Oleh: Dr. Sara Respati
(Dosen, Peneliti, dan Pemerhati Publik)
CemerlangMedia.Com — Indonesia menyambut tamu-tamu KTT ASEAN 2023 yang diselenggarakan pada 5—7 September 2023 di Jakarta dengan penuh persiapan layaknya menyambut raja yang sangat dihormati. Hujan buatan (www.tempo.metro.co.id, 11-09-2023), pelaksanaan sekolah secara daring (www.kompas.com, 02-09-2023) serta kebijakan WFH bagi sebagian PNS (www.cnbcindonesia.com, 09-04-2023) dilaksanakan untuk mengondisikan udara ibukota, seakan tidak dalam situasi polusi ekstrem seperti pekan-pekan sebelumnya. Upaya ini mampu menyediakan udara sehat bagi para tamu kehormatan.
Selain itu, deretan acara bergengsi telah disusun secara rapi termasuk adanya agenda para undangan disuguhi makan malam terbaik beserta hiburannya di lokasi glamor (www.indonesia.go.id, 08-09-2023). Sungguh megah dan berkelas. Sayangnya, di balik segala kemewahan perhelatan tersebut, terdapat jutaan rakyat masih terimpit kemiskinan, ternaungi kebodohan, dan seribu masalah lainnya yang kian hari makin mencekik. Apakah terdapat relevansi antara penyelenggaraan KTT ASEAN ini dengan upaya untuk mengatasi masalah rakyat yang terlihat tanpa ujung?
Agenda Siapa?
Jika menilik agenda KTT ASEAN 2023, terdapat pertemuan antara negara ASEAN dan negara mitra yang sebagian besar termasuk negara maju. Agenda khusus dilaksanakan untuk membahas kerja sama antara negara ASEAN dan mitra ini, seperti KTT ASEAN—China dan ASEAN—Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengungkapkan dalam pertemuan ASEAN-China, para pemimpin sepakat untuk memperkuat kerja sama ekonomi dengan meningkatkan ASEAN—China Free Trade Area atau ACFTA menjadi 3.0 yang menambah fokus kerja sama pada ekonomi digital (www.kompas.com, 06-09-2023).
Dampak implementasi dari kebijakan ACFTA ini adalah Indonesia kebanjiran barang impor dari Cina yang makin mudah dipasarkan melalu digital marketplace, defisitnya neraca ekspor impor Indonesia—Cina yang menyebabkan menurunnya jumlah industri dalam negeri (deindustrialisasi), serta makin maraknya investasi baik dari Cina maupun negara maju lainnya.
Kerja sama dan investasi asing dalam balutan jargon globalisasi ini bagaikan angin segar bagi Indonesia. Namun, hal ini sejatinya merupakan ancaman imperialisme. Indonesia akan makin dicengkeram oleh negara-negara kapitalis dengan utang. Diketahui, hingga Juni 2023, total utang RI menembus Rp7.805,19 triliun (www.ekonomi.bisnis.com, 16-08-2023).
Waspada Jebakan Utang
Angka yang terus meroket karena akan ada utang berbalut investasi baru dan bunga yang terus berjalan. Dampak dari utang ini membuat Indonesia makin kerdil di mata para investor. Mirisnya, pemerintah melihat kerja sama internasional ini adalah sebuah prestasi karena ikut menyemarakkan globalisasi. Alih-alih mengentaskan kemiskinan atau persoalan rakyat lainnya, kerja sama ini akan menambah masalah, seperti banjirnya TKA Cina yang menyita lapangan kerja rakyat Indonesia, dan tidak siapnya pasar menerima serbuan barang impor. Negara lambat laun juga akan kehilangan kendali akan industri nasional karena kuasanya diambil oleh para investor.
Utang yang terus membengkak memperlihatkan bahwa pemerintah tak bisa lepas dari utang karena utang merupakan pemasukan utama dari negara yang berasaskan kapitalisme. Pemasukan utama lainnya yaitu dari pajak. Sistem utang ribawi ini sejatinya digunakan para investor asing sebagai senjata imperialisme yang terselubung. Pemberian utang kepada Indonesia atau negara berkembang lainnya mengizinkan para investor memiliki aset-aset yang sebenarnya dimiliki publik seperti barang tambang, sungai, laut, dan jalan raya.
Sistem Islam
Berbeda dengan negara yang berbasis pada Islam yang tidak mengenal kebebasan kepemilikan. Dalam Islam, kepemilikan harta dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Harta yang tergolong milik umum hanya boleh dikelola negara dan tidak boleh diperjualbelikan kepada individu atau swasta. Hasil pengelolaan harta milik umum dikembalikan kepada rakyat dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan rakyat lainnya. Negara hanya berperan sebagai pengelola harta milik umum yang hasilnya dapat diberikan secara gratis ataupun rakyat hanya perlu membayar sebatas menutupi biaya pengelolaannya saja. Sangat kontras dengan apa yang terjadi sekarang, yakni harta milik umum dikuasai para investor. Barang galian tambang di Indonesia mayoritas dikuasai bendera asing. Bukankah emas di Papua, Batubara dan minyak di Sumatera dan Kalimantan dikeruk asing?
Padahal Rasulullah saw. telah bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. “ (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Selain itu, jalan tol yang diswastakan dan pulau yang dijual ke asing adalah sedikit contoh bagaimana investasi ini merugikan negara. Mirisnya, pemerintah menyambut para investor ini dengan penuh hangat dan megah pada KTT ASEAN yang notabene dilaksanakan untuk melayani hawa nafsu asing untuk makin menguatkan cengkeramannya pada negara ini.
Sudah saatnya pemerintah dan rakyat memahami bahwa penjajahan saat ini tidak menggunakan senjata lagi, tetapi dengan kerja sama investasi. Sekaya-kayanya Indonesia dengan SDA melimpah dan dengan sebaik-baiknya pemimpin, tidak akan membuat negara ini lepas dari jeratan asing. Negara ini akan terus menjadi kue manis yang diperebutkan asing jika tidak mengubah asasnya. Oleh karena itu, diperlukan negara dengan tata kelola sesuai dengan syariat Islam agar negara ini mampu menjaga harta milik umum untuk kesejahteraan rakyatnya serta menjadi negara berdikari dan memiliki posisi tinggi dibandingkan negara dengan tata kelola kapitalisme.
Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]