Oleh: Wida Nusaibah
(Pemerhati Masalah Global)
CemerlangMedia.Com — Si kaya makin kaya, si miskin makin miskin. Istilah tersebut tampak memang benar adanya. Terbukti, populasi ultra-high net worth (UHNW) atau individu berpenghasilan sangat tinggi di kawasan Asia Pasifik mengalami pertumbuhan hampir 51% selama periode 2017—2022. Edisi terbaru The Wealth Report (segmen Wealth Sizing Model) dari Knight Frank menunjukkan bahwa Singapura, Malaysia, dan Indonesia memiliki pertumbuhan UHNW tercepat di Asia, yakni sebesar 7—9%. Jadilah Indonesia tercatat sebagai salah satu “pabrik crazy rich” terbesar di dunia.
Sungguh kontradiktif. Sebab, pertumbuhan tinggi jumlah orang kaya tersebut justru berbanding lurus dengan jumlah orang miskin yang juga kian meningkat tinggi. Dilansir dari CNN Indonesia, bahwa Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan 155,2 juta orang di negara berkembang yang berada di Asia Pasifik atau 3,9 persen populasi kawasan tersebut hidup dalam kemiskinan yang ekstrem, pendapatan kurang dari US$2,15 per hari (24-8-2023).
Kapitalisme Nyata Memperlebar Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial yang tercipta saat ini merupakan hasil dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme oleh dunia. Sebuah sistem ekonomi yang nyatanya gagal mewujudkan kesejahteraan umat dan justru menyebabkan ketimpangan dan kesenjangan kekayaan yang cukup besar di tengah masyarakat.
Ketimpangan sosial menunjukkan bahwa harta berputar hanya di kalangan bermodal saja. Bukan lagi sebuah rahasia bahwa dalam sistem kapitalisme boleh menguasai sektor yang seharusnya milik umum asalkan cukup modal. Tak ayal, para pemilik modal akan menguasai sektor-sektor penting, pasar, dan perdagangan. Sedangkan kaum tak bermodal hanya mampu menjadi buruh dan target pasar dari pemilik modal sebagai penguasa usaha.
Ketika harga barang naik, kaum lemah bersusah payah memenuhi kebutuhan bahkan hingga menguras dana simpanan yang dikumpulkan dalam waktu yang tidak singkat. Sementara kaum bermodal dengan mudah memenuhi kebutuhan mereka, bahkan menambah jumlah usaha mereka demi memperoleh lebih banyak sumber penghasilan.
Ya, distribusi atau perputaran ekonomi yang tidak merata menjadi penyebab lebarnya jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Si miskin menjadi pihak yang paling terdampak akibat kenaikan harga barang sehingga melumpuhkan daya beli mereka, memandulkan kemampuan menabung mereka, dan melemahkan kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan primer seperti sandang, pangan, papan, biaya pendidikan, biaya kesehatan, dll.. Tak heran, kaum tak bermodal akan mudah terjerumus ke dalam jebakan utang yang kian memperburuk kondisi perekonomian mereka.
Sayangnya, solusi yang diberikan penguasa untuk mengatasi kemiskinan hanya bersifat parsial dan semu. Bagaimana tidak? Pemerintah hanya memberikan bantuan yang nominalnya tidak mampu menutup kebutuhan rakyat. Ditambah lagi, bantuan langsung tunai diberikan dalam rentang waktu beberapa bulan sekali saja. Selain itu, pemerintah justru memberikan bantuan modal yang merupakan pinjaman berbunga alias bantuan ribawi. Hal tersebut jelas hanya mampu membantu di awal, tetapi justru memberatkan di kemudian hari karena rakyat harus membayar utang pokok beserta bunganya. Dengan begitu, bukannya keluar dari jurang kemiskinan, rakyat bawah justru masuk ke dalam jurang kemiskinan makin dalam.
Islam Mampu Mengatasi Kemiskinan
Paradigma kapitalisme jelas berbeda dengan Islam. Kapitalisme berorientasi pada keuntungan materi semata yang seringkali menyebabkan terciptanya berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat kecil. Sedangkan Islam tegak di atas akidah dan paradigma riayah su’unil ummah (mengurus urusan umat).
Islam memandang kesejahteraan hidup adalah hak setiap individu sehingga orientasi pemimpin adalah kepada memenuhi kebutuhan asasi sampai tataran individu setiap rakyat dengan baik. Oleh karena itu, Islam mewajibkan negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi setiap rakyat mulai dari makan, pakaian, tempat tinggal yang layak, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan.
Demi memenuhi kebutuhan setiap individu rakyat, negara yang menerapkan sistem Islam memiliki beberapa mekanisme antara lain:
Pertama, negara mewajibkan bagi laki-laki untuk bekerja dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan keterampilan, serta modal yang dibutuhkan.
Kedua, negara menjamin kemudahan bagi rakyat dalam pelayanan untuk pemenuhan aspek pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Ketiga, negara mengatur regulasi kepemilikan individu, umum, dan negara. Negara tidak boleh menyerahkan harta milik umum kepada swasta sehingga hasil pengelolaan harta tersebut, sepenuhnya dimanfaatkan oleh negara untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
Keempat, negara mendistribusikan hartanya kepada setiap individu rakyat yang membutuhkan serta memastikan setiap rakyatnya dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.
Kelima, kebijakan negara independen dan fokus pada kemaslahatan umat.
Begitulah ketika mekanisme Islam yang tegak di atas asas ruhiyah, yakni keimanan kepada Allah diterapkan secara sempurna. Tidak ada hal lain yang didapat kecuali keberkahan dan kelapangan bagi seluruh umat. Maka sudah seharusnya umat menerapkan Islam dan meninggalkan aturan selainnya agar terhindar dari kesempitan dan mendapatkan keberkahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf 7: Ayat 96)
Wallahu a’lam. [CM/NA]