Iuran BPJS Akan Naik, Tanda Kapitalisme Makin Tidak Laik?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh. Ns. Esti Budi Arti, S.Kep.
(Kontributor CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Pada September 2022 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 26,36 juta orang miskin di Indonesia. Seseorang dikategorikan miskin jika berada di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan, yaitu sebesar Rp535.547 per orang/bulan (Katadata.co.id, 16-1-2023). Lalu apa jadinya jika iuran BPJS akan dinaikkan? Dapatkah rakyat golongan miskin ini menikmati layanan fasilitas kesehatan?

Kenaikan Iuran BPJS

Muttaqien, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengatakan bahwa BPJS Kesehatan diperkirakan akan mengalami surplus aset neto sebesar Rp56,50 triliun pada Desember 2023. Namun, pada 2025 sebaliknya, BPJS Kesehatan diperkirakan akan mengalami defisit hingga 11 triliun sehingga diperlukan adanya penyesuaian tarif sebelum periode tersebut (Cnbcindonesia.com, 20-7-2023).

Pemerintah pun memastikan bahwa akan diberlakukan single tarif iuran atau kelas rawat inap standar (KRIS) yang menghapus sistem kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan. Sementara untuk saat ini peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dengan kontribusi dari pemerintah daerah sesuai dengan kekuatan fiskal masing-masing. Sedangkan untuk kelas 1 dikenakan iuran sebesar Rp150.000 per orang per bulan, kelas 2 sebesar Rp100.000 per orang per bulan, dan kelas 3 sebesar Rp35.000 per orang per bulan (Cnbcindonesia.com, 6-3-2023).

Kondisi Pelayanan Kesehatan untuk Peserta BPJS

Meskipun rutin membayar iuran setiap bulannya, tetapi pada praktiknya diskriminasi pelayanan acapkali diterima oleh pasien pengguna BPJS. Seperti dilansir dari laman Ombudsman.go.id (1-3-2023), pasien dengan pembiayaan sendiri dan asuransi cenderung lebih diutamakan, sementara pasien (pengguna) BPJS Kesehatan selalu dianaktirikan sebagaimana yang diungkapkan Robert Na Endi Jaweng, anggota Ombudsman RI. Dan diskriminasi pelayanan ini terjadi baik pada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL).

Dan yang menjadi permasalahan utama pada saat ini adalah adanya pembatasan kuota layanan terhadap pasien pengguna BPJS. Baik pembatasan pada durasi, jenis, dan kualitas pelayanan. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan baik dari segi kemampuan dan jumlah dokter yang bertugas ataupun ketersediaan ruangan dan alat medis dan adanya perbedaan pembiayaan bagi faskes.

Konflik Kepentingan RS

Penyebab utama dari pembatasan kuota pelayanan pasien BPJS dikarenakan proses pengajuan pencairan klaim BPJS seringkali mengalami keterlambatan. Proses verifikasi klaim dari BPJS Kesehatan dapat memakan waktu dua hingga tiga bulan (Bisnis.tempo.co, 13-2-2018). Sementara rumah sakit membutuhkan dana untuk menalangi biaya operasional harian seperti obat-obatan, alat medis, dan sebagainya. Di mana proses pengajuan klaim tagihan pasien pengguna BPJS oleh rumah sakit (RS) swasta yang bermitra dengan BPJS seharusnya hanya membutuhkan waktu 15 hari semenjak pengajuan.

Hal ini tentu memunculkan konflik kepentingan bagi RS swasta yang pada dasarnya berorientasi bisnis, yaitu untuk mendapatkan keuntungan, bukan sebagai lembaga sosial. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika akhirnya RS swasta lebih memprioritaskan pasien yang membayar secara tunai atau dengan asuransi dibandingkan pasien pengguna BPJS. Akhirnya pasien pengguna BPJS hanya dianggap sebagai “warga kelas dua” dibandingkan dengan mereka yang mampu merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas.

Kapitalisasi Sektor Kesehatan

Seharusnya tidak ada perbedaan pelayanan kesehatan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 34 ayat (3), “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Pasal ini mengamanatkan negara untuk bertanggung jawab dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak serta adil dan merata untuk semua kalangan, termasuk untuk masyarakat miskin. Namun, faktanya tidak demikian, rakyat harus mengeluarkan dana pribadi untuk mengakses pelayanan kesehatan. Hanya segelintir dana yang dikucurkan dari APBN dan APBD untuk sektor kesehatan.

Sudahlah membayar untuk pelayanan kesehatan, tetapi diskriminasi pun tidak bisa dielakkan. Kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan pun dinilai berdasarkan pada materi yang mampu dibayarkan. Tidak merata selayaknya amanat undang-undang.

Inilah buah dari kapitalisasi sektor kesehatan. Ketika urusan publik seperti masalah kesehatan tidak dikelola sepenuhnya oleh negara, tetapi dilimpahkan pada swasta, tentu rakyat yang menjadi korban. Lalu dengan berdalih BPJS akan mengalami kerugian, menaikkan tarif iuran seakan-akan menjadi satu-satunya jalan. Dan jika iuran BPJS akan dinaikan di tengah kenaikan jumlah rakyat miskin, tentu akan makin banyak rakyat yang kesulitan mengakses fasilitas kesehatan.

Islam Solusi Hakiki

Sejak masa Rasulullah saw. yang dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah, Islam telah mencontohkan pelayanan kesehatan dengan taraf yang maju. Pelayanan kesehatan yang berkualitas diberikan oleh Daulah (negara) Islam secara gratis kepada semua individu rakyat tanpa ada diskriminasi. Dengan seluruh pembiayaannya diambil dari kas negara (baitulmal). Ini karena di dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk sektor kesehatan di dalamnya. Nabi saw. bersabda,

اْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Banyak riwayat masyhur yang menceritakan tentang kualitas pelayanan kesehatan pada masa Daulah Islam. Sebutlah kisah seorang dokter yang dihadiahkan oleh Raja Mesir Muqauqis kepada Nabi saw.. Lalu Nabi saw. menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum muslim secara gratis. Contoh lainnya adalah Bimaristan, rumah sakit yang dibangun oleh Khalifah Nuruddin di Damaskus pada 1160. Rumah sakit tersebut telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis (Helpsharia.com, 20-1-2017).

Ketika begitu banyak bukti dan fakta yang menunjukkan keberhasilan Islam dalam memberikan pelayanan kesehatan berkualitas tanpa bayaran, lalu mengapa masih berharap pada sistem batil kapitalisme yang hanya menimbulkan masalah demi masalah? Bukankah ini saatnya kita kembali kepada sistem yang hakiki? Yaitu sistem Islam. Sistem yang hanya dapat diterapkan oleh institusi negara Khil4f4h Islamiyah.

Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *