Oleh. Sri Puji Hidayati, M.Pd.
(Aktivis Muslimah & Pendidik Generasi)
CemerlangMedia.Com — Salah satu seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB) di lingkungan sekolah adalah dengan sistem zonasi. Sistem tersebut disinyalir dapat meratakan pendidikan yang berkualitas bagi peserta didik di seluruh penjuru tanah air. Dasar terbitnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no.51 tahun 2018. Sejak bergulirnya sistem zonasi, pro dan kontra masih terus terjadi di masyarakat. Selain itu juga masih saja memunculkan berbagai problem, meskipun telah berjalan lima tahun. Protes orang tua siswa masih mewarnai PPDB 2023.
Dilansir dari tekno.tempo.co (11-7-2023), proses PPDB di sejumlah wilayah Indonesia diwarnai adanya indikasi kecurangan. Berbagai cara dilakukan dengan harapan calon siswa baru dapat diterima di sekolah favorit melalui zonasi. Beberapa kisruh yang terjadi dalam PPDB sistem zonasi, yaitu jual beli kursi, domisili tidak sesuai KK, manipulasi KK, rumahnya masuk zonasi, tetapi tidak diterima, dan lainnya.
Kecurangan yang terjadi dalam PPDB sistem zonasi dinilai oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) RI Muhadjir Effendy, bahwasannya hal itu terjadi bukan karena kesalahan sistemnya. Akan tetapi, karena kurangnya pengawasan, dengan kata lain hanya persoalan teknis. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya kecurangan, pemerintah daerah seharusnya dapat mengantisipasi dengan perencanaan dan pemetaan jumlah kursi di sekolah negeri enam bulan sebelum dimulainya PPDB (kaltim.antaranews.com, 23-7-2023).
Sejatinya perlu dipahami bahwa kisruh PPDB sistem zonasi bukan semata persoalan teknis. Persoalan sulitnya mencari sekolah berkualitas dan murah itu sudah lama terjadi sebelum diterapkannya sistem zonasi. Lantas, diterapkanlah sistem zonasi dengan harapan memperbaiki penyebaran peserta didik agar terwujud pemerataan pendidikan, meski kenyataannya jauh dari harapan. Masih ada sekolah yang juga belum mendapatkan siswa.
Buah Penerapan Sistem Kapitalisme
Kisruh PPDB zonasi menunjukkan abainya negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya. Negara atau pemerintah merupakan penanggung jawab terhadap urusan pendidikan rakyatnya. Sengkarut PPDB zonasi juga sangat berkaitan dengan kemampuan negara dalam menyediakan sekolah berkualitas, murah, dan merata di seluruh wilayah. Dan itu semua terjadi buah diterapkannya sistem kapitalisme yang menjadi dasar untuk menentukan kebijakan negara, termasuk dalam pendidikan.
Pendidikan dipandang sebagai barang ekonomi dalam sistem kapitalisme. Padahal seharusnya pendidikan merupakan layanan yang wajib dipenuhi oleh negara. Maka tak heran, dalam semesta kapitalisme tata kelola pendidikannya diliberalisasi. Jika ingin mendapatkan sekolah yang favorit, unggulan, maka harus siap dengan biaya yang selangit. Pihak swasta pun tidak ketinggalan untuk memanfaatkan peluang “berdagang” di dunia pendidikan.
Hal tersebut didukung oleh adanya tata kelola pemerintah kapitalis, yakni negara diharuskan berbagi peran dengan pihak swasta. Alhasil, negara membatasi pendirian sekolah negeri yang notabene sangat dibutuhkan rakyat, hanya didirikan dengan jumlah kecil dan sisanya diserahkan ke swasta. Dapat dilihat saat ini, bagaimana menjamurnya sekolah-sekolah swasta di suatu tempat yang tentunya cukup merogoh kocek dan bahkan terkadang kualitasnya kurang.
Ketidakmampuan negara dalam mendirikan sekolah negeri ini juga sangat berkaitan dengan minimnya anggaran. Dan ini juga akibat kapitalisme, yakni banyak sumber pendapatan negara dari kekayaan alam milik umum yang hilang begitu saja. Padahal hasil dari kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri ini begitu berharga dan dapat membiayai kebutuhan pendidikan.
Sistem kapitalisme juga berhasil membangun persepsi yang keliru di masyarakat mengenai hakikat pendidikan dan tujuan bersekolah. Masyarakat sangat terpaku dengan sekolah favorit karena menjanjikan masa depan yang bagus, misal dengan bisa kuliah di kampus ternama, setelah itu lulus dan bisa mendapatkab pekerjaan yang lebih baik. Akhirnya, tanpa berpikir panjang, mengambil “jalan pintas” hanya karena ingin diterima di sekolah yang diinginkan.
Jadi, kisruh PPDB zonasi sebenarnya bukan karena masalah teknis saja, tetapi masalah sistemis. Maka dari itu, sudah semestinya masyarakat berbenah dan berpikir untuk membenahi berbagai problem pendidikan ini dengan frame ideologis, yaitu dengan menerapkan sistem pendidikan Islam.
Terapkan Sistem Islam
Kapitalisme sukses membuat kerusakan yang begitu parah sehingga sudah saatnya kembali kepada sistem yang berasal dari Ilahi, yaitu sistem Islam. Sistem yang menerapkan syariat Islam secara kafah dalam bingkai negara.
Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan asasi rakyat yang wajib dipenuhi negara. Dengan konsep melayani, negara tidak akan berbagi peran dengan pihak swasta yang menjadikan rakyat kepayahan untuk mengakses pendidikan terbaiknya. Negara yang berasaskan akidah Islam juga akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Alhasil, negara mempunyai anggaran yang cukup untuk mendirikan sekolah berkualitas, murah bahkan gratis, dengan infrastruktur yang lengkap.
Masyarakatnya pun senantiasa terikat dengan syariat Islam. Mereka tidak akan berbuat curang ketika mencari sekolah. Mereka betul-betul menetapkan visi misi pendidikan yang jelas bagi anak-anaknya. Bukan hanya karena kepentingan dunia kerja untuk mengatasi kemiskinan sebagaimana pandangan masyarakat kapitalistik saat ini dalam memandang pendidikan.
Persoalan tentang sulitnya mencari sekolah tidak akan menjadi sesuatu yang menyulitkan masyarakat dalam negara yang menerapkan sistem Islam. Justru akan mendapatkan pendidikan terbaik, sebab di topang oleh sistem pendidikan Islam, kurikulum terbaik, dan tata kelola yang baik. Sistem Islam inilah yang pernah gemilang, banyak mencetak cendekiawan-cendekiawan muslim, melahirkan peradaban Islam yang digdaya pada masanya. Sungguh, betapa rindunya hidup sejahtera di bawah naungan Islam. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam bersatu untuk memperjuangkan tegaknya Islam.
Wallahua’lam bisshawwab [CM/NA]