Jerat Utang Cina Meninabobokan Negara Berkembang

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Rina Herlina
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com dan Pegiat Literasi)

CemerlangMedia.Com — Lagi-lagi Cina, negeri tercinta ini kerap kali bergantung bahkan mendewakan Cina. Seolah-olah jika berhasil menggaet dan melakukan kerja sama dalam berbagai bidang dengan negara Tirai Bambu tersebut adalah sebuah prestasi yang harus di apresiasi. Padahal faktanya Indonesia makin terjajah di semua lini.

Seperti dilansir (www.republika.id, 24-10-2023), PT PLN (Persero) Grup kabarnya berhasil mengantongi peluang kerja sama dalam bisnis kelistrikan bersama tujuh perusahaan dari negeri Tirai Bambu tersebut. Kerja sama ini mencakup pembangunan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) yang tujuannya untuk mendukung transisi energi.

Darmawan Prasodjo selaku Direktur Utama PLN menjelaskan bahwa saat ini perseroan sudah banyak melakukan transformasi bisnis. Pembentukan subholding adalah salah satunya sehingga peluang ekspansi bisnis dan optimalisasi aset menjadi sangat besar. Bahkan bukan hanya sebagai perusahaan penyedia listrik, PLN melalui transformasi tersebut memasang target menjadi perusahaan listrik terintegrasi kelas dunia.

Masih menurut Darmawan, dengan adanya subholding, maka bisa makin lincah dan trengginas dalam mengembangkan bisnisnya. PLN melalui adaptasi teknologi tidak hanya mengoptimalkan proses bisnis, tetapi juga membuat tantangan menjadi sebuah peluang. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa sebenarnya yang menyebabkan Indonesia sangat bergantung kepada Cina?

Ketergantungan Negara Berkembang

Indonesia yang notabene merupakan negara berkembang, memiliki ketergantungan cukup besar terhadap perkembangan teknologi dunia. Terjadinya ketergantungan ini dikarenakan Indonesia yang belum memiliki kemampuan untuk mengembangkan teknologi sendiri yang dapat bersaing di pasar internasional. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa tidak dapat dimungkiri saat ini, Cina merupakan mitra dagang dan investor terbesar Indonesia.

Seperti dikutip dari (theconversation.com, 24-9-2022) selama 2021 saja, nilai ekspor Indonesia ke Cina sudah mencapai US$63,63 miliar (Rp961,28 triliun) yang didominasi oleh ekspor bahan bakar nikel dan mineral. Begitu juga nilai impor dari Cina yang makin meningkat menjadi US$60,71 miliar dengan mayoritas adalah bahan baku yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas industri dalam negeri.

Di semester pertama 2022, impor Indonesia dari negeri Tirai Bambu tersebut sudah mencapai US$34,3 miliar yang didominasi oleh perangkat elektronik dan mekanik. Bahkan berbagai merk ponsel pintar (Smartphone) asal Cina seperti Vivo, Realme, OPPO, dan Xiaomi sudah menguasai 60 persen lebih pasar ponsel pintar yang ada di Indonesia.

Parahnya lagi, Cina saat ini sedang memimpin berbagai mega proyek pembangunan infrastruktur di tanah air. Salah satu mega proyek yang sedang dijalankan adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dengan nilai Rp8 miliar. Diperkirakan ini akan menjadi kereta cepat pertama di Asia Tenggara.

Indonesia juga mengalami peningkatan utang kepada Cina yang sangat signifikan, yaitu mencapai US$11,5 juta lebih. Bahkan ke-dua negara juga sudah menandatangani kesepakatan terkait penggunaan mata uang Yuan dan segera meninggalkan pemakaian dollar Amerika Serikat untuk semua transaksi Cina-Indonesia. Jalinan hubungan kerja sama kedua negara ini juga makin erat tatkala pandemi Covid-19 melanda Indonesia karena saat itu Cina menjadi pemasok vaksin terbesar untuk Indonesia.

