Dengan demikian, negara wajib mengurusi, mulai dari hulu sampai hilir, yakni mulai dari penanaman, pemanenan, pengolahan, pengemasan, distribusi, hingga sampai ke tangan rakyat sebagai konsumen.
Oleh karena itu, tanggung jawab pemenuhan pangan ini tidak boleh diserahkan kepada swasta, apalagi asing atau aseng. Jika sektor pangan dikuasai swasta, mereka akan memonopoli dan dengan sesuka hati menaikturunkan harga sehingga rakyat akan kesulitan.
Konsep yang benar terkait pangan hanya ada dalam sistem Islam. Di dalam Islam, seorang pemimpin negara diposisikan sebagai penguasa sekaligus pengurus. Hal tersebut tentu berbeda dengan sistem kapitalisme (yang berkuasa saat ini), negara berposisi sebagai pembuat aturan, bukan pengurus rakyat. Sedihnya, aturan yang dibuat hanya untuk mengabdi kepada kepentingan segelintir pihak.
Islam melalui negara Islam memiliki sejumlah mekanisme untuk mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung kepada swasta. Beberapa mekanisme yang akan diwujudkan, antara lain pemerintah akan mengoptimalkan kualitas produksi pangan, baik ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Aktivitas ekstensifikasi bisa dilakukan dengan revitalisasi tanah mati sehingga lahan pertanian menjadi luas. Aktivitas intensikasi dilakukan dengan meningkatkan kualitas bibit, pupuk, dan menghadirkan teknologi terkini.
Negara mengeluarkan kebijakan pengendalian harga melalui mekanisme pasar dan mengendalikan supply dan demand bukan dengan mematok harga. Selain itu, negara juga akan mendistribusikan cadangan pangan dengan selektif bila ketersediaan pangan berkurang. Negara juga melakukan pengkajian mendalam tentang perubahan cuaca dan dampaknya sehingga negara siap dalam menghadapi perubahan iklim ekstrem.
Khatimah
Program food estate hanya akan terwujud jika negara mengambil sistem Islam. Allah akan menurunkan berkah yang berlimpah dari bumi dan langit ke suatu negeri jika Islam diterapkan secara kafah.
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan. Maka, kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” (TQS Al A’raf ayat 96).
Wallahu a’lam [CM/NA]