Oleh: Hanimatul Umah
CemerlangMedia.Com — Wacana dan kebijakan pemerintah Indonesia, khususnya di sektor pertanian menuai polemik. Pasalnya, jutaan hektare lahan pertanian akan diserahkan pengelolaannya kepada Cina. Tentu saja hal tersebut menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat. Mengapa tidak melibatkan rakyat negeri sendiri?
Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koodinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyampaikan beberapa hasil pertemuan ke-4 dalam acara High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI dan RRT di Labuan Bajo NTT (Nusa Tenggara Timur) pada Jumat (19-4-2024), di antaranya adalah bahwa Cina telah menyepakati pengembangan pertanian di Kalteng (Kalimantan Tengah) dengan memberikan teknologi padi. Hal ini akan dimulai pada Oktober 2024 mendatang.
Luhut mengungkapkan hal tersebut dikarenakan Cina telah sukses mencapai swasembada pangan. Selanjutnya, kata Luhut, tinggal mencari mitra lokal di Kalteng. Sebab, sejak zaman dahulu, tanahnya telah ada hingga 1 juta hektare, tetapi akan dikelola per tahap, misalnya 100 ribu hektare, 200 ribu hektare, dan seterusnya dengan melibatkan generasi muda Indonesia (Fajar.co.id, 2-5-2024).
Generasi Muda Tidak Tertarik di Sektor Pertanian
Sementara itu, bidang pertanian tidak lagi menarik, khususnya bagi generasi Z. Menurut hasil survei Jakpat, hanya 6 dari 100 generasi Z yang berminat bekerja di bidang pertanian, 36,3 % responden beralasan tidak ada pengembangan karir, 33,3% responden karena berisiko kerugian, 20% responden beralasan pendapatannya kecil (CNBCIndonesia.com, 1-12-2022).
Di samping itu, banyak penyebab anak muda saat ini minim minat menggeluti usaha pertanian, seperti memerlukan modal besar, makin sedikitnya lahan persawahan, hingga tidak ada kepemilikan lahan, serta teknologi pertanian yang rendah secara ekonomis. Oleh karena itu, para pemuda memilih di sektor perindustrian (sebagai buruh di berbagai perusahaan industri). Pendek kata, hasil pertanian tidak sesuai dengan biaya produksi dan tidak jarang, banyak membawa kerugian.
Jika berkaca dari negara tetangga, Thailand, misalnya, para petani pada umumnya telah mencapai hidup sejahtera. Hal ini karena pemerintah mendukung secara penuh pada bidang pertanian dengan memberikan subsidi dan insentif bagi petani dan mendorong rakyatnya membuka lahan kosong untuk ditanami tanaman ekspor, seperti kelapa sawit, beras, karet, dan sayur-mayur. Pemerintah Thailand pun mengadakan riset untuk produk pertanian.
Sementara itu, pegiat media sosial, Dr. Tifauzia Tyassuma yang akrab dipanggil Dokter Tifa, dalam akun X mengatakan, banyaknya gunung berapi aktif memiliki potensi luar biasa dan suplai nutrisi tanah yang bermanfaat bagi kesuburan tanah di negeri kita. Jangankan benih padi, tongkat kayu pun menjadi tanaman (Fajar.co.id, 2-5-2024).
Kapitalisasi dan Liberalisasi Pertanian
Jika ditelaah lebih lanjut, kebijakan yang diambil pemerintah dengan alasan ingin memperoleh teknologi Cina perlu ditinjau ulang. Sebab, keberhasilan pertanian bukan tergantung pada negara lain, tetapi bagaimana besarnya dukungan pemerintah. Sedangkan yang terjadi saat ini, pengelolaan SDA diserahkan kepada pihak pemodal dan asing. Mereka diberi kebebasan dalam mengembangkan hartanya sehingga berpeluang besar akan menyerap tenaga dari asing pula.
Indonesia meminta Cina untuk mengelola lahan pertanian sejatinya adalah cara halus bentuk penguasaan SDA dan kebijakan liberal. Diperparah regulasi yang tidak berpihak kepada rakyat. Alih-alih mendapatkan ilmu teknologi pertanian, justru lahan jutaan hektare nyaris diserahkan kepada asing.
Telah diketahui bahwa keberhasilan dalam menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan suatu negara sebagai indikator stabilisasi ekonomi dengan menghasilkan pangan tercukupi di dalam negeri hingga ekspor dan menyerap banyak tenaga kerja. Namun, selama dalam pengelolaannya masih bergantung pada investor (lokal maupun asing), maka selamanya pula akan jauh dari swasembada pangan. Ironis, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dengan lahan yang sangat luas, tetapi rakyatnya tidak dapat menikmati kekayaan alamnya.
Cara Islam Mengelola Pertanian
Jadi, Islam di samping sebuah agama, juga merupakan sebuah aturan kehidupan. Dalam Islam, pengelolaan sumber daya alam harus sesuai hukum syarak, berlandasan iman dan takwa untuk meraih rida Sang Pencipta.
Oleh karena itu, kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan negara. Negara memberi kesempatan bagi siapa pun untuk mengolah. Jika tidak mampu mengelola tanah dalam waktu 3 tahun, negara berhak mengambilnya dan diserahkan kepada orang lain yang sanggup mengelolanya.
Negara wajib membantu petani dari segi bibit, pupuk, dan pengairan sawah karena pertanian adalah proyek strategis yang akan menghasilkan bahan pokok. Pengeluaran tersebut diambil dari kas negara.
Apabila negara menjalin kerja sama dengan luar negeri dalam hal kemajuan teknologi, maka urusan tersebut akan ditangani oleh departemen luar negeri Daulah Islam, seperti melakukan perjanjian damai, tukar menukar duta, termasuk yang berkaitan dengan aspek ekonomi dan pertanian. Dengan demikian, negara tidak bergantung pada pemilik modal dan asing sehingga tercapailah baldatun tayyibatun warabun ghafur.
Penutup
Sesungguhnya jika manusia taat dan mengikuti semua aturan hidup yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan as-Sunah, tentu manusia tidak akan mengalami kesempitan hidup, sebagaimana firman Allah Swt., “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Taha: 124). Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]