Faktor-faktor tersebut yang kemudian menjadikan Indonesia makin bergantung kepada Cina. Namun, terlepas dari alasan-alasan tersebut, Indonesia harus selalu berhati-hati terhadap Cina karena semua faktor-faktor tersebut bisa menghadirkan risiko yang perlu diantisipasi oleh Indonesia agar tidak mengalami nasib seperti Sri Lanka yang harus kehilangan mayoritas sahamnya di sebuah proyek pelabuhan akibat gagal membayar utang kepada Cina. Indonesia harus berupaya membatasi ketergantungannya terhadap Cina. Hal ini juga penting untuk menjaga posisi tawar Indonesia dalam mengamankan wilayah di sekitar perairan laut Natuna yang selalu diklaim Cina sebagai miliknya.

Saat ini, aktivitas perdagangan di negeri Tirai Bambu tersebut dilaporkan memburuk, meskipun pembatasan Covid-19 sudah dicabut (www.cnbcindonesia.com, 13-5-2023). Maka atas dasar alasan tersebut membuat Indonesia harus berhati-hati dan siaga karena faktanya Cina merupakan mitra perdagangan utama. Oleh karena kondisi ekonomi Cina yang terus memburuk, tentu saja hal ini bisa memberikan dampak buruk terhadap Indonesia.

Oleh karena itu, sebagai bentuk antisipasi dalam menyikapi hal tersebut, pemerintah berupaya menyiapkan strategi, salah satunya yaitu mencari pasar baru untuk menjual produk Indonesia. Tujuannya adalah -dengan adanya pengalihan tujuan ekspor- akan menyasar negara-negara yang ekonominya tetap tumbuh stabil di tengah kondisi saat ini, seperti Asia Selatan, Afrika, India, hingga Timur Tengah, bahkan bisa fokus ke ASEAN. Namun, upaya tersebut hakikatnya tidak akan menjadi solusi yang menyeluruh karena solusi semacam itu persis seperti tambal sulam.

Islam Memandang

Sementara di dalam Islam, perdagangan internasional merupakan masalah muamalah dan maqasid yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Perdagangan internasional dilakukan karena tidak mungkin satu negara mampu memenuhi kebutuhannya secara langsung tanpa membutuhkan peran negara lain. Dalam hal ini, perdagangan yang dimaksud juga bukanlah perdagangan bebas-sebebasnya, tetapi ini merupakan sebuah perdagangan yang berupaya mengoptimalkan hubungan perdagangan dengan negara luar di satu sisi dan melarang perdagangan untuk komoditas tertentu yang akan menggangu kemaslahatan kaum muslim pada sisi yang lain.

Sejarah telah menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islam begitu efektif untuk memulihkan berbagai macam masalah sosial ekonomi karena diimplementasikan langsung sesuai Al-Qur’an dan hadis. Sejatinya, jika ekonomi Islam di implementasikan dengan baik dan benar, sudah pasti berbagai masalah penting terkait ekonomi dapat diantisipasi.

Dalam hubungan internasional, yakni adanya aktivitas al ‘adalah al ‘alamiyyah (keadilan universal) dan juga al-slim (konsep perdamaian) saat membangun hubungan kenegaraan, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara lain. Dan landasan pemikiran tersebut terdapat dalam surah Al-Mumtahanah ayat 8 yang artinya, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam perkara agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah: 8).

Berdasarkan ayat di atas, konsep keadilan dapat diidentifikasikan mampu membentuk suatu hubungan negara yang aman. Mampu menciptakan solidaritas yang kuat pada masyarakat agar terhindar dari persaingan yang tidak sehat, juga memupuk perhatian yang cenderung mengarahkan pada asas kebenaran dan kebaikan dalam hubungan kenegaraan. Maka hal tersebut menandakan bahwa hubungan internasional di dalam Islam sudah dijalankan menggunakan sebuah metode yang berlandaskan epistemologi keilmuan Islam. Wallahu a’lam. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *